Persekusi di Garut Bentuk Ekspresi Keagamaan Berlebihan
loading...
A
A
A
Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia ini mengatakan akhlakul karimah, akhlak yang terpuji adalah esensi dari Islam. Akhlak menjadi yang hal utama dalam mengekspresikan agama. Ngatawi berpendapat bersyariat pun harus berlandaskan dengan ahklak, kalau tidak itu akan menjadi kontra produktif.
“Kalau tidak mau ya sudah, toh dosa dan neraka mereka tanggung sendiri. Tugas kita adalah mengingatkan dan menyampaikan,” tambahnya.
Ngatawi menambahkan, tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam Islam atau mengamalkan apa yang sudah digariskan dalam Islam. Seperti penggalan ayat dalam Surat Al Baqarah ayat 256, La ikraha fiddin, qad tabayyanarrusydu minal gay yang artinya tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Semua ibadah dilakukan secara ikhlas, sukarela, dan semampunya, mengingat kondisi seseorang tidaklah sama. Ada yang memiliki kekurangan, maupun ada yang mendapatkan keringanan (rukhsah) karena suatu kondisi, misalnya orang dalam perjalanan, ibu hamil atau orang yang sedang sakit.
“Kalau salat tidak bisa berdiri, bisa dengan duduk. Kalau tidak bisa duduk, bisa terlentang. Puasa juga begitu, bisa dilakukan (diganti) dilain hari jika memang tidak memungkinkan,” ujarnya.
Doktor sosiologi lulusan Universitas Indonesia ini mengatakan fenomena ini muncul di akhir tahun 90-an, di mana muncul pergerakan Islam simbolik, Islam yang mengedepankan simbol simbol teks formal dengan mengabaikan akhlak dan moral.
Hal inilah yang harus diantisipasi, karena sikap ini bisa memunculkan benih benih radikalisme yang berpotensi untuk melakukan aksi terorisme.
“Akar radikalisme, sikap seperti arogan, sombong, intoleran ini, merasa paling benar, paling soleh dan merasa memiliki otoritas untuk menegakkan kebenaran sesuai versi mereka, ini yang harus diwaspadai,” tegas Ngatawi.
“Kalau tidak mau ya sudah, toh dosa dan neraka mereka tanggung sendiri. Tugas kita adalah mengingatkan dan menyampaikan,” tambahnya.
Ngatawi menambahkan, tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam Islam atau mengamalkan apa yang sudah digariskan dalam Islam. Seperti penggalan ayat dalam Surat Al Baqarah ayat 256, La ikraha fiddin, qad tabayyanarrusydu minal gay yang artinya tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Semua ibadah dilakukan secara ikhlas, sukarela, dan semampunya, mengingat kondisi seseorang tidaklah sama. Ada yang memiliki kekurangan, maupun ada yang mendapatkan keringanan (rukhsah) karena suatu kondisi, misalnya orang dalam perjalanan, ibu hamil atau orang yang sedang sakit.
“Kalau salat tidak bisa berdiri, bisa dengan duduk. Kalau tidak bisa duduk, bisa terlentang. Puasa juga begitu, bisa dilakukan (diganti) dilain hari jika memang tidak memungkinkan,” ujarnya.
Doktor sosiologi lulusan Universitas Indonesia ini mengatakan fenomena ini muncul di akhir tahun 90-an, di mana muncul pergerakan Islam simbolik, Islam yang mengedepankan simbol simbol teks formal dengan mengabaikan akhlak dan moral.
Hal inilah yang harus diantisipasi, karena sikap ini bisa memunculkan benih benih radikalisme yang berpotensi untuk melakukan aksi terorisme.
“Akar radikalisme, sikap seperti arogan, sombong, intoleran ini, merasa paling benar, paling soleh dan merasa memiliki otoritas untuk menegakkan kebenaran sesuai versi mereka, ini yang harus diwaspadai,” tegas Ngatawi.
(shf)
Lihat Juga :