Masjid Merah Panjunan, Masjid Jawa Buatan Pendatang Arab
loading...
A
A
A
Masyarakat umumnya mengenal keberadaan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di kompleks Keraton Kasepuhan sebagai salah satu bukti sejarah peradaban Islam di Cirebon. Namun, sejatinya masih ada masjid tua lain di Kota Cirebon yaitu Masjid Abang atau Masjid Merah Panjunan.
Disebut sebagai Masjid Merah, masjid yang terletak di Kampung Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.ini memang didominasi warna merah. Mulai pagar bata merah setinggi 1,5 meter yang mengelilinginya hingga dinding di bagian dalam masjid.
Meskipun sama-sama jejak peninggalan Syarif Hidayatulllah atau Sunan Gunung Jati, memang belum banyak orang di luar Cirebon yang mengenal masjid ini. Dilihat dari keterangan yang tertulis pada papan nama masjid , tempat sujud ini dibangun pada 1480, atau dua tahun setelah Masjid Agung Kasepuhan.
(Baca: Melawan Tanpa Kekerasan, Kaum Samin Berhasil Repotkan Kolonial Belanda)
Bagian dalam masjid yang menyerupai joglo rumah Jawa. Foto/ist
Menurut beberapa sejarawan, Masjid Agung Kasepuhan dibangun pada tahun 1478, bersamaan dengan kemunculan Kesultanan Cirebon, kerajaan yang didirikan atas kesepakatan Wali Songo yang untuk memperkuat penyebaran Islam di wilayah barat Jawa, setelah sukses menyokong pendirian Kesultanan Demak di bagian tengah Jawa.
Bila Masjid Kasepuhan melibatkan Sunan Kalijaga sebagai arsitek, Masjid Abang dibangun oleh Syarif Abdurrahman, seorang imigran Arab dari Baghdad. Dalam Babad Cirebon terbitan 1984 sebagaimana dituliskan dalam salah satu penelitian mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, disebutkan bahwa Syarif Abdurrahman merupakan anak dari Sultan Bagdad yang diusir karena keburukan akhlaknya.
Beberapa sumber menyebutkan Syarif Abdurrahman hanya bersama saudara-saudaranya. Namun kebanyakan menyebut dia datang bersama rombongan besar berjumlah 1.200 orang. Rombongan tersebut lalu menetap di satu wilayah yang tak jauh dari pantai.
Buku Sejarah Cirebon yang juga dinukil dalam penelitian tersebut menuliskan bahwa di tempat itu Syarif Abdurrahman berdakwah Islam sambil membuat barang-barang keramik dari tanah liat atau disebut anjun. Dari situlah sebutan Panjunan untuk daerah dan Masjid Abang berasal.
(Baca: Masjid Al Oesmani Medan, Simbol Keterbukaan Islam Pada Budaya Bangsa)
Bangunan masjid ini memang relatif kecil, hanya berukuran 40 meter persegi. Jarak antara lantai dan atap juga rendah, mirip model rumah-rumah tua di Jawa. Ini karena awalnya masjid ini hanya musala bernama Al-Athyah. Kecuali tempat wudhu, kondisi Masjid Merah Panjunan masih asli seperti awal berdirinya.
Secara umum dilihat dari arsitekturnya, Masjid Merah Panjunan ini memang bergaya asli Indonesia, khususnya Jawa. Ciri umum masjid di Nusantara menurut pendapat Sutjipto Wiryosuparto dalam artikel berjudul “Sejarah Pertumbuhan Bangunan Mesjid Indonesia” (Fadjar Th. III (2l) 1961) yaitu denah bangunan masjid di Jawa yang berbentuk persegi diperlihatkan juga oleh masjid-masjid di Indonesia.
Denah yang persegi itu adalah bagian dari rumah Jawa yang disebut pendopo. Bangunan pendopo yang denahnya serba persegi itu apabila ditutup dengan tembok atau dinding dan diberi bangunan untuk mihrab yang diarahkan ke kiblat barat laut akan menjadi sebuah masjid .
(Baca: Kebanggaan Warga Pariaman, Ungku Saliah Terkenal Lewat Bingkai Foto)
Seperti masjid-masjid lain di Cirebon, bangunan Masjid Merah Panjunan juga tak lepas dari unsur akulturasi budaya lama ke budaya baru. Gerbang masjid mirip bangunan pura yang mewakili unsur budaya Hindu. Unsur budaya Islam diwakili 17 tiang kayu pohon kokoh di bagian dalam yang melambangkan 17 rakaat dalam salat. Tiang kayu tersebut berbentuk bintang dengan delapan bunga yang melambangkan lafal selawat.
Potongan kayu tersusun rapi menjadi atap beradu dengan ornamen-ornamen piring keramik Tiongkok di yang masih dijaga keasliannya di bagian dinding. Konon keramik Tiongkok itu merupakan bagian hadiah kaisar China ketika Sunan Gunung Jati menikahi putrinya.
