IAIN Tulungagung Terus Sudutkan Mahasiswi Korban Dugaan Pelecehan Seksual
loading...
A
A
A
TULUNGAGUNG - Victimisasi atau upaya memojokkan korban dugaan pelecehan seksual ternyata masih terus dilakukan pihak kampus IAIN Tulungagung. Dalam mediasi yang digelar kalangan rektorat, korban, yakni mahasiswi yang juga aktivis gender, masih diserang dengan pertanyaan yang menyudutkan.
"Korban disudutkan lagi (victimisasi). Kembali ditanya kenapa mau diajak pergi berdua," ujar Koordinator Aliansi IAIN TA (Tulungagung) Bersuara Roiyatus Saadah kepada SINDOnews.com Rabu (18/11/2020). Aliansi IAIN TA Bersuara merupakan organ taktis yang di dalamnya berisi para aktivis lintas fakultas. (Baca juga: Ini Kronologis Pelecehan Aktivis Mahasiswi IAIN Tulungagung )
Aliansi aktivis ini sejak awal menjadi pendamping korban dalam mencari keadilan di kampus. Sejak awal Roiyatus menuntut pihak kampus dan siapapun untuk tidak memvictimisasi korban. Sikap ini menyusul adanya upaya membangun framing dengan memposisikan korban sebagai pihak yang salah.
Framing bahwa apa yang menimpa korban sudah selawajarnya terjadi karena korban mau maunya pergi berdua dengan pelaku. Kemudian dengan alasan bersyukur karena masih selamat, korban juga didesak untuk memaafkan pelaku dan melupakannya.
"Dalam mediasi ternyata kembali terjadi (victimisasi)," kata Roiyatus. Mediasi di tingkat rektorat langsung digelar setelah aktivis Aliansi IAIN TA Bersuara menggelar unjuk rasa di depan Kantor Rektorat Senin (16/11/2020) lalu. (Baca juga: Selain Pejabat Pemkot Surabaya, KIPP Juga Laporkan Program Ini ke ASN )
Massa menuntut pengusutan kasus secara tuntas. Termasuk menangguhkan ijazah pelaku yang pada 10-14 November lalu ikut diwisuda. Dalam mediasi, kata Roiyatus, pihak rektorat memanggil para pihak secara sendirian. Korban masuk ke dalam ruangan sendiri di mana telah menanti petugas rektorat yang siap mencecar dengan berbagai pertanyaan.
Begitu juga dengan pelaku. Juga dihadapkan pada situasi yang sama. "Mediasi sudah berjalan," kata Roiyatus. Faktanya, pada peristiwa yang terjadi 2 September lalu, kemudian dilaporkan kampus 16 September, dan baru direspon 1 Oktober, korban memang pergi berdua dengan pelaku. Kenapa demikian?, karena sebelum peristiwa terjadi, korban tidak pernah menaruh pikiran buruk.
Korban melihat pelaku sebagai aktivis pergerakan mahasiswa dan juga aktivis Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) yang baik. Korban berfikir, seorang aktifis tidak akan melakukan penyelewengan kesusilaan. Di sisi lain, di Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, korban yang aktif di berbagai forum kajian gender, juga merupakan yunior pelaku.
Karenannya victimisasi yang dilakukan pihak kampus dapat dinilai sebagai upaya pengalihan persoalan. Sebab substansi kasus adalah bagaimana kampus membuktikan ada tidaknya dugaan pelecehan seksual. "Kami meminta victimisasi terhadap korban untuk segera dihentikan," tegas Roiyatus yang menambahkan diduga ada korban lain.
Informasi yang dihimpun Sindonews, kasus dugaan pelecehan seksual yang mencuat dikhawatirkan kalangan rektorat kampus IAIN Tulungagung. Jika terus menggelinding mereka khawatir bisa menganggu proses pengalihan status IAIN Tulungagung menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Tulungagung.
Sebab saat ini surat permohonan izin prakarsa penyusunan atas enam Rancangan Peraturan Presiden tentang UIN, telah disetujui Presiden Joko Widodo. Bersama IAIN Tulungagung yang proses menuju UIN, ada IAIN Jember, Purwokerto, Surakarta, dan Bengkulu.
Pemberitahuan persetujuan presiden tersebut telah disampaikan Menteri Sekertaris Negara Pratikno pada 12 November 2020 lalu. "Kalau dibiarkan kasus yang terjadi dikhawatirkan menjadi ganjalan," kata sumber di lingkungan IAIN Tulungagung. Sementara setelah dilakukan mediasi para pihak, pihak kampus IAIN Tulungagung akan melanjutkan dengan persidangan internal.
Wakil Rektor III IAIN Tulungagung Abad Badruzaman sebelumnya berjanji akan berusaha sebisa mungkin berpihak pada keadilan. Pihak rektorat tidak akan berpihak kepada klaim atau pengakuan sepihak. Karenannya sebelum ditemukan materi dan keputusan hukum, rektorat belum bisa menentukan sanksi. "Kami akan sebisa mungkin berpihak kepada keadilan. Kekuatan hasil persidangan harus mengikat, " ujar Abad.
