Bangunan Liar di Bantaran Kali Bekasi Dibongkar, Kades Kritik Dedi Mulyadi Otoriter: Bukan Zaman Penjajah Ini
loading...

Sejumlah bangunan liar di Bantaran Kali Sepak Gabus, Desa Srijaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, dibongkar menggunakan alat berat excavator, Jumat (14/3/2025). FOTO/ADE SUHARDI
A
A
A
BEKASI - Sejumlah bangunan liar di Bantaran Kali Sepak Gabus, Desa Srijaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, dibongkar menggunakan alat berat excavator, Jumat (14/3/2025). Pembongkaran atas perintah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi itu membuat warga kecewa, karena dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Seorang warga bernama Wana (55), pedagang sate di lokasi tersebut mengaku kecewa lantaran tempatnya mencari nafkah justru dibongkar tanpa pemberitahuan. Padahal mereka tengah mengumpulkan uang menjelang lebaran.
"Hari ini mau digusur saya nggak tahu ya. Cuma dibilangin nggak, tahu-tahu saya digerebek gini. Saya keluar-keluarin barang-barang katanya mau digusur," kata Wana di Kampung Gabus saat penggusuran.
Wana mengaku sudah 45 tahun berjualan sate bersama suami dan anaknya di lokasi penggusuran tersebut. Dia juga mengaku mendapatkan informasi bahkan akan ada penggusuran. Namun penggusuran baru akan dilakukan setelah lebaran, sekitar tanggal 10 April mendatang.
Padahal warga yang tinggal maupun berjualan diberi waktu untuk memersiapkan diri. Namun, penggusuran tiba-tiba dilakukan tanpa diberi surat pemberitahuan.
"Tahunya tanggal 10 April mau digusur abis lebaran. Nah yang hari ini, lurah gak tau , camat gak tau. Tahu-tahu hari ini dibongkar. Gak ada (surat pemberitahuan). Cuma sebelah pihak doank ini mah. Dari Pak RT. Tahu-tahu digusur, baru dikasih tahu sore kemarin," katanya.
Warga lainnya, Munadi (60) yang sudah tinggal sejak 1995 ini mengaku tidak pernah diberikan surat pemberitahuan apapun soal penggusuran ini. Ia pun langsung mendatangi kantor kecamatan untuk memertanyakan nasibnya.
"Nggak ada pemberitahuan, SP (surat peringatan) 1, SP2, SP3 nggak ada sama sekali, nggak sesuai prosedur. Ya kami rakyat nggak menolak digusur, yang penting dibikin enak seperti apa," katanya.
Kepala Desa Srijaya, Canih Hermansyah mengatakan, penggusuran bangunan liar semestinya dilakukan sesuai prosedur dengan menerbitkan surat pemberitahuan hingga sosialisasi. Sebab, penggusuran berkaitan dengan kebutuhan dasar warga, baik itu tempat tinggal maupun tempat usaha.
"Ya terkait kegiatan hari ini, saya tuh merasa kaget karena kemarin sore (Kamis) sekitar jam 16.00 WIB saya kumpul dengan Ketua BPD bahwa hari ini (Jumat) ada eksekusi. Padahal pemberitahuannya belum. Seharusnya ini dijalankan sesuai dengan SOP, teguran pertama, kedua, ketiga, sosialisasi dulu, jangan seperti ini. Lah ini negara, bukan negara jajahan, kita sudah merdeka. Artinya SOP dijalankan dulu sesuai dengan prosedurnya," katanya.
"Saya bukan tidak mendukung pembangunan daerah, bukan, saya mendukung. Tapi caranya yang salah. Bukan zaman penjajah ini," ujar Canih, melanjutkan.
Kepala desa itu bahkan menyebut Dedi Mulyadi otoriter. Canih mengkritik langkah Gubernur Dedi Mulyadi yang dinilai hanya membuat keramaian semata tanpa memerhatikan prosedur.
"Lah kalau bikin ramai buat apaan, bikin keruh saja. Cuma Pak Gubernur itu menjalankan pemerintahannya seperti otoriter, mentang-mentang dia gubernur tidak melihat keadaan, paling tidak dia berbuat dulu sesuai SOP, SOP jalankan, teguran pertama, kedua, dan ketiga, sosialisasi kepada masyarakat, itu dijalankan dulu. Saya dukung pembangunan daerah, saya dukung, saya sebagai kepala desa sangat mendukung pembangunan daerah, tapi bukan caranya seperti ini," katanya.
Sementara itu, Dedi Mulyadi tidak menjelaskan lebih lanjut soal keluhan warga yang tidak diberi pemberitahuan soal penggusuran tersebut. Meski begitu, dia mengaku sempat ada penolakan meski akhirnya warga menyetujui.
"Saya melakukan normalisasi sungai membongkar bangunan-bangunan liar, sempat ada penolakan sampai akhirnya warga mau," katanya.
