127 Mantan Napi Teroris di Jateng Baru Separuh NKRI
loading...
A
A
A
SEMARANG - Sebanyak 127 mantan narapidana kasus terorisme (napiter) telah selesai menjalani masa hukumannya. Mereka kini kembali ke masyarakat yang tersebar di seluruh Jawa Tengah, dengan dominasi berada di Solo Raya.
“Jumlahnya dinamis ada penambahan-penambahan. Tapi kemarin itu terakhir sekira 127 orang, dominasinya berada di Solo Raya. Di antara jumlah orang itu yang istilahnya sudah NKRI itu ya separuhnya,” kataKepala Badan Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah, Haerudin, Kamis (12/11/2020).
Pihaknya kini tengah menggodok aturan agar pembinaan eks napiter melibatkan sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD). Sebab, kebutuhan mereka selepas dari penjara sangat kompleks. Bukan hanya deradikalisasi melainkan juga kesehatan hingga ekonomi.(Baca juga: Menjahit Merah Putih, Eks Napiter ke Pangkuan Ibu Pertiwi atau Aksi Panggung? )
“Kebetulan saya baru dari Sukoharjo, menguruskan teman-teman (eks napiter) yang membutuhkan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk membantu mereka kalau misalnya membutuhkan layanan dengan kesehatan,” ujarnya.
“Sekarang kita juga memperkuat untuk peran pemerintah daerah dalam rangka melakukan gerak yakni sedang menyusun surat gubernur untuk memberikan pembinaan secara terstruktur. Jadi kami dengan OPD terkait nanti kita akan melakukan pembinaan. Bukan hanya pembinaan kebangsaannya, tetapi juga pembinaan kegiatan usaha dan pembinaan keagamaan,” tutur warga Pudakpayung Semarang itu.
Para mantan napi teroris ini mendapat pembinaan dan bergabung dengan lembaga yang dikelola oleh masyarakat. Namun, masih banyak pula yang enggan bergabung dan cenderung menutup diri karena beragam persoalan di masyarakat.
“Sudah dibina melalui dua yayasan yakni Gema Salam itu di Sukoharjo dan Persadani di Semarang. Tetapi masih banyak juga yang belum bergabung di dalam yayasan. Artinya mereka untuk bertemu dengan kita saja itu masih malu-malu. Mungkin masih takut, atau mungkin malah tidak mau (bergabung dengan NKRI),” terangnya.
“Ini yang juga menjadi PR kita. Maka kita selalu kerjasama, koordinasi dengan pihak terkait dengan mengumpulkan data-data, mereka yang sudah keluar (penjara) mana saja. Lalu kemudian kita melakukan pendekatan-pendekatan untuk sama-sama kembali ke NKRI,” tegas dia.
Dia meyakinkan, pemerintah serius menangani eks napiter agar tak kembali direkrut oleh jaringan radikal. Sebab, selain membahayakan stabilitas negara paham radikal yang berkedok agama juga menghalalkan kekerasan untuk mencapai tujuan.(Baca juga: Gunung Merapi Siaga, BNPB: 1.294 Pengungsi di Empat Kabupaten Sudah Dievakuasi )
“Misalnya ini tidak ditangani secara benar, mereka direkrut lagi yang lain kan repot. Keluar dari lembaga pemasyarakatan, dibiayai negara pada proses pembinaan di situ (lapas), dia begitu keluar diajak lagi sama kelompok yang memang masih punya misi ke situ (terorisme). Kan negara ini nanti bolak-balik ngurusi itu, enggak selesai-selesainya,” pungkasnya.
Pria yang kini menjabat Pjs Bupati Grobogan itu juga selalu melibatkan eks napiter untuk sosialisasi bahaya paham radikal. Mereka menjadi narasumber untuk menyampaikan pola-pola perekrutan hingga aktivitas terorisme.
“Bagaimana terorisme itu, mulai dari rekrutmennya lalu aktivitas-aktivitasnya yang selalu dijanjikan dengan sesuatu yang manis-manis. Pada akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa, makanya yang sadar seperti Mas Jack Harun itu kan akhirnya kembali ke NKRI,” jelas Haerudin.
