Ladang Salak, Padi, dan Sengonnya Dikubur Muntahan Lava Pijar Semeru, Sumarto: Semua Habis
loading...
A
A
A
Gemuruh disertai ledakan petir pada Selasa (1/12/2020) dini hari, masih terngiang di benak Sumarto (60). Pria yang sejak lahir hidup di Dusun Sumbersari itu, merasakan bagaimana kepanikan melanda saat abu, pasir, bercampur air hujan mengguyur dusunnya.
(Baca juga: Masih Hangat dan Mengeluarkan Asap, Warga Nekat Melintasi Material Vulkanik Gunung Semeru )
"Kejadiannya begitu cepat, dan kami hanya bisa berlari menyelamatkan diri. Kejadiannya mirip dengan tahun 1994 silam," ujar warga Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, tersebut.
Ya, warga Dusun Sumbersari, yang secara administrasi berada di wilayah Desa Supiturang, menjadi wilayah yang paling parah diterjang material vulkanik dari guguran lava pijar disertai awan panas letusan dari kawah Jonggring Saloko.
Warga dusun di lereng Gunung Semeru ini, semuanya selamat saat terjadi terjangan material vulkanik pada Senin (1/12/2020) dini hari. "Waktu itu saya yang teriak-teriak membangunkan warga, karena melihat ada kepulan asap pekat di udara dari arah Gunung Semeru," ungkap Mistar (55).
(Baca juga: Air Sungai Bah Bolon Meluap, Jalur Pematangsiantar-Medan Lumpuh )
Mistar terbangun pada dini hari, setelah mendengar suara sapi-sapinya ramai di kandang. Begitu keluar rumah, dilihatnya ada awan kelabu yang muncul dari Gunung Semeru , disertai dengan suara gemuruh.
Selamatnya seluruh warga dusun dari amukan material vulkanik, tidak diikuti dengan sawah ladang mereka. Material vulkanik yang jumlahnya jutaan meter kubik itu, menelan begitu saja seluruh sawah ladang yang berada di sekitar Besuk Kobokan.
Besuk Kobokan yang selama ini menjadi lokasi penambangan pasir dan batu, dengan kedalaman dari permukiman warga sekitar 30 meter, kini telah rata. Jurang sedalam 30 meter itu telah hilang berganti tumpukan material vulkanik yang masih mengepulkan asap panas hingga hari ketiga usai kejadian.
(Baca juga: Jelang Coblosan, Ribuan Saksi Gibran-Teguh di Pilwalkot Solo Jalani Rapid Test )
Kepulan asap putih di tengah Besuk Kobokan, menandakan masih adanya panas di dalam tumpukan material vulkanik yang memenuhi seluruh ruang di Besuk Kobokan yang lokasinya berjarak 11 km dari kawah Gunung Semeru .
"Padi, salak, kopi, dan sengon yang kami tanam sudah ludes semuanya. Tidak tersisa sedikitpun. Sawah ladang tempat kami mencari nafkah kini sudah tidak bisa diolah lagi, semuanya berisi debu, batu, dan lava yang masih panas," ujar Sumarto.
Dia tak tahu lagi harus mengadu ke siapa, terkait nasibnya ke depan setelah sawah ladang itu tidak bisa lagi difungsikan. "Ya kami hanya bisa berharap ada bantuan pemerintah untuk membersihkan material lahar, agar sawah ladang kami bisa ditanami lagi," ungkapnya.
(Baca juga: Solo Gempar, Mobil Mewah Milik Bos Perusahaan Tekstil Ditembaki Secara Brutal )
Sumarto mengaku, lahan salak, pagi, dan sengonnya ada sekitar tiga hektare. Hampir semuanya ludes ditenggelamkan oleh material vulkanik yang dimuntahkan dari Jonggring Saloko.
"Padinya masih usia 50-60 hari. Baru saja tumbuh dan belum berbuah, kini sudah lenyap semuanya terpendam di dalam lahar. Kami belum tahu besok mau kerja apa untuk dapat penghasilan," ungkapnya.
Hal senada juga dirasakan Priyanto (55). Kedua mata petani ini nampak sembab saat tiba di pos pengungsian Kamarkajar, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. "Tanaman sengon dan salak saya habis tertimbun lahar," ungkapnya.