"Korban disudutkan lagi (victimisasi). Kembali ditanya kenapa mau diajak pergi berdua," ujar Koordinator Aliansi IAIN TA (Tulungagung) Bersuara Roiyatus Saadah kepada SINDOnews.com Rabu (18/11/2020). Aliansi IAIN TA Bersuara merupakan organ taktis yang di dalamnya berisi para aktivis lintas fakultas. (Baca juga: Ini Kronologis Pelecehan Aktivis Mahasiswi IAIN Tulungagung )
Aliansi aktivis ini sejak awal menjadi pendamping korban dalam mencari keadilan di kampus. Sejak awal Roiyatus menuntut pihak kampus dan siapapun untuk tidak memvictimisasi korban. Sikap ini menyusul adanya upaya membangun framing dengan memposisikan korban sebagai pihak yang salah.
Framing bahwa apa yang menimpa korban sudah selawajarnya terjadi karena korban mau maunya pergi berdua dengan pelaku. Kemudian dengan alasan bersyukur karena masih selamat, korban juga didesak untuk memaafkan pelaku dan melupakannya.
"Dalam mediasi ternyata kembali terjadi (victimisasi)," kata Roiyatus. Mediasi di tingkat rektorat langsung digelar setelah aktivis Aliansi IAIN TA Bersuara menggelar unjuk rasa di depan Kantor Rektorat Senin (16/11/2020) lalu. (Baca juga: Selain Pejabat Pemkot Surabaya, KIPP Juga Laporkan Program Ini ke ASN )
Massa menuntut pengusutan kasus secara tuntas. Termasuk menangguhkan ijazah pelaku yang pada 10-14 November lalu ikut diwisuda. Dalam mediasi, kata Roiyatus, pihak rektorat memanggil para pihak secara sendirian. Korban masuk ke dalam ruangan sendiri di mana telah menanti petugas rektorat yang siap mencecar dengan berbagai pertanyaan.
Begitu juga dengan pelaku. Juga dihadapkan pada situasi yang sama. "Mediasi sudah berjalan," kata Roiyatus. Faktanya, pada peristiwa yang terjadi 2 September lalu, kemudian dilaporkan kampus 16 September, dan baru direspon 1 Oktober, korban memang pergi berdua dengan pelaku. Kenapa demikian?, karena sebelum peristiwa terjadi, korban tidak pernah menaruh pikiran buruk.
Korban melihat pelaku sebagai aktivis pergerakan mahasiswa dan juga aktivis Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) yang baik. Korban berfikir, seorang aktifis tidak akan melakukan penyelewengan kesusilaan. Di sisi lain, di Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, korban yang aktif di berbagai forum kajian gender, juga merupakan yunior pelaku.
Karenannya victimisasi yang dilakukan pihak kampus dapat dinilai sebagai upaya pengalihan persoalan. Sebab substansi kasus adalah bagaimana kampus membuktikan ada tidaknya dugaan pelecehan seksual. "Kami meminta victimisasi terhadap korban untuk segera dihentikan," tegas Roiyatus yang menambahkan diduga ada korban lain.
Informasi yang dihimpun Sindonews, kasus dugaan pelecehan seksual yang mencuat dikhawatirkan kalangan rektorat kampus IAIN Tulungagung. Jika terus menggelinding mereka khawatir bisa menganggu proses pengalihan status IAIN Tulungagung menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Tulungagung.
Sebab saat ini surat permohonan izin prakarsa penyusunan atas enam Rancangan Peraturan Presiden tentang UIN, telah disetujui Presiden Joko Widodo. Bersama IAIN Tulungagung yang proses menuju UIN, ada IAIN Jember, Purwokerto, Surakarta, dan Bengkulu.
Pemberitahuan persetujuan presiden tersebut telah disampaikan Menteri Sekertaris Negara Pratikno pada 12 November 2020 lalu. "Kalau dibiarkan kasus yang terjadi dikhawatirkan menjadi ganjalan," kata sumber di lingkungan IAIN Tulungagung. Sementara setelah dilakukan mediasi para pihak, pihak kampus IAIN Tulungagung akan melanjutkan dengan persidangan internal.
Wakil Rektor III IAIN Tulungagung Abad Badruzaman sebelumnya berjanji akan berusaha sebisa mungkin berpihak pada keadilan. Pihak rektorat tidak akan berpihak kepada klaim atau pengakuan sepihak. Karenannya sebelum ditemukan materi dan keputusan hukum, rektorat belum bisa menentukan sanksi. "Kami akan sebisa mungkin berpihak kepada keadilan. Kekuatan hasil persidangan harus mengikat, " ujar Abad.
(msd)