Sedangkan terkait ganti rugi, Dedi mengatakan bakal dilakukan berdasarkan penghitungan bangunan. "Soal ganti ruginya kita lihat nanti, disesuaikan dengan bangunan. Bangunan berapa sih harganya. (Jumlah dibongkar) saya tidak tahu berapa jumlahnya yang jelas sepanjang sungai ini banglinya dibongkar," katanya.
Seorang warga bernama Wana (55), pedagang sate di lokasi tersebut mengaku kecewa lantaran tempatnya mencari nafkah justru dibongkar tanpa pemberitahuan. Padahal mereka tengah mengumpulkan uang menjelang lebaran.
"Hari ini mau digusur saya nggak tahu ya. Cuma dibilangin nggak, tahu-tahu saya digerebek gini. Saya keluar-keluarin barang-barang katanya mau digusur," kata Wana di Kampung Gabus saat penggusuran.
Wana mengaku sudah 45 tahun berjualan sate bersama suami dan anaknya di lokasi penggusuran tersebut. Dia juga mengaku mendapatkan informasi bahkan akan ada penggusuran. Namun penggusuran baru akan dilakukan setelah lebaran, sekitar tanggal 10 April mendatang.
Padahal warga yang tinggal maupun berjualan diberi waktu untuk memersiapkan diri. Namun, penggusuran tiba-tiba dilakukan tanpa diberi surat pemberitahuan.
"Tahunya tanggal 10 April mau digusur abis lebaran. Nah yang hari ini, lurah gak tau , camat gak tau. Tahu-tahu hari ini dibongkar. Gak ada (surat pemberitahuan). Cuma sebelah pihak doank ini mah. Dari Pak RT. Tahu-tahu digusur, baru dikasih tahu sore kemarin," katanya.
Warga lainnya, Munadi (60) yang sudah tinggal sejak 1995 ini mengaku tidak pernah diberikan surat pemberitahuan apapun soal penggusuran ini. Ia pun langsung mendatangi kantor kecamatan untuk memertanyakan nasibnya.
"Nggak ada pemberitahuan, SP (surat peringatan) 1, SP2, SP3 nggak ada sama sekali, nggak sesuai prosedur. Ya kami rakyat nggak menolak digusur, yang penting dibikin enak seperti apa," katanya.
Kepala Desa Srijaya, Canih Hermansyah mengatakan, penggusuran bangunan liar semestinya dilakukan sesuai prosedur dengan menerbitkan surat pemberitahuan hingga sosialisasi. Sebab, penggusuran berkaitan dengan kebutuhan dasar warga, baik itu tempat tinggal maupun tempat usaha.
"Ya terkait kegiatan hari ini, saya tuh merasa kaget karena kemarin sore (Kamis) sekitar jam 16.00 WIB saya kumpul dengan Ketua BPD bahwa hari ini (Jumat) ada eksekusi. Padahal pemberitahuannya belum. Seharusnya ini dijalankan sesuai dengan SOP, teguran pertama, kedua, ketiga, sosialisasi dulu, jangan seperti ini. Lah ini negara, bukan negara jajahan, kita sudah merdeka. Artinya SOP dijalankan dulu sesuai dengan prosedurnya," katanya.
"Saya bukan tidak mendukung pembangunan daerah, bukan, saya mendukung. Tapi caranya yang salah. Bukan zaman penjajah ini," ujar Canih, melanjutkan.
Kepala desa itu bahkan menyebut Dedi Mulyadi otoriter. Canih mengkritik langkah Gubernur Dedi Mulyadi yang dinilai hanya membuat keramaian semata tanpa memerhatikan prosedur.
"Lah kalau bikin ramai buat apaan, bikin keruh saja. Cuma Pak Gubernur itu menjalankan pemerintahannya seperti otoriter, mentang-mentang dia gubernur tidak melihat keadaan, paling tidak dia berbuat dulu sesuai SOP, SOP jalankan, teguran pertama, kedua, dan ketiga, sosialisasi kepada masyarakat, itu dijalankan dulu. Saya dukung pembangunan daerah, saya dukung, saya sebagai kepala desa sangat mendukung pembangunan daerah, tapi bukan caranya seperti ini," katanya.
Sementara itu, Dedi Mulyadi tidak menjelaskan lebih lanjut soal keluhan warga yang tidak diberi pemberitahuan soal penggusuran tersebut. Meski begitu, dia mengaku sempat ada penolakan meski akhirnya warga menyetujui.
"Saya melakukan normalisasi sungai membongkar bangunan-bangunan liar, sempat ada penolakan sampai akhirnya warga mau," katanya.
Sedangkan terkait ganti rugi, Dedi mengatakan bakal dilakukan berdasarkan penghitungan bangunan. "Soal ganti ruginya kita lihat nanti, disesuaikan dengan bangunan. Bangunan berapa sih harganya. (Jumlah dibongkar) saya tidak tahu berapa jumlahnya yang jelas sepanjang sungai ini banglinya dibongkar," katanya.
(abd)
Lihat Juga :