Pesan Terakhir Bandit Legendaris Kusni Kasdut sebelum Dieksekusi Mati Presiden Soeharto
loading...
A
A
A
IGNATIUS Waluyo alias Kusni Kasdut merupakan bandit legendaris yang menggegerkan Indonesia, akhirnya menjalani eksekusi mati pada 6 Februari 1980. Sejak tertangkap, berbagai cerita tentang kehidupannya mencuat, tidak hanya sebagai penjahat, tapi mantan pejuang kemerdekaan.
Di balik kehidupannya yang penuh kontroversi, Kusni meninggalkan pesan terakhir yang mengundang simpati sekaligus rasa penasaran.
Dalam pesan yang disampaikan kepada pengacaranya, ia mengungkapkan penyesalan atas tindakannya di masa lalu, tetapi juga menegaskan bahwa kehidupannya terbentuk dari masa-masa sulit pasca kemerdekaan.
Pesan Kusni Kasdut: “Saya Hanya Ingin Dihargai”. Sebelum dieksekusi, Kusni menyampaikan pesan tertulisnya yang menjadi wasiat terakhir. Ia menuliskan bahwa dirinya tidak pernah bermaksud merusak tatanan negara yang sudah ia perjuangkan.
“Saya dulu berjuang demi kemerdekaan, tapi setelah kemerdekaan saya merasa seperti dilupakan. Saya hanya ingin dihargai,” tulisnya.
Pesan ini menyiratkan kekecewaan pejuang yang merasa tidak mendapatkan tempat yang layak di masyarakat pasca-kemerdekaan.
Kusni mengungkapkan bahwa keterampilannya dalam bertempur dan menyamar, yang dahulu menjadi andalannya di medan perang, justru menjadi alat untuk bertahan hidup di jalanan setelah perang usai.
Nama Kusni Kasdut mulai dikenal luas sebagai buronan setelah aksi perampokan spektakuler di Museum Nasional Jakarta pada tahun 1963. Aksi tersebut bukanlah kejahatan pertamanya, namun menjadi awal dari rangkaian kejahatan yang membuatnya menjadi penjahat paling dicari.
Kusni dikenal sebagai sosok yang berani dan cerdik, hingga berhasil meloloskan diri berkali-kali dari penjara-penjara di Semarang, Surabaya, dan Jakarta.
Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa jauh sebelum itu, Kusni adalah seorang pejuang kemerdekaan yang ikut bertempur melawan Belanda dan Jepang di Malang dan Surabaya.
“Bung Kusni,” begitu ia disapa saat masih aktif di Badan Keamanan Rakyat (BKR), merupakan bagian dari barisan terdepan yang melawan agresi militer.
Dalam pesannya, ia kembali mengenang masa-masa tersebut, "Saya ikut merebut kemerdekaan ini, tapi entah mengapa, setelah semuanya berakhir, saya kehilangan arah."
Kusni Kasdut tidak pernah menyangkal semua kejahatan yang telah ia lakukan. Namun, melalui pengacaranya, ia mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Soeharto, berharap masih ada kesempatan untuk memperbaiki hidupnya di balik jeruji besi.
Sayangnya, permohonan itu ditolak. Presiden Soeharto menegaskan bahwa tindakannya tidak bisa ditoleransi, meskipun ia pernah menjadi pejuang kemerdekaan.
Pada pagi hari 6 Februari 1980, Kusni menjalani eksekusi mati. Eksekusi itu menjadi akhir dari kisah seorang bandit yang pernah menjadi bagian dari sejarah perjuangan bangsa. Di depan regu tembak, ia terlihat tenang, seolah sudah siap dengan takdir yang menantinya.
Dalam pesan terakhirnya, Kusni juga menyinggung asal-usulnya yang sering diperdebatkan. Selama ini ia mengaku lahir di Blitar, namun kenyataannya ia berasal dari Desa Bayan Patikrejo, Tulungagung.
Kisah tentang dirinya yang berasal dari Blitar sebenarnya adalah upaya untuk menyembunyikan kehidupan masa kecil yang penuh misteri dan rasa malu. “Saya tidak memilih untuk terlahir seperti ini. Saya hanya memilih untuk hidup,” kata Kusni dalam suratnya.
Kusni Kasdut adalah potret kompleks dari seorang pejuang yang tersesat dalam dunianya sendiri. Ia adalah simbol keberanian sekaligus kekecewaan, seorang yang pernah berjuang untuk negara, namun akhirnya terpinggirkan.
