Katib ‘Aam PBNU Bekali Mahasiswa PTKI Genealogi Ekstremisme Radikalisme
loading...
A
A
A
SEMARANG - Gerakan radikalisme dan terorisme mempunyai akar sejarah yang panjang, tidak saja menjadi masalah Islam tetapi hampir semua agama di dunia. Masalah perbudakan dan radikalisme terdapat rujukannya di dalam khazanah pemikiran Islam.
Katib 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) , KH Yahya Cholil Tsaquf memaparkan hal itu saat membawakan materi Genealogi Ekstremisme/Radikalisme dan Ancaman bagi Indonesia, Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Tingkat Nasional (Diklatpimnas) dihadapan 80 aktivis Mahasiswa PTKI se-Indonesia, Rabu (23/12/2020).
(Baca juga: Tampil Kedua di PBB, Gus Yahya Bicara Prakarsa Agama-agama Ibrahim)
Gus Yahya menegaskan pandangan radikalisme dan terosrisme mendapatkan dukungan dari sebagaian umat beragama karena disandarkan pada referensi yang muncul pada abad pertengahan Islam. "Paham itu sekarang tidak relevan lagi dalam konteks negara bangsa modern, seperti sekarang ini di mana antar bangsa sudah membaur," katanya, dikutip Kamis (24/12/2020).
(Baca juga: Katib Aam PBNU Terpilih sebagai Anggota Komisi Indo-Pasifik)
Menurut Gus Yahya, generasi milenial harus melakukan riset sejarah untuk melacak akar radikalisme dalam Islam. "Apakah benar terorisme tidak mempunyai agama dan tidak ada hubungannya dengan agama termasuk Islam?" ujarnya.
"Saya menolak keras anggapan itu karena itu bukti ketidakjujuran akan fakta-fakta historis, karena wacana itu dalam Islam kita temukan cangkolan literaturnya di sekitar pertengahan abad ke 15," tegas Pengasuh Pesantren Raudlotut Tholibin Rembang ini.
Dia memaparkan, gerakan radikal belakangan di sebut sebagai gerakan takfiri karena kerap mengkafirkan sesama muslim. "Gerakan takfiri berbahaya karena menganggap setiap orang kafir harus dimusuhi, halal darahnya dan halal kehormatannya. Sebaliknya jika kita muslim maka haram darahnya, kehormatan dan hartanya," katanya.
Selain itu dijelaskan pula tentang orang-orang yang benar-benar kafir. "Kalau merujuk pemikiran Islam abad pertengahan, konsekuensi adalah orang “kafir” itu tidak perlu mendapatkan perlindungan, mereka halal darahnya dan halal segala-galanya oleh penguasa," terangnya.
Diklatpimnas diselengarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam bekerjasama dengan Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Walisongo. Kegiatan berlangsung selama 10 hari, yakni pada 20-26 Desember 2020 berlangsung secara online dan 28-30 Desember secara offline.
Katib 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) , KH Yahya Cholil Tsaquf memaparkan hal itu saat membawakan materi Genealogi Ekstremisme/Radikalisme dan Ancaman bagi Indonesia, Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Tingkat Nasional (Diklatpimnas) dihadapan 80 aktivis Mahasiswa PTKI se-Indonesia, Rabu (23/12/2020).
(Baca juga: Tampil Kedua di PBB, Gus Yahya Bicara Prakarsa Agama-agama Ibrahim)
Gus Yahya menegaskan pandangan radikalisme dan terosrisme mendapatkan dukungan dari sebagaian umat beragama karena disandarkan pada referensi yang muncul pada abad pertengahan Islam. "Paham itu sekarang tidak relevan lagi dalam konteks negara bangsa modern, seperti sekarang ini di mana antar bangsa sudah membaur," katanya, dikutip Kamis (24/12/2020).
(Baca juga: Katib Aam PBNU Terpilih sebagai Anggota Komisi Indo-Pasifik)
Menurut Gus Yahya, generasi milenial harus melakukan riset sejarah untuk melacak akar radikalisme dalam Islam. "Apakah benar terorisme tidak mempunyai agama dan tidak ada hubungannya dengan agama termasuk Islam?" ujarnya.
"Saya menolak keras anggapan itu karena itu bukti ketidakjujuran akan fakta-fakta historis, karena wacana itu dalam Islam kita temukan cangkolan literaturnya di sekitar pertengahan abad ke 15," tegas Pengasuh Pesantren Raudlotut Tholibin Rembang ini.
Dia memaparkan, gerakan radikal belakangan di sebut sebagai gerakan takfiri karena kerap mengkafirkan sesama muslim. "Gerakan takfiri berbahaya karena menganggap setiap orang kafir harus dimusuhi, halal darahnya dan halal kehormatannya. Sebaliknya jika kita muslim maka haram darahnya, kehormatan dan hartanya," katanya.
Selain itu dijelaskan pula tentang orang-orang yang benar-benar kafir. "Kalau merujuk pemikiran Islam abad pertengahan, konsekuensi adalah orang “kafir” itu tidak perlu mendapatkan perlindungan, mereka halal darahnya dan halal segala-galanya oleh penguasa," terangnya.
Diklatpimnas diselengarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam bekerjasama dengan Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Walisongo. Kegiatan berlangsung selama 10 hari, yakni pada 20-26 Desember 2020 berlangsung secara online dan 28-30 Desember secara offline.