Selain Jack Harun yang sudah menyatakan kembali ke NKRI, juga terdapat mantan pengikut gembong teroris Noordin M Top bernama Sri Puji Mulyo Siswanto. Bahkan, dia mencegat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo demi menyerahkan Sang Merah Putih, sebelum peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober.(Baca juga: Pandemi COVID-19, Pilkada Serentak 2020 Dinilai Kurang Heroik )
Potongan video yang memperlihatkan seorang pria berpeci membawa kotak kardus mencegat Ganjar di kawasan Kantor Gubernur Jateng, beredar luas di jagat maya seperti pada akun Youtube @Ganjar Pranowo. Setelah dibuka, ternyata kardus berisi Bendera Merah Putih yang langsung diserahkan kepada Ganjar.
Sri Puji Mulyo Siswanto mengaku ditangkap dan dipenjara selama enam tahun setelah menyembunyikan Noordin M Top dan Dr Azahari, otak sejumlah serangan terorisme di Indonesia. Seolah masih tak kapok, dia kembali dipenjara karena terlibat pelatihan terorisme di Aceh.
"Selamat ulang tahun Pak, ini kado dari kami teman-teman eks napi terorisme yang ada di Yayasan Persadani, sebagai bukti bahwa kami telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi," kata Sri Puji kepada Ganjar.
Sri Puji mengatakan sengaja memberikan kado Bendera Merah Putih saat hari ulang tahun Ganjar yang memasuki usia 52 tahun. Bendera berukuran 40x60 sentimeter persegi itu dijahit sendiri oleh para eks napiter di Yayasan Persadani (Persaudaraan Anak Negeri).
“Ya mudah-mudahan kado ini sangat berharga bagi kami dan Pak Ganjar, karena yang akan kami berikan ini kita sebagai wujud bahwa kami, teman-teman kami yang ada di Yayasan Persadani sudah menyatakan diri untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, NKRI,” jelasnya.
“Sehingga wujud dari itu adalah Bendera Merah Putih yang kami bikin sendiri, dijahit oleh ketuanya dibantu oleh bendahara kami,” imbuh dia.
Warga Genuk Kota Semarang itu menyampaikan, tak butuh waktu terlalu lama untuk membuat bendera tersebut. Meski demikian, selembar kain itu memiliki banyak makna sekaligus simbol mantan napiter kembali berkontribusi untuk negeri.
“Prosesnya kurang lebih kemarin sekira 2 jam, enggak nyampai. Kami ingin memberikan simbol pada Pak Ganjar, selaku beliau bapak kami di Jawa Tengah. Bahwa ini lho ada warga yang dulu ‘nakal’, sekarang sudah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kami ingin berikan kontribusi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah khususnya, untuk bisa kami bersinergi dengan program-program yang ada di provinsi Jawa Tengah,” tandasnya.
Dia masih mengingat ketika awal bergabung dengan jaringan teroris. Berawal dari empati melihat saudara-saudara sesama muslim yang dizalimi. Empati itu kian mengeras hingga menjadi emosional yang tidak terkendali, hingga masuk ke jaringan itu.
“Awalnya rasa empati kami kepada saudara-saudara kami yang yang memurut kami dizalimi, sehingga kami terpanggil. Namun karena emosional yang mungkin kurang terkendali, lama-lama kita masuk terus ke jaringan itu,” terangnya.
“Saya 2005 menyembunyikan Noordin M Top dan Dr Azahari, kemudian bebas. Tahun 2010 terlibat lagi kaitannya dengan pelatihan (terorisme) Aceh,” tambah dia.
Dua kali menjalani hukuman penjara menjadi titik balik kehidupan barunya. Sebab penjara tak sekadar merasakan dinginnya jeruji besi, melainkan terbentuknya ruang-ruang diskusi hingga membuka wawasannya.
“Alhamdulillah, setelah kami saya pribadi menjalani proses hukuman dan di sana kita ada ruang diskusi, ruang dialog, dengan beberapa profesional baik itu dari akademisi, para mubaligh, kemudian dari kampus. Kami terbuka wacana, ternyata Islam itu tidak harus seperti itu (keras), karena Indonesia beda dengan kondisi yang ada di luar seperti Timur Tengah, Filipina, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
“Saya berpesan pada kawan kita (yang masih berpaham radikal), cobalah kita buka ruang diskusi, ruang dialog karena hanya dengan diskusi dan dialog akan ada solusi untuk persoalan-persoalan yang memang menurut kita harus diselesaikan,” cetus dia.