Kegigihannya dalam pertempuran berubah menjadi kegigihan dalam pelarian dari hukum, dan akhirnya berujung pada eksekusi yang menutup seluruh kisah hidupnya.
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
Di balik kehidupannya yang penuh kontroversi, Kusni meninggalkan pesan terakhir yang mengundang simpati sekaligus rasa penasaran.
Dalam pesan yang disampaikan kepada pengacaranya, ia mengungkapkan penyesalan atas tindakannya di masa lalu, tetapi juga menegaskan bahwa kehidupannya terbentuk dari masa-masa sulit pasca kemerdekaan.
Pesan Kusni Kasdut: “Saya Hanya Ingin Dihargai”. Sebelum dieksekusi, Kusni menyampaikan pesan tertulisnya yang menjadi wasiat terakhir. Ia menuliskan bahwa dirinya tidak pernah bermaksud merusak tatanan negara yang sudah ia perjuangkan.
“Saya dulu berjuang demi kemerdekaan, tapi setelah kemerdekaan saya merasa seperti dilupakan. Saya hanya ingin dihargai,” tulisnya.
Pesan ini menyiratkan kekecewaan pejuang yang merasa tidak mendapatkan tempat yang layak di masyarakat pasca-kemerdekaan.
Kusni mengungkapkan bahwa keterampilannya dalam bertempur dan menyamar, yang dahulu menjadi andalannya di medan perang, justru menjadi alat untuk bertahan hidup di jalanan setelah perang usai.
Nama Kusni Kasdut mulai dikenal luas sebagai buronan setelah aksi perampokan spektakuler di Museum Nasional Jakarta pada tahun 1963. Aksi tersebut bukanlah kejahatan pertamanya, namun menjadi awal dari rangkaian kejahatan yang membuatnya menjadi penjahat paling dicari.
Kusni dikenal sebagai sosok yang berani dan cerdik, hingga berhasil meloloskan diri berkali-kali dari penjara-penjara di Semarang, Surabaya, dan Jakarta.
Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa jauh sebelum itu, Kusni adalah seorang pejuang kemerdekaan yang ikut bertempur melawan Belanda dan Jepang di Malang dan Surabaya.
“Bung Kusni,” begitu ia disapa saat masih aktif di Badan Keamanan Rakyat (BKR), merupakan bagian dari barisan terdepan yang melawan agresi militer.
Dalam pesannya, ia kembali mengenang masa-masa tersebut, "Saya ikut merebut kemerdekaan ini, tapi entah mengapa, setelah semuanya berakhir, saya kehilangan arah."
Kusni Kasdut tidak pernah menyangkal semua kejahatan yang telah ia lakukan. Namun, melalui pengacaranya, ia mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Soeharto, berharap masih ada kesempatan untuk memperbaiki hidupnya di balik jeruji besi.
Sayangnya, permohonan itu ditolak. Presiden Soeharto menegaskan bahwa tindakannya tidak bisa ditoleransi, meskipun ia pernah menjadi pejuang kemerdekaan.
Pada pagi hari 6 Februari 1980, Kusni menjalani eksekusi mati. Eksekusi itu menjadi akhir dari kisah seorang bandit yang pernah menjadi bagian dari sejarah perjuangan bangsa. Di depan regu tembak, ia terlihat tenang, seolah sudah siap dengan takdir yang menantinya.
Dalam pesan terakhirnya, Kusni juga menyinggung asal-usulnya yang sering diperdebatkan. Selama ini ia mengaku lahir di Blitar, namun kenyataannya ia berasal dari Desa Bayan Patikrejo, Tulungagung.
Kisah tentang dirinya yang berasal dari Blitar sebenarnya adalah upaya untuk menyembunyikan kehidupan masa kecil yang penuh misteri dan rasa malu. “Saya tidak memilih untuk terlahir seperti ini. Saya hanya memilih untuk hidup,” kata Kusni dalam suratnya.
Kusni Kasdut adalah potret kompleks dari seorang pejuang yang tersesat dalam dunianya sendiri. Ia adalah simbol keberanian sekaligus kekecewaan, seorang yang pernah berjuang untuk negara, namun akhirnya terpinggirkan.
Kegigihannya dalam pertempuran berubah menjadi kegigihan dalam pelarian dari hukum, dan akhirnya berujung pada eksekusi yang menutup seluruh kisah hidupnya.
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
(ams)