Perpaduan budaya Arab dan Tiongkok serta budaya lokal menegaskan posisi masjid yang berada di kawasan perdagangan. Tidak mengherankan jika Masjid Merah Panjunan tumbuh dengan berbagai pengaruh, seperti halnya seluruh keraton di Cirebon.
Disebut sebagai Masjid Merah, masjid yang terletak di Kampung Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.ini memang didominasi warna merah. Mulai pagar bata merah setinggi 1,5 meter yang mengelilinginya hingga dinding di bagian dalam masjid.
Meskipun sama-sama jejak peninggalan Syarif Hidayatulllah atau Sunan Gunung Jati, memang belum banyak orang di luar Cirebon yang mengenal masjid ini. Dilihat dari keterangan yang tertulis pada papan nama masjid , tempat sujud ini dibangun pada 1480, atau dua tahun setelah Masjid Agung Kasepuhan.
(Baca: Melawan Tanpa Kekerasan, Kaum Samin Berhasil Repotkan Kolonial Belanda)
Bagian dalam masjid yang menyerupai joglo rumah Jawa. Foto/ist
Menurut beberapa sejarawan, Masjid Agung Kasepuhan dibangun pada tahun 1478, bersamaan dengan kemunculan Kesultanan Cirebon, kerajaan yang didirikan atas kesepakatan Wali Songo yang untuk memperkuat penyebaran Islam di wilayah barat Jawa, setelah sukses menyokong pendirian Kesultanan Demak di bagian tengah Jawa.
Bila Masjid Kasepuhan melibatkan Sunan Kalijaga sebagai arsitek, Masjid Abang dibangun oleh Syarif Abdurrahman, seorang imigran Arab dari Baghdad. Dalam Babad Cirebon terbitan 1984 sebagaimana dituliskan dalam salah satu penelitian mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, disebutkan bahwa Syarif Abdurrahman merupakan anak dari Sultan Bagdad yang diusir karena keburukan akhlaknya.
Beberapa sumber menyebutkan Syarif Abdurrahman hanya bersama saudara-saudaranya. Namun kebanyakan menyebut dia datang bersama rombongan besar berjumlah 1.200 orang. Rombongan tersebut lalu menetap di satu wilayah yang tak jauh dari pantai.
Buku Sejarah Cirebon yang juga dinukil dalam penelitian tersebut menuliskan bahwa di tempat itu Syarif Abdurrahman berdakwah Islam sambil membuat barang-barang keramik dari tanah liat atau disebut anjun. Dari situlah sebutan Panjunan untuk daerah dan Masjid Abang berasal.
(Baca: Masjid Al Oesmani Medan, Simbol Keterbukaan Islam Pada Budaya Bangsa)
Bangunan masjid ini memang relatif kecil, hanya berukuran 40 meter persegi. Jarak antara lantai dan atap juga rendah, mirip model rumah-rumah tua di Jawa. Ini karena awalnya masjid ini hanya musala bernama Al-Athyah. Kecuali tempat wudhu, kondisi Masjid Merah Panjunan masih asli seperti awal berdirinya.
Secara umum dilihat dari arsitekturnya, Masjid Merah Panjunan ini memang bergaya asli Indonesia, khususnya Jawa. Ciri umum masjid di Nusantara menurut pendapat Sutjipto Wiryosuparto dalam artikel berjudul “Sejarah Pertumbuhan Bangunan Mesjid Indonesia” (Fadjar Th. III (2l) 1961) yaitu denah bangunan masjid di Jawa yang berbentuk persegi diperlihatkan juga oleh masjid-masjid di Indonesia.
Denah yang persegi itu adalah bagian dari rumah Jawa yang disebut pendopo. Bangunan pendopo yang denahnya serba persegi itu apabila ditutup dengan tembok atau dinding dan diberi bangunan untuk mihrab yang diarahkan ke kiblat barat laut akan menjadi sebuah masjid .
(Baca: Kebanggaan Warga Pariaman, Ungku Saliah Terkenal Lewat Bingkai Foto)
Seperti masjid-masjid lain di Cirebon, bangunan Masjid Merah Panjunan juga tak lepas dari unsur akulturasi budaya lama ke budaya baru. Gerbang masjid mirip bangunan pura yang mewakili unsur budaya Hindu. Unsur budaya Islam diwakili 17 tiang kayu pohon kokoh di bagian dalam yang melambangkan 17 rakaat dalam salat. Tiang kayu tersebut berbentuk bintang dengan delapan bunga yang melambangkan lafal selawat.
Potongan kayu tersusun rapi menjadi atap beradu dengan ornamen-ornamen piring keramik Tiongkok di yang masih dijaga keasliannya di bagian dinding. Konon keramik Tiongkok itu merupakan bagian hadiah kaisar China ketika Sunan Gunung Jati menikahi putrinya.
Perpaduan budaya Arab dan Tiongkok serta budaya lokal menegaskan posisi masjid yang berada di kawasan perdagangan. Tidak mengherankan jika Masjid Merah Panjunan tumbuh dengan berbagai pengaruh, seperti halnya seluruh keraton di Cirebon.
(muh)