Cerita Epik Perlawanan Balik Mataram ke Belanda usai Kematian Sultan Amangkurat IV

Rabu, 04 September 2024 - 08:00 WIB
loading...
Cerita Epik Perlawanan...
Sejumlah bekas wilayah Kerajaan Mataram yang dikuasai diminta menuruti pemerintah Belanda memberikan perlawanan. Foto/Istimewa
A A A
Sejumlah bekas wilayah Kerajaan Mataram yang dikuasai diminta menuruti pemerintah Belanda memberikan perlawanan. Perlawanan diberikan mulai dari pembangkangan pembayaran setoran pajak kekayaan alam, hingga menghimpun kekuatan puluhan ribu pasukan.

Sebelumnya pasca kesepakatan antara Kerajaan Mataram dengan pemerintah Belanda, harus menerima kenyataan bahwa wilayahnya dibagi oleh Belanda. Beberapa wilayah di Mancanagara, di luar kekuasaan kerajaan diwajibkan tunduk ke Belanda.

Beberapa wilayah seperti Karesidenan Madiun di antaranya Caruban pada tahun 1709 yang memasok benang, kayu sepang, hingga kulit kerbau. Di sisi lain, Madiun juga harus mengirimkan benang, lada, kayu sepang, kacang, dan kacang hijau.



Wilayah lain seperti Ponorogo dan Trenggalek dikutip dari "Antara Lawu dan Wilis: Arkeologi, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam Residen Madiun Raya 1934 - 38", harus menyetorkan benang, kacang, kayu sepang, dan kulit kerbau.

Nama Surobroto yang tadi disebutkan lagi-lagi disebut sebagai Bupati Ponorogo.Selain itu, Magetan kini tidak lagi berada di bawah kekuasaan Kiai Ronggo, tetapi seorang bernama Raden Mangunrono.

Daerah ini diwajibkan untuk mengirim kacang dan kulit kerbau. Pacitan, yang dipimpin oleh Pangeran Mangkunegoro, harus mengirim lada dalam jumlah besar dan kulit kerbau, sedangkan Jogorogo di bawah Tumenggung Sutowongso harus memasok kulit kerbau dan kayu sepang.

Arsip Belanda catatan De Jonge juga mencatat bahwa Madiun harus mengirimkan 54 koyan, Jogorogo 12 koyan, Magetan 7 koyan, Ponorogo 137 koyan, dan Caruban 5 koyan. Terlepas dari rincian tentang serah wajib tersebut.



Bahkan beberapa wilayah di Madiun juga memiliki sejumlah pasukan.

Saat itu Madiun memiliki 12.000 orang, Jogorogo 1.200 orang, Pacitan dan Kaduwang 2.000 orang, Ponorogo 12.000 orang, dan Caruban, termasuk Blora 3.000 orang pasukan. Pasukan ini dibawah Komando Tumenggung Surowijoyo, yang membela dan berkoalisi dengan Belanda.

Tapi pasca kematian Pakubuwono I atau Sultan Amangkurat IV, ada pergolakan kekuasaan di Internal kerajaan hingga muncul enam kandidat yang berebut tahta.

Dari enam itu, dua di antaranya Pangeran Purboyo dan Pangeran Blitar, saudara laki-laki Sultan Amangkurat IV dari ibu yang sama. Mereka memiliki basis pendukung yang kuat di Madiun dan Ponorogo.

Di Ponorogo, sang bupati Tumenggung Surobroto yang memiliki 12.000 pasukan itu memang sempat membuat kesepakatan dengan Belanda. Kesepakatan itu terjalin usai konferensi besar di Kartasura semasa Sultan Amangkurat IV masih hidup.

Tapi pada awal 1720 telah bergabung sekali lagi dengan Pangeran Diponegoro untuk melakukan perlawanan ke Belanda.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1535 seconds (0.1#10.140)