Pro Kontra Pelibatan TNI Dalam Penanganan Terorisme Belum Tuntas
loading...
A
A
A
BANDUNG - Rencana pemerintah melibatkan TNI dalam penanganan aksi terorisme terus menimbulkan pro dan kontra, terutama dalam aspek hukumnya yang dinilai bertolak belakang dengan aturan yang ada. Hal itu mengemuka dalam Webinar Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme yang digelar Pusat Studi Keamanan dan Internasional Uuniversitas Padjadjaran (Unpad) dan Marapi, Sabtu (7/11/2020).
Dalam sambutannya, Dekan Fisip Unpad, Widya Setiabudi mengakui, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme sudah lama memancing pro dan kontra di masyarakat, mulai dari definisi terorisme itu sendiri hingga aspek hukumnya. "Nah, dalam perdebatan di berbagai forum, saya pribadi melihat, penanganan terorisme tidak bisa ditangani oleh satu pihak. Semua komponen bangsa harus terlibat. Apa TNI diperlukan? jelas diperlukan," tegasnya.
Meski begitu, Widya menekankan, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus dirumuskan secara proporsional dan konstitusional, agar TNI memiliki peran yang tepat dan kontekstual. "TNI terlibat oke, tapi konteksnya seperti apa?," katanya.
Pakar hukum Unpad , Idris mengamini bahwa TNI perlu dilibatkan dalam penanganan terorisme di Indonesia. Bahkan, Idris yang fokus mendalami hukum internasional itu pun menyebut bahwa hukum internasional tidak akan mempersoalkan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.
Meski begitu, mengacu pada resolusi internasional, Idris menegaskan bahwa pelaku terorisme harus dihukum melalui proses peradilan. Siapapun terorisnya dan dimana pun dia berada, kata Idris, semua negara berhak menangkapnya untuk kemudian diadili karena merugikan. "Seperti (teroris) Hambali yang ditangkap Amerika Serikat saat bersembunyi di Bogor. Jadi, yang namanya teroris harus dihukum. Bahkan, ada prinsip hukum atau ekstradisi," ujar Idris mencontohkan.
Namun, lanjut Indris, persoalan bakal muncul manakala tidak ada persidangan terhadap pelaku terorisme. Dia kembali menegaskan bahwa pelaku terorisme dapat ditangkap di manapun, tapi tetap harus diadili. "Jika tidak diadili, maka itu menjadi pelanggaran HAM (hak asasi manusia)," katanya.
Idris menyambut baik hadirnya rancangan peraturan presiden (perpres) tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Selain menjadi amanat Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, perpres mencerminkan tanggung jawab negara dalam pemberantasan terorisme, termasuk kewajiban negara sebagai peserta perjanjian internasional. (Baca: Masuk Zona Bahaya, Warga Cangkringan Mulai Mengungsi ke Barak).
"Dalam praktiknya, TNI dapat bekerja sama dengan semua komponen bangsa dan pihak internasional karena terorisme ini kejahatan paling serius. Semua negara wajib memberantas, menangkap, dan mengadili para pelakunya tanpa memperhatikan kebangsaan dan tempat terjadinya," katanya.
Namun, seakan menepis pernyataan Idris, pengamat militer yang juga mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais), Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto mempersoalkan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Terlebih, kata dia, rencana itu pun masih menjadi perdebatan di masyarakat umum.
Dia menerangkan, dalam penanganan terorisme di Indonesia, ada dua hukum yang kedudukannya sama, yakni UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebagai hukum humaniter dan UU Nomor 5 Tahun 2018 sebagai hukum pidana.
Menurutnya, perdebatan muncul karena perpres terkait pelibatan TNI dalam penanganan terorisme mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2018 yang notabene mengedepankan penegakan hukum (law enforcement). (Baca: Fenomena La Nina, 6 Bulan ke Depan Warga Diminta Waspada).
Hal itu, tegas Soleman, bertolak belakang dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa TNI memiliki tugas pokok menangani terorisme melalui operasi militer selain perang (OMSP). "Di sini jelas bahwa prinsip untuk mengatasi terorisme, TNI melakukan military operation, bukan law enforcement. Kalau militery operation adalah kill or to be kill. Kalau law enforcement, pelaku terorisme dipidana maksimum hukuman mati. Artinya, harus dibawa ke proses pengadilan," tegasnya.
Dia memaparkan, dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI memiliki tugas pokok mengatasi terorisme melalui OMPS dan pelaksanaannya diatur oleh kebijakan dan keputusan politik negara, sedangkan UU Nomor 5 Tahun 2018 menyebutkan bahwa TNI menjalankan tugas pokonya mengatasi terorisme melalui OMPS, namun pelaksanaannya diatur perpres.