(Baca juga: Prajurit Hantu Laut Marinir TNI AL Terlibat Pertempuran Sengit Jarak Dekat )
Dia mengaku, belum terbayang akan kerja apa setelah bencana ini. Menurutnya, mau tidak mau yang pilihanya harus kerja keluar desa dahulu karena tidak mungkin bercocok tanam dengan kondisi lahan penuh material vulkanik.
"Dahulu tahun 1994 pemerintah menawarkan program transmigrasi, usai ada bencana seperti ini. Sekarang, mungkin juga kalau masih ada program itu saya akan memikirkannya untuk ikut serta," katanya lirih.
Kalaupun ikut menambang pasir di Besuk Kobokan, dia mengaku pastinya tidak bisa dilakukan dalam waktu 1-2 bulan ini, karena kondisinya masih panas. Selain itu, persaingan penambangan pasir sangat ketat, karena banyak pengusaha besar menggunakan alat berat untuk mempercepat penambangan, sementara penduduk hanya secara manual.
"Selisihnya sangat jauh. Kalau pakai alat berat, untuk mengisi penuh pasir di bak truk dibutuhkan waktu hanya sekitar satu jam. Sementara kami yang manual, harus bekerjasama minimal tiga orang untuk menaikkan pasir ke truk, itupun untuk mengisi satu truk dibutuhkan waktu setengah hari," katanya.
(Baca juga: Awas Cuaca Ekstrim Landa Sulawesi Utara, BMKG Minta Masyarakat Hati-hati )
Sementara Sekda Kabupaten Lumajang, Agus Triono mengaku saat ini yang diutamakan adalah penanganan warga yang terdampak langsung bencana ini. "Kami salurkan bantuan kebutuhan pokok dan air bersih, serta menyediakan pos pengungsian," ujarnya.
Terkait lahan pertanian yang ikut terkubur oleh material vulkanik, Agus mengaku masih akan melakukan pendataan. Nantinya juga akan berupaya melaporkan hal ini ke Kementrian Pertanian, dan Gubernur Jatim, sehingga bisa dibantu penganggarannya untuk penanganan dampak bencana Gunung Semeru , terhadap pertanian masyarakat.
Sumarto, Priyanto, dan Mistar, serta warga Dusun Sumbersari, yang terdampak langsung bencana guguran lava pijar dan awan panas letusan Gunung Semeru , tentunya berharap kondisinya segera pulih seperti sediakala, dan bisa segera kembali ke sawah ladangnya, untuk mencari nafkah menghidupi kehidupan mereka.
(Baca juga: Masih Hangat dan Mengeluarkan Asap, Warga Nekat Melintasi Material Vulkanik Gunung Semeru )
"Kejadiannya begitu cepat, dan kami hanya bisa berlari menyelamatkan diri. Kejadiannya mirip dengan tahun 1994 silam," ujar warga Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, tersebut.
Ya, warga Dusun Sumbersari, yang secara administrasi berada di wilayah Desa Supiturang, menjadi wilayah yang paling parah diterjang material vulkanik dari guguran lava pijar disertai awan panas letusan dari kawah Jonggring Saloko.
Warga dusun di lereng Gunung Semeru ini, semuanya selamat saat terjadi terjangan material vulkanik pada Senin (1/12/2020) dini hari. "Waktu itu saya yang teriak-teriak membangunkan warga, karena melihat ada kepulan asap pekat di udara dari arah Gunung Semeru," ungkap Mistar (55).
(Baca juga: Air Sungai Bah Bolon Meluap, Jalur Pematangsiantar-Medan Lumpuh )
Mistar terbangun pada dini hari, setelah mendengar suara sapi-sapinya ramai di kandang. Begitu keluar rumah, dilihatnya ada awan kelabu yang muncul dari Gunung Semeru , disertai dengan suara gemuruh.
Selamatnya seluruh warga dusun dari amukan material vulkanik, tidak diikuti dengan sawah ladang mereka. Material vulkanik yang jumlahnya jutaan meter kubik itu, menelan begitu saja seluruh sawah ladang yang berada di sekitar Besuk Kobokan.
Besuk Kobokan yang selama ini menjadi lokasi penambangan pasir dan batu, dengan kedalaman dari permukiman warga sekitar 30 meter, kini telah rata. Jurang sedalam 30 meter itu telah hilang berganti tumpukan material vulkanik yang masih mengepulkan asap panas hingga hari ketiga usai kejadian.
