Pekik Bung Tomo, Agitasi Sungkono dan Jembatan Merah Penuh Darah
loading...
A
A
A
SURABAYA - Perjuangan tak hanya hadir dalam lintas sejarah yang terlupa. Anak-anak muda dengan segala siasat dan keterbatasan di tahun 1945 mampu mengecoh sekutu, menempatkannya pada pertempuran yang tak akan pernah terlupa. Dengan darah dan airmata mereka meninggalkan Surabaya.
Suara senapan masih mengema. Darah arek-arek Surabaya sudah mendidih di sepanjang petang sampai dini hari, pada 9 November 1945. Mereka berkumpul, membunuh dinginnya malam sambil menunggu seruan untuk bergerak. Dari perkampungan kecil, berbagai pasang mata tetap terjaga. Meunggu tank lewat dan menyergapnya dengan kilat.
Kolonel Sungkono, seorang pria yang waktu itu masih berusia 31 tahun masuk ke kampung-kampung untuk mengumpulkan pejuang. Mereka diajak berkumpu di ujung pintu Markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jalan Pregolan 4, Surabaya. (Baca juga: Ratusan Warga Lereng Bromo Terpaksa Konsumsi Air Hujan )
Tidak ada satu pun senyum yang keluar dari Sungkono. Matanya melipat elang, menatap serangkaian pasang mata dari arek-arek Suroboyo yang sudah menunggunya dengan gelisah dan keringat yang masih bercampur dengan darah di peluh.
"Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya. Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan, tapi saya akan mempertahankan kota sendiri,” kata Sungkono pada arek-arek Suroboyo dengan kedalaman suaranya seperti dikutip dari Surabaya 1945: Sakral Tanahku.
Arek-arek Surabaya bersandar di puning-puing bangunan yang sudah hancur terkena mortir. Para pejuang muda Surabaya seperti membeku mendengar pidato Sungkono. Kata-kata itu menusuk pikiran mereka, menyulut bara perjuangan yang sudah terbakar. Membuat bulu bergidik. Darah mereka semakin mendidik, menciptakan api dalam sekam yang membara tanpa ada arah.(Baca juga: Khofifah Resmikan Command Center dan International Training Class di BPSDM Jatim )
Mereka tak mau pergi, masih duduk dengan kepala panas yang siap menumpahkan lahar Semeru pada kolonial. Arek-arek Suroboyo memilih untuk berperang bersama Sungkono, Komandan BKR Kota Surabaya ketika peristiwa 10 November 1945.
Informasi berperang langsung menyebar. Arek-arek Suroboyo terus berkumpul, Sungkono yang begitu piawai di lapangan merangkul semua pejuang. Melontarkan beberapa kata penyemangat, bekal pertarungan di medan tempur. Meletakan siasat dalam mempertahankan kota untuk terus berjuang melawan Inggis dan Belanda.
Pikiran Sungkono sejak sore terpecah. Ia berhadapan dengan musuh yang kuat, dan dirinya harus memastikan keamanan seisi kota. Memastikan keselamatan keluarga pejuang. Ultimatum sempat disampaikan Mayor Jenderal Mansergh yang berkoar membawa puluhan ribu pasukan Inggris yang siap meratakan Surabaya.
Suara senapan masih mengema. Darah arek-arek Surabaya sudah mendidih di sepanjang petang sampai dini hari, pada 9 November 1945. Mereka berkumpul, membunuh dinginnya malam sambil menunggu seruan untuk bergerak. Dari perkampungan kecil, berbagai pasang mata tetap terjaga. Meunggu tank lewat dan menyergapnya dengan kilat.
Kolonel Sungkono, seorang pria yang waktu itu masih berusia 31 tahun masuk ke kampung-kampung untuk mengumpulkan pejuang. Mereka diajak berkumpu di ujung pintu Markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jalan Pregolan 4, Surabaya. (Baca juga: Ratusan Warga Lereng Bromo Terpaksa Konsumsi Air Hujan )
Tidak ada satu pun senyum yang keluar dari Sungkono. Matanya melipat elang, menatap serangkaian pasang mata dari arek-arek Suroboyo yang sudah menunggunya dengan gelisah dan keringat yang masih bercampur dengan darah di peluh.
"Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya. Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan, tapi saya akan mempertahankan kota sendiri,” kata Sungkono pada arek-arek Suroboyo dengan kedalaman suaranya seperti dikutip dari Surabaya 1945: Sakral Tanahku.
Arek-arek Surabaya bersandar di puning-puing bangunan yang sudah hancur terkena mortir. Para pejuang muda Surabaya seperti membeku mendengar pidato Sungkono. Kata-kata itu menusuk pikiran mereka, menyulut bara perjuangan yang sudah terbakar. Membuat bulu bergidik. Darah mereka semakin mendidik, menciptakan api dalam sekam yang membara tanpa ada arah.(Baca juga: Khofifah Resmikan Command Center dan International Training Class di BPSDM Jatim )
Mereka tak mau pergi, masih duduk dengan kepala panas yang siap menumpahkan lahar Semeru pada kolonial. Arek-arek Suroboyo memilih untuk berperang bersama Sungkono, Komandan BKR Kota Surabaya ketika peristiwa 10 November 1945.
Informasi berperang langsung menyebar. Arek-arek Suroboyo terus berkumpul, Sungkono yang begitu piawai di lapangan merangkul semua pejuang. Melontarkan beberapa kata penyemangat, bekal pertarungan di medan tempur. Meletakan siasat dalam mempertahankan kota untuk terus berjuang melawan Inggis dan Belanda.
Pikiran Sungkono sejak sore terpecah. Ia berhadapan dengan musuh yang kuat, dan dirinya harus memastikan keamanan seisi kota. Memastikan keselamatan keluarga pejuang. Ultimatum sempat disampaikan Mayor Jenderal Mansergh yang berkoar membawa puluhan ribu pasukan Inggris yang siap meratakan Surabaya.