Kado Bendera Merah Putih itu menjadi kejutan tersendiri bagi Ganjar Pranowo. Apalagi, bendera itu dijahit sendiri oleh tangan-tangan mantan napiter. Mereka diharapkan bisa menjadi juru kampanye agar masyarakat tak mudah terpengaruh paham radikal.
“Jumlahnya dinamis ada penambahan-penambahan. Tapi kemarin itu terakhir sekira 127 orang, dominasinya berada di Solo Raya. Di antara jumlah orang itu yang istilahnya sudah NKRI itu ya separuhnya,” kataKepala Badan Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah, Haerudin, Kamis (12/11/2020).
Pihaknya kini tengah menggodok aturan agar pembinaan eks napiter melibatkan sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD). Sebab, kebutuhan mereka selepas dari penjara sangat kompleks. Bukan hanya deradikalisasi melainkan juga kesehatan hingga ekonomi.(Baca juga: Menjahit Merah Putih, Eks Napiter ke Pangkuan Ibu Pertiwi atau Aksi Panggung? )
“Kebetulan saya baru dari Sukoharjo, menguruskan teman-teman (eks napiter) yang membutuhkan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk membantu mereka kalau misalnya membutuhkan layanan dengan kesehatan,” ujarnya.
“Sekarang kita juga memperkuat untuk peran pemerintah daerah dalam rangka melakukan gerak yakni sedang menyusun surat gubernur untuk memberikan pembinaan secara terstruktur. Jadi kami dengan OPD terkait nanti kita akan melakukan pembinaan. Bukan hanya pembinaan kebangsaannya, tetapi juga pembinaan kegiatan usaha dan pembinaan keagamaan,” tutur warga Pudakpayung Semarang itu.
Para mantan napi teroris ini mendapat pembinaan dan bergabung dengan lembaga yang dikelola oleh masyarakat. Namun, masih banyak pula yang enggan bergabung dan cenderung menutup diri karena beragam persoalan di masyarakat.
“Sudah dibina melalui dua yayasan yakni Gema Salam itu di Sukoharjo dan Persadani di Semarang. Tetapi masih banyak juga yang belum bergabung di dalam yayasan. Artinya mereka untuk bertemu dengan kita saja itu masih malu-malu. Mungkin masih takut, atau mungkin malah tidak mau (bergabung dengan NKRI),” terangnya.
“Ini yang juga menjadi PR kita. Maka kita selalu kerjasama, koordinasi dengan pihak terkait dengan mengumpulkan data-data, mereka yang sudah keluar (penjara) mana saja. Lalu kemudian kita melakukan pendekatan-pendekatan untuk sama-sama kembali ke NKRI,” tegas dia.
Dia meyakinkan, pemerintah serius menangani eks napiter agar tak kembali direkrut oleh jaringan radikal. Sebab, selain membahayakan stabilitas negara paham radikal yang berkedok agama juga menghalalkan kekerasan untuk mencapai tujuan.(Baca juga: Gunung Merapi Siaga, BNPB: 1.294 Pengungsi di Empat Kabupaten Sudah Dievakuasi )
“Misalnya ini tidak ditangani secara benar, mereka direkrut lagi yang lain kan repot. Keluar dari lembaga pemasyarakatan, dibiayai negara pada proses pembinaan di situ (lapas), dia begitu keluar diajak lagi sama kelompok yang memang masih punya misi ke situ (terorisme). Kan negara ini nanti bolak-balik ngurusi itu, enggak selesai-selesainya,” pungkasnya.
Pria yang kini menjabat Pjs Bupati Grobogan itu juga selalu melibatkan eks napiter untuk sosialisasi bahaya paham radikal. Mereka menjadi narasumber untuk menyampaikan pola-pola perekrutan hingga aktivitas terorisme.
“Bagaimana terorisme itu, mulai dari rekrutmennya lalu aktivitas-aktivitasnya yang selalu dijanjikan dengan sesuatu yang manis-manis. Pada akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa, makanya yang sadar seperti Mas Jack Harun itu kan akhirnya kembali ke NKRI,” jelas Haerudin.
Selain Jack Harun yang sudah menyatakan kembali ke NKRI, juga terdapat mantan pengikut gembong teroris Noordin M Top bernama Sri Puji Mulyo Siswanto. Bahkan, dia mencegat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo demi menyerahkan Sang Merah Putih, sebelum peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober.(Baca juga: Pandemi COVID-19, Pilkada Serentak 2020 Dinilai Kurang Heroik )
Potongan video yang memperlihatkan seorang pria berpeci membawa kotak kardus mencegat Ganjar di kawasan Kantor Gubernur Jateng, beredar luas di jagat maya seperti pada akun Youtube @Ganjar Pranowo. Setelah dibuka, ternyata kardus berisi Bendera Merah Putih yang langsung diserahkan kepada Ganjar.
