Moeldoko-Ganjar Dinilai Bikin Gaduh Tuding RS COVIDkan Pasien
loading...
A
A
A
SEMARANG - Tudingan terhadap rumah sakit yang meng- COVID-19 -kan pasien meninggal dunia masih menjadi bola liar. Pernyataan ini dinilai membikin gaduh dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit (RS) atau petugas medis.
“Moeldoko dan Ganjar jangan memperkeruh isu yang belum jelas sumbernya. Mestinya cari dulu duduk permasalahannya, jangan langsung buru-buru disampaikan ke publik,” kata Komisioner Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah, Zainal Abidin Petir, Minggu (11/10/2020). (Baca juga: Ganjar-Moeldoko Bertemu, Siap Tindak Tegas RS Nakal Mainkan Data Kematian )
Menurut dia, kabar seperti ini justru menimbulkan persepsi yang berdampak penurunan kepercayaan masyarakat, juga mendiskreditkan serta membuat gelisah tenaga kesehatan dan rumah sakit. (Baca juga: IPW Desak Bareskrim Usut Mafia Rumah Sakit terkait COVID-19 )
"Mereka (rumah sakit) merasa tidak meng-COVID-kan tapi isu yang belum benar itu berkembang semakin liar,” kata dia.
Sebelumnya, Moeldoko dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Semarang, membahas sejumlah langkah penanganan COVID-19, pada Kamis 1 Oktober. Muncul isu tentang rumah sakit meng-COVID-kan pasien meninggal dunia untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah. Mereka pun meminta pihak rumah sakit bersikap jujur mengenai data kematian pasien agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
Menurut Zainal, Moeldoko selaku Kepala Staf Presiden (KSP) mestinya memberikan edukasi kepada masyarakat supaya tidak gaduh. Masyarakat perlu diberi pemahaman dan RS dibikin nyaman supaya penanganan pandemi COVID-19 bisa tertangani secara efektif, efisien, dan berstandar.
“Rumah sakit dan dokter tidak akan gegabah meng-COVID-kan pasien. Tidak ada celah. Mereka sangat clear. Mereka itu menjalankan perintah Teriwan, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) 413 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, yang mengatur tata laksana pasien kasus Suspek, Probable, dan Konfirmasi. Juga KMK 446 Tahun 2020 tentang Juknis Klaim Penggantian Biaya Pelayanan Infeksi Emerging bagi RS yang menyelenggarakan pelayanan COVID-19,” kata dia.
Zainal menyebutkan misal kasus suspek, ada ISPA, batuk, pilek, sesak napas, selama 14 hari sebelumnya kontak dengan orang terkonfirmasi COVID-19 kemudian meninggal. Atau kasus probable ISPA berat meninggal dengan gambaran klinis menyakinkan COVID-19 dan belum ada pemeriksaan swab lab PCR, maka diberlakukan ketentuan sebagai meninggal COVID walaupun bukan Covid.
"Jadi sambil menunggu hasil lab, jenazah dipeti dan dimakamkan pihak RS, itu protokol COVID. Kan tidak mungkin menunggu hasil lab PCR yang kadang baru terbaca rata-rata 1 hingga 3 hari, padahal jenazah harus segera dimakamkan,” kata dia.
Dia meminta Moeldoko dan Ganjar mencari solusi supaya Laboratorium Biomolekuler PCR diperbanyak di daerah-daerah. Tujuannya, rumah sakit bisa cepat mengeluarkan hasil pemeriksaan PCR, terkonfirmasi positif COVID-19 atau negatif dalam waktu 4-6 jam.
“Coba Moeldoko dan Ganjar menambah kuota pemeriksaan, misalnya yang biasanya 2 shift menjadi 3 shift. Juga menambah SDM, baik itu dokter, analis maupun tenaga administrasi. Tentunya harus siapkan anggaran lebih besar juga,” kata Zainal.
“Moeldoko dan Ganjar jangan memperkeruh isu yang belum jelas sumbernya. Mestinya cari dulu duduk permasalahannya, jangan langsung buru-buru disampaikan ke publik,” kata Komisioner Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah, Zainal Abidin Petir, Minggu (11/10/2020). (Baca juga: Ganjar-Moeldoko Bertemu, Siap Tindak Tegas RS Nakal Mainkan Data Kematian )
Menurut dia, kabar seperti ini justru menimbulkan persepsi yang berdampak penurunan kepercayaan masyarakat, juga mendiskreditkan serta membuat gelisah tenaga kesehatan dan rumah sakit. (Baca juga: IPW Desak Bareskrim Usut Mafia Rumah Sakit terkait COVID-19 )
"Mereka (rumah sakit) merasa tidak meng-COVID-kan tapi isu yang belum benar itu berkembang semakin liar,” kata dia.
Sebelumnya, Moeldoko dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Semarang, membahas sejumlah langkah penanganan COVID-19, pada Kamis 1 Oktober. Muncul isu tentang rumah sakit meng-COVID-kan pasien meninggal dunia untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah. Mereka pun meminta pihak rumah sakit bersikap jujur mengenai data kematian pasien agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
Menurut Zainal, Moeldoko selaku Kepala Staf Presiden (KSP) mestinya memberikan edukasi kepada masyarakat supaya tidak gaduh. Masyarakat perlu diberi pemahaman dan RS dibikin nyaman supaya penanganan pandemi COVID-19 bisa tertangani secara efektif, efisien, dan berstandar.
“Rumah sakit dan dokter tidak akan gegabah meng-COVID-kan pasien. Tidak ada celah. Mereka sangat clear. Mereka itu menjalankan perintah Teriwan, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) 413 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, yang mengatur tata laksana pasien kasus Suspek, Probable, dan Konfirmasi. Juga KMK 446 Tahun 2020 tentang Juknis Klaim Penggantian Biaya Pelayanan Infeksi Emerging bagi RS yang menyelenggarakan pelayanan COVID-19,” kata dia.
Zainal menyebutkan misal kasus suspek, ada ISPA, batuk, pilek, sesak napas, selama 14 hari sebelumnya kontak dengan orang terkonfirmasi COVID-19 kemudian meninggal. Atau kasus probable ISPA berat meninggal dengan gambaran klinis menyakinkan COVID-19 dan belum ada pemeriksaan swab lab PCR, maka diberlakukan ketentuan sebagai meninggal COVID walaupun bukan Covid.
"Jadi sambil menunggu hasil lab, jenazah dipeti dan dimakamkan pihak RS, itu protokol COVID. Kan tidak mungkin menunggu hasil lab PCR yang kadang baru terbaca rata-rata 1 hingga 3 hari, padahal jenazah harus segera dimakamkan,” kata dia.
Dia meminta Moeldoko dan Ganjar mencari solusi supaya Laboratorium Biomolekuler PCR diperbanyak di daerah-daerah. Tujuannya, rumah sakit bisa cepat mengeluarkan hasil pemeriksaan PCR, terkonfirmasi positif COVID-19 atau negatif dalam waktu 4-6 jam.
“Coba Moeldoko dan Ganjar menambah kuota pemeriksaan, misalnya yang biasanya 2 shift menjadi 3 shift. Juga menambah SDM, baik itu dokter, analis maupun tenaga administrasi. Tentunya harus siapkan anggaran lebih besar juga,” kata Zainal.
(nth)