(Baca juga: Jelang Coblosan, Ribuan Saksi Gibran-Teguh di Pilwalkot Solo Jalani Rapid Test )
Kepulan asap putih di tengah Besuk Kobokan, menandakan masih adanya panas di dalam tumpukan material vulkanik yang memenuhi seluruh ruang di Besuk Kobokan yang lokasinya berjarak 11 km dari kawah Gunung Semeru .
"Padi, salak, kopi, dan sengon yang kami tanam sudah ludes semuanya. Tidak tersisa sedikitpun. Sawah ladang tempat kami mencari nafkah kini sudah tidak bisa diolah lagi, semuanya berisi debu, batu, dan lava yang masih panas," ujar Sumarto.
Dia tak tahu lagi harus mengadu ke siapa, terkait nasibnya ke depan setelah sawah ladang itu tidak bisa lagi difungsikan. "Ya kami hanya bisa berharap ada bantuan pemerintah untuk membersihkan material lahar, agar sawah ladang kami bisa ditanami lagi," ungkapnya.
(Baca juga: Solo Gempar, Mobil Mewah Milik Bos Perusahaan Tekstil Ditembaki Secara Brutal )
Sumarto mengaku, lahan salak, pagi, dan sengonnya ada sekitar tiga hektare. Hampir semuanya ludes ditenggelamkan oleh material vulkanik yang dimuntahkan dari Jonggring Saloko.
"Padinya masih usia 50-60 hari. Baru saja tumbuh dan belum berbuah, kini sudah lenyap semuanya terpendam di dalam lahar. Kami belum tahu besok mau kerja apa untuk dapat penghasilan," ungkapnya.
Hal senada juga dirasakan Priyanto (55). Kedua mata petani ini nampak sembab saat tiba di pos pengungsian Kamarkajar, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. "Tanaman sengon dan salak saya habis tertimbun lahar," ungkapnya.
(Baca juga: Prajurit Hantu Laut Marinir TNI AL Terlibat Pertempuran Sengit Jarak Dekat )
Dia mengaku, belum terbayang akan kerja apa setelah bencana ini. Menurutnya, mau tidak mau yang pilihanya harus kerja keluar desa dahulu karena tidak mungkin bercocok tanam dengan kondisi lahan penuh material vulkanik.
"Dahulu tahun 1994 pemerintah menawarkan program transmigrasi, usai ada bencana seperti ini. Sekarang, mungkin juga kalau masih ada program itu saya akan memikirkannya untuk ikut serta," katanya lirih.
Kalaupun ikut menambang pasir di Besuk Kobokan, dia mengaku pastinya tidak bisa dilakukan dalam waktu 1-2 bulan ini, karena kondisinya masih panas. Selain itu, persaingan penambangan pasir sangat ketat, karena banyak pengusaha besar menggunakan alat berat untuk mempercepat penambangan, sementara penduduk hanya secara manual.
"Selisihnya sangat jauh. Kalau pakai alat berat, untuk mengisi penuh pasir di bak truk dibutuhkan waktu hanya sekitar satu jam. Sementara kami yang manual, harus bekerjasama minimal tiga orang untuk menaikkan pasir ke truk, itupun untuk mengisi satu truk dibutuhkan waktu setengah hari," katanya.
(Baca juga: Awas Cuaca Ekstrim Landa Sulawesi Utara, BMKG Minta Masyarakat Hati-hati )
Sementara Sekda Kabupaten Lumajang, Agus Triono mengaku saat ini yang diutamakan adalah penanganan warga yang terdampak langsung bencana ini. "Kami salurkan bantuan kebutuhan pokok dan air bersih, serta menyediakan pos pengungsian," ujarnya.
Terkait lahan pertanian yang ikut terkubur oleh material vulkanik, Agus mengaku masih akan melakukan pendataan. Nantinya juga akan berupaya melaporkan hal ini ke Kementrian Pertanian, dan Gubernur Jatim, sehingga bisa dibantu penganggarannya untuk penanganan dampak bencana Gunung Semeru , terhadap pertanian masyarakat.
Sumarto, Priyanto, dan Mistar, serta warga Dusun Sumbersari, yang terdampak langsung bencana guguran lava pijar dan awan panas letusan Gunung Semeru , tentunya berharap kondisinya segera pulih seperti sediakala, dan bisa segera kembali ke sawah ladangnya, untuk mencari nafkah menghidupi kehidupan mereka.
(eyt)