Jabar Siapkan Crisis Center Atasi Gangguan Kejiwaan Akibat Pandemi

Rabu, 07 Oktober 2020 - 21:10 WIB
loading...
Jabar Siapkan Crisis...
Psikiater RSJ, Provinsi Jabar, Dr Lina Budiyanti memaparkan potensi gangguan kejiwaan di tengah pandemi COVID-19. Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Pemprov Jabar menyiagakan crisis center di rumah sakit jiwa (RSJ) Provinsi Jabar untuk menangani masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan akibat pandemi COVID-19.

Crisis center RSJ Provinsi Jabar yang berlokasi di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat (KBB) dan Grha Atma Bandung itu sebagai respons cepat kegawatdaruratan jiwa, seperti potensi bunuh diri. (Baca juga: Ricuh Lagi, Massa Tolak UU Ciptaker Dipukul Mundur dari Gedung DPRD Jabar)

Selain itu, RSJ Provinsi Jabar juga meluncurkan program Konsultasi Jiwa Online (KJOL) sebagai jawaban atas meningkatnya permasalahan kejiwaan di masa pandemi COVID-19. (Baca juga: Cerita Saleh Husin Tentang Masjid Al Ikwan di Selatan Indonesia yang Moderen Minimalis)

"KJOL RSJ Jabar ini adalah respons terhadap meningkatnya permasalahan kejiwaan di masa pandemi. KJOL jadi solusi memudahkan petugas untuk screening mana yang cukup (diatasi) via telepon atau datang secara fisik, keren sekali saya apresiasi," tutur Gubernur Jabar, Ridwan Kamil (Kang Emil) dalam webinar Menjaga Kesehatan Jiwa di Masa Pandemi yang digelar RSJ Provinsi Jabar, Rabu (7/10/2020).

Berdasarkan survei Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Puslitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2020, sebanyak 6,8% masyarakat Indonesia mengalami kecemasan. Padahal 85,3% sebelumnya tidak memiliki riwayat gangguan psikis.

Berdasarkan hasil survei tersebut, kata Kang Emil, hampir 8% berasal dari Provinsi DKI Jakarta, Jabar, dan Banten. Kondisi tersebut menurutnya relevan dengan peningkatan jumlah pasien yang mengalami kecemasan ke RSJ Provinsi Jabar.

"Tekanan psikologis juga sangat berat. Tingginya angka kematian oleh COVID-19, informasi ketidakjelasan kapan pandemi akan berakhir, belum hadirnya vaksin, isu isolasi sosial, stigma, kehilangan pekerjaan, perubahan cara belajar mengajar, dan tingginya juga kekerasan rumah tangga sebagai dampak terjadinya perceraian adalah sesuatu yang tidak bisa kita sepelekan," paparnya.

Selain itu, beredarnya berita bohong (hoaks) semakin menimbulkan ketakutan serta meningkatkan kekhawatiran yang berlebihan. Oleh karenanya, kedewasaan dalam pemanfaatan media sosial harus terus dikampanyekan. "Hari ini masalahnya bukan mencari informasi, tapi memilah informasi. Maka situasi berita negatif tentu harus kita kontrol," tegasnya.

Dia juga menyebutkan, pandemi COVID-19 juga turut menyasar aktivitas pendidikan anak dan remaja. Berbagai kendala dirasakan para orang tua dan siswa ketika menjalani pembelajaran dalam jaringan (daring).

"Juga pada anak-anak ada sistem yang mengharuskan menjalani pendidikan di rumah atau jarak jauh. Ini juga membuat stres kepada anak dan orang tua, apalagi keterbatasan internet dan lainnya. Sungguh sangat memprihatinkan," tandasnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1939 seconds (0.1#10.140)