Catatan KontraS Atas Aksi Tolak Omnibus Law di Surabaya dan Malang

Kamis, 15 Oktober 2020 - 08:17 WIB
loading...
Catatan KontraS Atas...
Polisi menembakkan gas air mata ke arah demonstran saat unjuk rasa menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law dikawasan di Kota Surabaya, Jawa Timur.Foto/dok
A A A
SURABAYA - Sebanyak 634 pengunjuk rasa anarkistis diamankan polisi dalam aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Surabaya dan Malang pada Kamis (8/10/2020) lalu. Rinciannya, 505 orang berasal dari Surabaya dan 129 orang lainnya dari Kota Malang.

Dari jumlah itu, 14 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka. Sisanya, sekitar 620 orang dilepas dan diserahkan terimakan pada keluarga masing-masing.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, setidaknya ada 7 bentuk dugaan tindak kekerasan yang dilakukan kepolisian selama menangani dan mengawal unjuk rasa tolak omnibus law di dua kota tersebut.

(Baca juga: Strategi Khofifah Cegah Pelajar Ikut Demo Omnibus Law )

Pertama, polisi menangkap secara sewenang-wenang kepada beberapa massa yang baru akan melakukan aksi, kepada massa aksi yang tidak terlibat dalam perusakan dan penyerangan serta sedang dirawat di posko medis.

“Pelanggaran kedua, aparat kepolisian melakukan tindak kekerasan kepada massa aksi yang menjadi relawan medis. Massa aksi tidak bersenjata dan massa aksi yang tidak melawan saat ditangkap,” kata Koordinator KontraS Surabaya, Rahmat Faisal, Kamis (15/10/2020).

(Baca juga: Sudah Almarhum, Henry J Gunawan Masih Terseret Kasus Tanah )

Ketiga, kata dia, pihaknya menemukan aparat kepolisian melakukan penyerangan dan melakukan pengerusakan terhadap sekretariat PMKRI, yang digunakan untuk posko kesehatan selama aksi.

Keempat, aparat kepolisian melalukan intimidasi dan ancaman ke masyarakat serta jurnalis yang berupaya melakukan pendokumentasian kerusuhan selama aksi. “Hal itu dilakukan dengan cara merampas alat pendokumentasi yang digunakan dan menghapus paksa hasil dokumentasi,” terangnya.

Pelanggaran kelima, imbuhnya, aparat kepolisian menghalangi akses informasi mengenai data pasti siapa saja dan berapa keseluruhan jumlah massa aksi yang ditangkap, termasuk status penahanannya. Sehingga tim advokasi mengalami kesusahan dalam bantuan hukum.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2377 seconds (0.1#10.140)