Sri Puji Mulyo Siswanto mengaku ditangkap dan dipenjara selama enam tahun setelah menyembunyikan Noordin M Top dan Dr Azahari, otak sejumlah serangan terorisme di Indonesia. Seolah masih tak kapok, dia kembali dipenjara karena terlibat pelatihan terorisme di Aceh.
"Selamat ulang tahun Pak, ini kado dari kami teman-teman eks napi terorisme yang ada di Yayasan Persadani, sebagai bukti bahwa kami telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi," kata Sri Puji kepada Ganjar.
Sri Puji mengatakan sengaja memberikan kado Bendera Merah Putih saat hari ulang tahun Ganjar yang memasuki usia 52 tahun. Bendera berukuran 40x60 sentimeter persegi itu dijahit sendiri oleh para eks napiter di Yayasan Persadani (Persaudaraan Anak Negeri).
“Ya mudah-mudahan kado ini sangat berharga bagi kami dan Pak Ganjar, karena yang akan kami berikan ini kita sebagai wujud bahwa kami, teman-teman kami yang ada di Yayasan Persadani sudah menyatakan diri untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, NKRI,” jelasnya.
“Sehingga wujud dari itu adalah Bendera Merah Putih yang kami bikin sendiri, dijahit oleh ketuanya dibantu oleh bendahara kami,” imbuh dia.
Warga Genuk Kota Semarang itu menyampaikan, tak butuh waktu terlalu lama untuk membuat bendera tersebut. Meski demikian, selembar kain itu memiliki banyak makna sekaligus simbol mantan napiter kembali berkontribusi untuk negeri.
“Prosesnya kurang lebih kemarin sekira 2 jam, enggak nyampai. Kami ingin memberikan simbol pada Pak Ganjar, selaku beliau bapak kami di Jawa Tengah. Bahwa ini lho ada warga yang dulu ‘nakal’, sekarang sudah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kami ingin berikan kontribusi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah khususnya, untuk bisa kami bersinergi dengan program-program yang ada di provinsi Jawa Tengah,” tandasnya.
Dia masih mengingat ketika awal bergabung dengan jaringan teroris. Berawal dari empati melihat saudara-saudara sesama muslim yang dizalimi. Empati itu kian mengeras hingga menjadi emosional yang tidak terkendali, hingga masuk ke jaringan itu.
“Awalnya rasa empati kami kepada saudara-saudara kami yang yang memurut kami dizalimi, sehingga kami terpanggil. Namun karena emosional yang mungkin kurang terkendali, lama-lama kita masuk terus ke jaringan itu,” terangnya.
“Saya 2005 menyembunyikan Noordin M Top dan Dr Azahari, kemudian bebas. Tahun 2010 terlibat lagi kaitannya dengan pelatihan (terorisme) Aceh,” tambah dia.
Dua kali menjalani hukuman penjara menjadi titik balik kehidupan barunya. Sebab penjara tak sekadar merasakan dinginnya jeruji besi, melainkan terbentuknya ruang-ruang diskusi hingga membuka wawasannya.
“Alhamdulillah, setelah kami saya pribadi menjalani proses hukuman dan di sana kita ada ruang diskusi, ruang dialog, dengan beberapa profesional baik itu dari akademisi, para mubaligh, kemudian dari kampus. Kami terbuka wacana, ternyata Islam itu tidak harus seperti itu (keras), karena Indonesia beda dengan kondisi yang ada di luar seperti Timur Tengah, Filipina, dan lain sebagainya,” ungkapnya.
“Saya berpesan pada kawan kita (yang masih berpaham radikal), cobalah kita buka ruang diskusi, ruang dialog karena hanya dengan diskusi dan dialog akan ada solusi untuk persoalan-persoalan yang memang menurut kita harus diselesaikan,” cetus dia.
Kado Bendera Merah Putih itu menjadi kejutan tersendiri bagi Ganjar Pranowo. Apalagi, bendera itu dijahit sendiri oleh tangan-tangan mantan napiter. Mereka diharapkan bisa menjadi juru kampanye agar masyarakat tak mudah terpengaruh paham radikal.
(msd)