Perang Pasola, Uji Nyali Lelaki Pemberani

Sabtu, 17 Oktober 2020 - 05:10 WIB
loading...
Perang Pasola, Uji Nyali Lelaki Pemberani
Perang Pasola, tradisi unik suku di Sumba Barat, NTT. Foto istimewa
A A A
DERAPkaki kuda diiringi bunyi meringkik dan pekik suara. Debu beterbangan. Para lelaki pemberani menunggang kuda, tangan kiri memegang kendali kekang, tangan kanan mengangkat tombak. Kedua kaki menghentak perut kuda, isyarat perintah berlari kencang. Binatang bertenaga super itu pun melesat bagai sumpit, menuju sasaran sesuai arahan tali kekang.

Lelaki yang ada di atas punggung kuda itu pun melepaskan tombak ke lelaki di atas punggung kuda lain yang jauhnya sekira 10 meter. Usai melemparkan tombak, dengan gesit mereka menghindar serangan balasan. Saling serang dan lari. Lempar tombak dan menghindar. Begitu seterusnya, sampai ada yang ditaklukkan. Ini namanya perang Pasola. Perang Pasola ini adanya di Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. ( t, yang kini dipertontonkan kepada khalayak di luar suku yang mewariskan tradisi heroik ini. Para tamu, yang umumnya wisatawan, kini bisa menonton Pasola di tanah lapang. Penonton mengelilingi area pertarungan seluas lapangan bola kaki. Kuda-kuda dan penunggang mula-mula berada di ujung lapangan. Kemudian meransek maju, meluncur menyerang dan saling menombak.

Bagi orang luar, aksi perang ini terasa ngeri. Terasa ngeri, sebab meskipun tombak yang digunakan terbuat dari batangan bambu seukuran lengan anak-anak, kerap perang ini berakhir dengan darah yang bercucuran lantaran tidak sigap menghindar tombak.

Namun, bagi warga setempat pemilik tradisi, Pasola dihayati dengan hikmat dan gembira. Karena ini merupakan ritual adat yang selalu diadakan saban tahun sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen semusim, persisnya setiap bulan Februari atau Maret.

Riwat Perang Pasola

Perang antarsuku tidak saja disebabkan persoalan perebutan lahan atau perebutan perbatasan wilayah kekuasaan. Kerap konflik timbul karena persoalan asmara. Pasola, ceritanya dipicu asmara. Konon, ada seorang janda cantik di Kampung Waiwuang. Namanya Rabu Kaba, janda mendiang Umbu Dulla. Setelah ditinggal Umbu Dulla, si cantik disunting Umbu Amahu, salah satu tetua kampung Waiwuang.

Bayang-bayang petaka mulai membuntut keluarga ini, ketika sang suami Umbu Amahu pergi mengembara. Tak ada kabar berita dan tak kunjung kembali, membuat cinta Rabu Kaba berpindah ke lain hati.(Baci: Jaga Tradisi di Bulan Safar, Warga Gelar Festival Apem)

Syahdan, Rabu kepincut asmara dengan Teda Gaiparona, lelaki kampung tetangga. Karena jalinan cinta keduanya tak direstui keluarga, keduanya nekat kawin lari alias meninggalkan kampung. Suatu waktu, Umbu Amahu kembali dari pengembaraannya. Namun dia menemukan fakta, si pujaan hati sudah dibawa lari laki-laki lain.

Umbu Amahu ingin mengambilnya kembali, namun Rabu Kaba lebih terpikat pada Teda Gaiparona. Rabu Kaba kemudian meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang telah diterima keluarganya dari Umbu Dulla. Belis yang sudah diterima berupa kuda, sapi, kerbau, dan barang-barang berharga lainnya sanggup dikembalikan Teda Gaiparona.

Setelah seluruh belis dilunasi, upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona, diselenggarakan. Peristiwa ini membuat Umbu Dulla sedih. Demi melipur lara, ia pun memerintahkan warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud Pasola. (Baca: Kampung Adat Umbu Koba Sumba Barat Daya Terbakar, 1 Orang Meninggal)

Sebelum melaksanakan ritual Pasola, masyarakat Sumba Barat terlebih dahulu melakukan tradisi nyale, memancing cacing laut di tepi pantai. Tradisi ini dilakukan saat bulan purnama berlangsung. Jika mendapatkan banyak nyale, itu isyarat Pasola bisa diselenggarakan.

Memaknai Tetesan Darah

Aksi saling menombak dengan bambu tumpul kerap menimbulkan jatuh korban dan cucuran darah. Jika ada korban jiwa selama Pasola berlangsung, itu dimaknai sebagai hukuman dari Dewa terhadap peribadi bersangkutam. Hukuman itu merupakan tebusan atas dosa atau kesalahan yang dilakukannya dalam masyarakat.

Sementara itu, jika ada yang mencurkan darah, itu dimaknai sebagai berkat. Makin banyak darah yang tertumpah akibat saling tombak ini, masyarakat setempat meyakini akan banyak berkat atau panenan kelak. ( .
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1607 seconds (0.1#10.140)