Kisah Letnan Achijat, Legenda Pertempuran Heroik Surabaya yang Menewaskan Jenderal Mallaby
loading...
A
A
A
SOSOK yang selama ini menjadi misteri terkait tewasnya Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur pada pertempuran heroik di Surabaya pada 10 November 1945 mulai terungkap.
Kisah melegenda dalam pertempuran heroik antara arek-arek Surabaya pejuang kemerdekaan dengan tentara sekutu yang dipimpin Jenderal Mallaby itu terus dikenang. Meski demikian, selama ini menyisakan pertanyaan mengenai penembak jitu yang menewaskan Jenderal Mallaby.
Hingga akhirnya misteri itu diungkap oleh Alki Kiraamim Bararah yang merupakan cucu Letnan Achijat. Dia menceritakan bahwa Letnan Achijat merupakan salah satu sosok yang diduga sebagai penembak jitu yang membunuh perwira tinggi tentara sekutu, Jenderal Mallaby.
Kala itu, Letnan Achdiat juga dikenal sebagai pasukan Simokerto Alap-alap, legenda kepahlawanan yang populer di kalangan masyarakat Kota Pahlawan.
Alki Kiraamim Bararah menyertakan bukti peninggalan dari Letnan Achijat berupa foto-foto, lencana, seragam perang, topi, hingga sangkur.
Selain itu, ditunjukkan buku catatan penting berukuran kecil dan bersampul dari kulit kambing berisikan agenda keseharian Letnan Achiyat, serta perilisan buku tentang Sejarah Letnan Achijat.
Kisah yang disampaikan ini juga diperkuat oleh anak dari Letnan Achijat, yakni Nurmansyah Achiyat dan Ahmad Akbar Achiyat serta putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo.
Sejarah peristiwa terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby tertutup rapat karena ada sejumlah alasan yang tidak bisa diungkap pada saat itu.
Alki Kiraamim Bararah menuturkan bahwa kakeknya mengetahui bahwa terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby merupakan kejahatan perang.
"Saat itu ada genjatan senjata, sehingga lawan tidak boleh di serang. Itu merupakan hukum internasional yang mengatur peperangan. Sehingga oleh pejabat-pejabat pada saat itu sepakat menutup kasus ini,” ungkapnya dalam sebuah Storytelling berjudul Selayang Pandang, di TownHall Midtown Hotel Surabaya, dikutip dari iNews Surabaya.
Sedangkan penyebab kedua adalah rasa bersalah dari Letnan Achijat. Hal itu karena terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby merupakan pemicu utama perang 10 November 1945 dan menyebabkan ribuan korban berjatuhan.
“Sementara alasan ketiga adanya rasa malu dari Letnan Achijat karena niat awal hanya ingin mengambil mobil-mobil Jepang bersama rekannya almarhum Usman Aji. Saat itu Letnan Achijat dan Usman Aji suka menyerbu iring-iring Jepang, lalu diambil mobil-mobil yang terkenal itu pengeroyokan di Blauran sebelum adanya perang 10 November,” ungkapnya.
Letnan Achijat merupakan salah satu tokoh pejuang yang lahir di Simokerto, Surabaya. Sosok Letnan Achijat turut berjasa besar dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Surabaya.
Diketahui pertempuran 10 November 1945 yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur menjadi dasar penetapan Hari Pahlawan. Perang perdana setelah Proklamasi Kemerdekaan RI itu yang berlangsung pada 27 Oktober hingga 20 November 1945 yang menyebabkan sekitar 20.000 rakyat Indonesia gugur.
Dalam pertempuran ini, Bung Tomo hadir sebagai tokoh penting yang mengobarkan semangat kepada pejuang kemerdekaan yang sedang melawan penjajah.
Dalam pidatonya, dia menggunakan bahasa yang emosional dan kuat untuk mendorong warga sipil dan tentara untuk mengambil sebuah tindakan bagi bangsanya.
"Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!" seru Bung Tomo membakar semangat rakyat Surabaya.
Kisah melegenda dalam pertempuran heroik antara arek-arek Surabaya pejuang kemerdekaan dengan tentara sekutu yang dipimpin Jenderal Mallaby itu terus dikenang. Meski demikian, selama ini menyisakan pertanyaan mengenai penembak jitu yang menewaskan Jenderal Mallaby.
Hingga akhirnya misteri itu diungkap oleh Alki Kiraamim Bararah yang merupakan cucu Letnan Achijat. Dia menceritakan bahwa Letnan Achijat merupakan salah satu sosok yang diduga sebagai penembak jitu yang membunuh perwira tinggi tentara sekutu, Jenderal Mallaby.
Kala itu, Letnan Achdiat juga dikenal sebagai pasukan Simokerto Alap-alap, legenda kepahlawanan yang populer di kalangan masyarakat Kota Pahlawan.
Alki Kiraamim Bararah menyertakan bukti peninggalan dari Letnan Achijat berupa foto-foto, lencana, seragam perang, topi, hingga sangkur.
Selain itu, ditunjukkan buku catatan penting berukuran kecil dan bersampul dari kulit kambing berisikan agenda keseharian Letnan Achiyat, serta perilisan buku tentang Sejarah Letnan Achijat.
Kisah yang disampaikan ini juga diperkuat oleh anak dari Letnan Achijat, yakni Nurmansyah Achiyat dan Ahmad Akbar Achiyat serta putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo.
Sejarah peristiwa terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby tertutup rapat karena ada sejumlah alasan yang tidak bisa diungkap pada saat itu.
Alki Kiraamim Bararah menuturkan bahwa kakeknya mengetahui bahwa terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby merupakan kejahatan perang.
"Saat itu ada genjatan senjata, sehingga lawan tidak boleh di serang. Itu merupakan hukum internasional yang mengatur peperangan. Sehingga oleh pejabat-pejabat pada saat itu sepakat menutup kasus ini,” ungkapnya dalam sebuah Storytelling berjudul Selayang Pandang, di TownHall Midtown Hotel Surabaya, dikutip dari iNews Surabaya.
Sedangkan penyebab kedua adalah rasa bersalah dari Letnan Achijat. Hal itu karena terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby merupakan pemicu utama perang 10 November 1945 dan menyebabkan ribuan korban berjatuhan.
“Sementara alasan ketiga adanya rasa malu dari Letnan Achijat karena niat awal hanya ingin mengambil mobil-mobil Jepang bersama rekannya almarhum Usman Aji. Saat itu Letnan Achijat dan Usman Aji suka menyerbu iring-iring Jepang, lalu diambil mobil-mobil yang terkenal itu pengeroyokan di Blauran sebelum adanya perang 10 November,” ungkapnya.
Letnan Achijat merupakan salah satu tokoh pejuang yang lahir di Simokerto, Surabaya. Sosok Letnan Achijat turut berjasa besar dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Surabaya.
Diketahui pertempuran 10 November 1945 yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur menjadi dasar penetapan Hari Pahlawan. Perang perdana setelah Proklamasi Kemerdekaan RI itu yang berlangsung pada 27 Oktober hingga 20 November 1945 yang menyebabkan sekitar 20.000 rakyat Indonesia gugur.
Dalam pertempuran ini, Bung Tomo hadir sebagai tokoh penting yang mengobarkan semangat kepada pejuang kemerdekaan yang sedang melawan penjajah.
Dalam pidatonya, dia menggunakan bahasa yang emosional dan kuat untuk mendorong warga sipil dan tentara untuk mengambil sebuah tindakan bagi bangsanya.
"Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!" seru Bung Tomo membakar semangat rakyat Surabaya.
(shf)