Tak Lagi Masuk Daftar Limbah B3, Seperti Apa Bahaya Limbah Batu Bara
loading...
A
A
A
SURABAYA - Perdebatan terkait limbah batu bara terus saja bergulir. Apalagi saat ini limbah batu bara fly ash dan bottom ash (FABA) tidak lagi terdaftar pada kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Peraturan Pemerintah (PP) No. 22/2021.
Dosen Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, Eko Prasetyo Kuncoro menuturkan, FABA merupakan limbah yang timbul dari pembakaran batu bara . Biasanya pembakaran batu bara tersebut dipakai untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
"Fly ash atau abu layang adalah abu hasil pembakaran batu bara yang melayang ke atas, sementara bottom ash adalah abu hasil pembakaran yang jatuh ke bawah," kata Eko, Minggu (14/3/2021).
Ia melanjutkan, kandungan dari FABA itu sendiri bergantung pada jenis mineral yang ada pada batu bara. Contoh kandungan mineral batu bara antara lain adalah karbon, oksigen, hydrogen, atau kandungan mineral dan senyawa lain seperti silika.
Dampak FABA pada lingkungan dan masyarakat bergantung dari jumlah limbah dan kandungan toxic atau racun di dalamnya. FABA dalam jumlah besar dan tidak dikelola dengan baik akan dapat menyebar di lingkungan luas, masuk ke dalam air, udara, dan atau tanah sehingga berbahaya. "Salah satu penyakit akibat FABA adalah gangguan pada sistem pernapasan," jelasnya.
Adapun durasi munculnya gangguan pada sistem pernapasan akibat FABA tersebut tergantung pada jumlah atau konsentrasi FABA yang masuk dalam tubuh dan durasi terpapar. Peyakit lain yang mungkin timbul adalah silicosis, yaitu penyakit yang timbul akibat silica yang berlebihan di dalam tubuh.
Ketika FABA masih masuk dalam kategori limbah B3 , katanya, maka limbah FABA perlu dikelola secara khusus. Aturan mengenai pengelolaan limbah B3 tersebut dulunya diatur pada PP No 101 tahun 2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. PP tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan PP No. 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. "Untuk mengelola limbah B3 ada izinnya," sambungnya.
Sementara limbah non B3 dapat dimanfaatkan untuk pembuatan suatu produk. Ketika FABA dikeluarkan dari daftar limbah B3 dan dimasukkan pada kategori limbah non B3, FABA memang memiliki karaktistik yang dapat dijadikan sebagai campuran bahan bangunan seperti paving dan batako. Namun, penggunaan FABA untuk campuran tersebut masih perlu dilakukan uji kelayakan baik dari segi fisik, kimia, maupun mekanik.
"Sebelum FABA dipakai untuk produksi bahan bangunan, perlu dilakukan uji seperti uji TCLP (toxicity characteristic learning procedure, red) untuk memastikan apakah kandungan pada bahan bangunan yang terkandung FABA tersebut berbahaya atau tidak," jelasnya.
Selain itu, Eko juga menjelaskan bahwa pengeluaran suatu limbah B3 menjadi limbah non B3 harus melalui suatu prosedur yang sebelumnya sudah diatur oleh pemerintah pada PP No. 101/2014. Diharapkan, pemerintah dapat mengawal implementasi PP tersebut dengan baik, salah satunya ketika memutuskan mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3.
Dosen Teknik Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, Eko Prasetyo Kuncoro menuturkan, FABA merupakan limbah yang timbul dari pembakaran batu bara . Biasanya pembakaran batu bara tersebut dipakai untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
"Fly ash atau abu layang adalah abu hasil pembakaran batu bara yang melayang ke atas, sementara bottom ash adalah abu hasil pembakaran yang jatuh ke bawah," kata Eko, Minggu (14/3/2021).
Ia melanjutkan, kandungan dari FABA itu sendiri bergantung pada jenis mineral yang ada pada batu bara. Contoh kandungan mineral batu bara antara lain adalah karbon, oksigen, hydrogen, atau kandungan mineral dan senyawa lain seperti silika.
Dampak FABA pada lingkungan dan masyarakat bergantung dari jumlah limbah dan kandungan toxic atau racun di dalamnya. FABA dalam jumlah besar dan tidak dikelola dengan baik akan dapat menyebar di lingkungan luas, masuk ke dalam air, udara, dan atau tanah sehingga berbahaya. "Salah satu penyakit akibat FABA adalah gangguan pada sistem pernapasan," jelasnya.
Adapun durasi munculnya gangguan pada sistem pernapasan akibat FABA tersebut tergantung pada jumlah atau konsentrasi FABA yang masuk dalam tubuh dan durasi terpapar. Peyakit lain yang mungkin timbul adalah silicosis, yaitu penyakit yang timbul akibat silica yang berlebihan di dalam tubuh.
Ketika FABA masih masuk dalam kategori limbah B3 , katanya, maka limbah FABA perlu dikelola secara khusus. Aturan mengenai pengelolaan limbah B3 tersebut dulunya diatur pada PP No 101 tahun 2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. PP tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan PP No. 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. "Untuk mengelola limbah B3 ada izinnya," sambungnya.
Sementara limbah non B3 dapat dimanfaatkan untuk pembuatan suatu produk. Ketika FABA dikeluarkan dari daftar limbah B3 dan dimasukkan pada kategori limbah non B3, FABA memang memiliki karaktistik yang dapat dijadikan sebagai campuran bahan bangunan seperti paving dan batako. Namun, penggunaan FABA untuk campuran tersebut masih perlu dilakukan uji kelayakan baik dari segi fisik, kimia, maupun mekanik.
"Sebelum FABA dipakai untuk produksi bahan bangunan, perlu dilakukan uji seperti uji TCLP (toxicity characteristic learning procedure, red) untuk memastikan apakah kandungan pada bahan bangunan yang terkandung FABA tersebut berbahaya atau tidak," jelasnya.
Selain itu, Eko juga menjelaskan bahwa pengeluaran suatu limbah B3 menjadi limbah non B3 harus melalui suatu prosedur yang sebelumnya sudah diatur oleh pemerintah pada PP No. 101/2014. Diharapkan, pemerintah dapat mengawal implementasi PP tersebut dengan baik, salah satunya ketika memutuskan mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3.
(eyt)