Mantan Penderita COVID-19 Tak Divaksin, Begini Penjelasan Pakar dari Unair
loading...
A
A
A
SURABAYA - Mantan penderita COVID-19 tak diberikan vaksin . Melalui Keputusan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit No HK.02.02/4/1/2021, penegasan itu pun ditetapkan oleh pemerintah.
Kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Tropis Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran (FK) Unair Dr Dominicus Husada menuturkan, mantan penyintas COVID-19 memiliki antibodi yang membuat mereka bertahan.
"Jumlah vaksin yang terbatas juga menjadi pertimbangan. Sehingga vaksinasi harus didahulukan bagi mereka yang belum memiliki antibodi (belum pernah terjangkit COVID-19)," kata Domi, panggilan akrabnya, Senin (18/1/2021).
Ia melanjutkan, siapa saja yang pernah terjangkit COVID-19 tidak termasuk dalam sasaran vaksinasi. "Karena dianggap sudah memiliki antibodi, jadi tidak perlu. Untuk apa dibangkitkan, antibodinya kan sudah ada," jelasnya.
Lalu bagaimana jika vaksin diberikan pada orang yang tidak menyadari bahwa dirinya pernah terinfeksi COVID-19, Domi menjelaskan bahwa hal itu aman dan tidak berbahaya. Bahkan, menurutnya, vaksinasi dapat menambah tinggi antibodi.
"Tidak perlu cemas jika ternyata pernah terinfeksi COVID-19 dan terlanjur divaksin. Itu baik-baik saja, tidak perlu takut. Malah bisa jadi tambah bagus, karena menjadi seperti booster," ucapnya.
Domi menerangkan, pada dasarnya sistem imun tubuh akan aktif saat pertama kali terpapar COVID-19. Dalam sistem tersebut terdapat salah satu komponen yang bertugas mengingat. Jika suatu saat virus yang sama datang kembali, maka bagian ingatan akan membangkitkan sistem imun dalam waktu singkat.
Pada orang yang pernah terjangkit COVID-19, lanjutnya, bagian ingatan itu saat ini aktif. Sehingga, begitu COVID-19 menyerang kembali, bagian ingatan tersebut segera ingat dan siaga.
“Divaksin, dalam tanda kutip artinya sama dengan sakit lagi. Jadi kalau dia sudah pernah kena, tapi tidak ketahuan, sebenarnya bagian ingatannya dia sudah aktif. Begitu divaksin, hasilnya jauh lebih tinggi, jadi tidak dirugikan,” ungkapnya.
Sementara itu, jika vaksinasi diberikan ketika antibodi sedang tinggi, seringkali vaksin yang masuk dihalangi. Sehingga hasilnya lebih rendah. Meski begitu, ia menilai kondisi tersebut tidak membahayakan.
Domi menambahkan, antibodi COVID-19 dapat menurun bahkan hilang. Sejauh ini tercatat, antibodi COVID-19 yang bertahan paling lama telah memasuki bulan kedelapan.
“Hilangnya kapan juga kita belum tahu. Tapi pada penyakit yang mirip, Corona tapi bukan COVID-19, itu biasanya tidak lama, tiga sampai empat bulan,” katanya.
Kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Tropis Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran (FK) Unair Dr Dominicus Husada menuturkan, mantan penyintas COVID-19 memiliki antibodi yang membuat mereka bertahan.
"Jumlah vaksin yang terbatas juga menjadi pertimbangan. Sehingga vaksinasi harus didahulukan bagi mereka yang belum memiliki antibodi (belum pernah terjangkit COVID-19)," kata Domi, panggilan akrabnya, Senin (18/1/2021).
Ia melanjutkan, siapa saja yang pernah terjangkit COVID-19 tidak termasuk dalam sasaran vaksinasi. "Karena dianggap sudah memiliki antibodi, jadi tidak perlu. Untuk apa dibangkitkan, antibodinya kan sudah ada," jelasnya.
Lalu bagaimana jika vaksin diberikan pada orang yang tidak menyadari bahwa dirinya pernah terinfeksi COVID-19, Domi menjelaskan bahwa hal itu aman dan tidak berbahaya. Bahkan, menurutnya, vaksinasi dapat menambah tinggi antibodi.
"Tidak perlu cemas jika ternyata pernah terinfeksi COVID-19 dan terlanjur divaksin. Itu baik-baik saja, tidak perlu takut. Malah bisa jadi tambah bagus, karena menjadi seperti booster," ucapnya.
Domi menerangkan, pada dasarnya sistem imun tubuh akan aktif saat pertama kali terpapar COVID-19. Dalam sistem tersebut terdapat salah satu komponen yang bertugas mengingat. Jika suatu saat virus yang sama datang kembali, maka bagian ingatan akan membangkitkan sistem imun dalam waktu singkat.
Pada orang yang pernah terjangkit COVID-19, lanjutnya, bagian ingatan itu saat ini aktif. Sehingga, begitu COVID-19 menyerang kembali, bagian ingatan tersebut segera ingat dan siaga.
“Divaksin, dalam tanda kutip artinya sama dengan sakit lagi. Jadi kalau dia sudah pernah kena, tapi tidak ketahuan, sebenarnya bagian ingatannya dia sudah aktif. Begitu divaksin, hasilnya jauh lebih tinggi, jadi tidak dirugikan,” ungkapnya.
Sementara itu, jika vaksinasi diberikan ketika antibodi sedang tinggi, seringkali vaksin yang masuk dihalangi. Sehingga hasilnya lebih rendah. Meski begitu, ia menilai kondisi tersebut tidak membahayakan.
Domi menambahkan, antibodi COVID-19 dapat menurun bahkan hilang. Sejauh ini tercatat, antibodi COVID-19 yang bertahan paling lama telah memasuki bulan kedelapan.
“Hilangnya kapan juga kita belum tahu. Tapi pada penyakit yang mirip, Corona tapi bukan COVID-19, itu biasanya tidak lama, tiga sampai empat bulan,” katanya.
(shf)