Ombudsman: Jangankan Validasi, Cek Dokumen Saja Bandara Tak Mampu
loading...
A
A
A
BANDUNG - Ombudsman menilai penerapan protokol kesehatan bagi moda transportasi umum sesuai Permenhub No 25/2020 sulit dilakukan. Di lapangan banyak ditemukan longgarnya penumpang menggunakan pesawat dan itu dikhawatirkan akan memicu ledakan COVID-19.
Salah satu contoh kasus ditemukan Ombudsman Jakarta Raya, bahwa seluruh dokumen perjalanan dalam peristiwa 14 Mei 2020 di Bandara Soekarno Hatta, tidak ada yang divalidasi keabsahannya. (Baca juga; Berpotensi Timbulkan Cluster Baru, Ombudsman Minta Permenhub Dievaluasi )
”Jangankan untuk melakukan validasi dokumen perjalanan, untuk melakukan pengecekan kelengkapan dokumen saja otoritas bandara dan para pihak lainnya di bandara tidak mampu,” lanjut kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/5/2020).
Menurut dia, pada 14 Mei 2020, hanya ada satu check point untuk 13 penerbangan. Sedangkan jangka waktu antara satu penerbangan dengan yang lain tak lebih dari 20-30 menit saja. (Baca juga; Ombudsman Jabar Terima Puluhan Laporan Masyarakat Terkait COVID-19 )
Dengan asumsi penerbangan mempergunakan pesawat tipe Boeing 737-900ER, 215 tempat duduk, dan izin penerbangan 50%, maka ada sekitar 1.300 calon penumpang yang harus diverifikasi oleh seluruh petugas di lapangan.
“Jadi dengan situasi ini bisa dipastikan, tidak ada proses check and re-check oleh petugas di lapangan terhadap keabsahan dokumen tersebut, bahkan sulit untuk sekadar memastikan bahwa para penumpang memiliki seluruh dokumen yang diperlukan. Dan hal tersebut terkonfirmasi dari keterangan Otoritas Bandara yang menyatakan bahwa tidak ada proses validasi dokumen,” kata Teguh.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada 14 Mei 2020, Tim Ombudsman pada saat melakukan pemeriksaan pada 16 Mei 2020 menemukan penumpang tetap bisa berangkat sekalipun dari daftar check list dokumen yang bersangkutan tidak memenuhi syarat. Pihak Otoritas Bandara mengaku telah melakukan perbaikan dan evaluasi dengan memecah check point dari hanya dipusatkan di satu titik menjadi dibagi ke dalam 4 lapis/layer.
Namun, kata dia, hal tersebut tidak lantas memperbaiki sistem pengecekan keabsahan dokumen yang dimiliki penumpang. Jumlah personel dan kewenangan yang terbatas serta jeda waktu antar penerbangan menyebabkan proses pengecekan keabsahan dokumen tidak mungkin dilakukan.
“Jadi perbaikan yang dilakukan hanya untuk menapis penumpang dari sisi kelengkapan administrasi bukan pada validasi dokumen, dan di level pemeriksaan kelengkapan saja masih bolong,” lanjut Teguh. Hal ini masih terjadi, karena pemeriksaan awal di check point 1 dan pemeriksaan akhir di check point 4 dilakukan oleh pihak maskapai.
"Kami sampai pada kesimpulan bahwa pelaksanaan mudik dengan pembatasan yang pemeriksaan dokumennya dilaksanakan langsung di bandara adalah sebagai mission impossible bagi para operator di lapangan,” ujar Teguh.
Ombudsman mengkhawatirkan hal tersebut juga akan terjadi di stasiun kereta untuk para calon penumpang kereta luar biasa dan terminal-terminal. “Bandara yang proses pemeriksaannya jauh lebih baik dan ketat di banding stasiun dan terminal saja tidak mampu melakukan verifikasi keabsahan dokumen, apalagi di stasiun dan terminal.” imbuhnya.
Salah satu contoh kasus ditemukan Ombudsman Jakarta Raya, bahwa seluruh dokumen perjalanan dalam peristiwa 14 Mei 2020 di Bandara Soekarno Hatta, tidak ada yang divalidasi keabsahannya. (Baca juga; Berpotensi Timbulkan Cluster Baru, Ombudsman Minta Permenhub Dievaluasi )
”Jangankan untuk melakukan validasi dokumen perjalanan, untuk melakukan pengecekan kelengkapan dokumen saja otoritas bandara dan para pihak lainnya di bandara tidak mampu,” lanjut kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/5/2020).
Menurut dia, pada 14 Mei 2020, hanya ada satu check point untuk 13 penerbangan. Sedangkan jangka waktu antara satu penerbangan dengan yang lain tak lebih dari 20-30 menit saja. (Baca juga; Ombudsman Jabar Terima Puluhan Laporan Masyarakat Terkait COVID-19 )
Dengan asumsi penerbangan mempergunakan pesawat tipe Boeing 737-900ER, 215 tempat duduk, dan izin penerbangan 50%, maka ada sekitar 1.300 calon penumpang yang harus diverifikasi oleh seluruh petugas di lapangan.
“Jadi dengan situasi ini bisa dipastikan, tidak ada proses check and re-check oleh petugas di lapangan terhadap keabsahan dokumen tersebut, bahkan sulit untuk sekadar memastikan bahwa para penumpang memiliki seluruh dokumen yang diperlukan. Dan hal tersebut terkonfirmasi dari keterangan Otoritas Bandara yang menyatakan bahwa tidak ada proses validasi dokumen,” kata Teguh.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada 14 Mei 2020, Tim Ombudsman pada saat melakukan pemeriksaan pada 16 Mei 2020 menemukan penumpang tetap bisa berangkat sekalipun dari daftar check list dokumen yang bersangkutan tidak memenuhi syarat. Pihak Otoritas Bandara mengaku telah melakukan perbaikan dan evaluasi dengan memecah check point dari hanya dipusatkan di satu titik menjadi dibagi ke dalam 4 lapis/layer.
Namun, kata dia, hal tersebut tidak lantas memperbaiki sistem pengecekan keabsahan dokumen yang dimiliki penumpang. Jumlah personel dan kewenangan yang terbatas serta jeda waktu antar penerbangan menyebabkan proses pengecekan keabsahan dokumen tidak mungkin dilakukan.
“Jadi perbaikan yang dilakukan hanya untuk menapis penumpang dari sisi kelengkapan administrasi bukan pada validasi dokumen, dan di level pemeriksaan kelengkapan saja masih bolong,” lanjut Teguh. Hal ini masih terjadi, karena pemeriksaan awal di check point 1 dan pemeriksaan akhir di check point 4 dilakukan oleh pihak maskapai.
"Kami sampai pada kesimpulan bahwa pelaksanaan mudik dengan pembatasan yang pemeriksaan dokumennya dilaksanakan langsung di bandara adalah sebagai mission impossible bagi para operator di lapangan,” ujar Teguh.
Ombudsman mengkhawatirkan hal tersebut juga akan terjadi di stasiun kereta untuk para calon penumpang kereta luar biasa dan terminal-terminal. “Bandara yang proses pemeriksaannya jauh lebih baik dan ketat di banding stasiun dan terminal saja tidak mampu melakukan verifikasi keabsahan dokumen, apalagi di stasiun dan terminal.” imbuhnya.
(wib)