"Ini yang bermasalah karena perpres itu mengatur pidana. Artinya, ada proses hukum bagi pelaku terorisme, sedangkan operasi militer itu bukan pidana. Jadi, kalau mau melibatkan TNI dalam penanganan aksi terorisme, ya UU Nomor 5 Tahun 2018 harus direvisi karena tidak mungkin TNI membantu polisi menegakkan law enforcement, itu tidak mungkin," pungkasnya.
Dalam sambutannya, Dekan Fisip Unpad, Widya Setiabudi mengakui, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme sudah lama memancing pro dan kontra di masyarakat, mulai dari definisi terorisme itu sendiri hingga aspek hukumnya. "Nah, dalam perdebatan di berbagai forum, saya pribadi melihat, penanganan terorisme tidak bisa ditangani oleh satu pihak. Semua komponen bangsa harus terlibat. Apa TNI diperlukan? jelas diperlukan," tegasnya.
Meski begitu, Widya menekankan, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus dirumuskan secara proporsional dan konstitusional, agar TNI memiliki peran yang tepat dan kontekstual. "TNI terlibat oke, tapi konteksnya seperti apa?," katanya.
Pakar hukum Unpad , Idris mengamini bahwa TNI perlu dilibatkan dalam penanganan terorisme di Indonesia. Bahkan, Idris yang fokus mendalami hukum internasional itu pun menyebut bahwa hukum internasional tidak akan mempersoalkan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.
Meski begitu, mengacu pada resolusi internasional, Idris menegaskan bahwa pelaku terorisme harus dihukum melalui proses peradilan. Siapapun terorisnya dan dimana pun dia berada, kata Idris, semua negara berhak menangkapnya untuk kemudian diadili karena merugikan. "Seperti (teroris) Hambali yang ditangkap Amerika Serikat saat bersembunyi di Bogor. Jadi, yang namanya teroris harus dihukum. Bahkan, ada prinsip hukum atau ekstradisi," ujar Idris mencontohkan.
Namun, lanjut Indris, persoalan bakal muncul manakala tidak ada persidangan terhadap pelaku terorisme. Dia kembali menegaskan bahwa pelaku terorisme dapat ditangkap di manapun, tapi tetap harus diadili. "Jika tidak diadili, maka itu menjadi pelanggaran HAM (hak asasi manusia)," katanya.
Idris menyambut baik hadirnya rancangan peraturan presiden (perpres) tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Selain menjadi amanat Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, perpres mencerminkan tanggung jawab negara dalam pemberantasan terorisme, termasuk kewajiban negara sebagai peserta perjanjian internasional. (Baca: Masuk Zona Bahaya, Warga Cangkringan Mulai Mengungsi ke Barak).
"Dalam praktiknya, TNI dapat bekerja sama dengan semua komponen bangsa dan pihak internasional karena terorisme ini kejahatan paling serius. Semua negara wajib memberantas, menangkap, dan mengadili para pelakunya tanpa memperhatikan kebangsaan dan tempat terjadinya," katanya.
Namun, seakan menepis pernyataan Idris, pengamat militer yang juga mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais), Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto mempersoalkan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Terlebih, kata dia, rencana itu pun masih menjadi perdebatan di masyarakat umum.
Dia menerangkan, dalam penanganan terorisme di Indonesia, ada dua hukum yang kedudukannya sama, yakni UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebagai hukum humaniter dan UU Nomor 5 Tahun 2018 sebagai hukum pidana.
Menurutnya, perdebatan muncul karena perpres terkait pelibatan TNI dalam penanganan terorisme mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2018 yang notabene mengedepankan penegakan hukum (law enforcement). (Baca: Fenomena La Nina, 6 Bulan ke Depan Warga Diminta Waspada).
Hal itu, tegas Soleman, bertolak belakang dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa TNI memiliki tugas pokok menangani terorisme melalui operasi militer selain perang (OMSP). "Di sini jelas bahwa prinsip untuk mengatasi terorisme, TNI melakukan military operation, bukan law enforcement. Kalau militery operation adalah kill or to be kill. Kalau law enforcement, pelaku terorisme dipidana maksimum hukuman mati. Artinya, harus dibawa ke proses pengadilan," tegasnya.
Dia memaparkan, dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI memiliki tugas pokok mengatasi terorisme melalui OMPS dan pelaksanaannya diatur oleh kebijakan dan keputusan politik negara, sedangkan UU Nomor 5 Tahun 2018 menyebutkan bahwa TNI menjalankan tugas pokonya mengatasi terorisme melalui OMPS, namun pelaksanaannya diatur perpres.
"Ini yang bermasalah karena perpres itu mengatur pidana. Artinya, ada proses hukum bagi pelaku terorisme, sedangkan operasi militer itu bukan pidana. Jadi, kalau mau melibatkan TNI dalam penanganan aksi terorisme, ya UU Nomor 5 Tahun 2018 harus direvisi karena tidak mungkin TNI membantu polisi menegakkan law enforcement, itu tidak mungkin," pungkasnya.
(nag)