Misteri Kitab Pararaton Kisahkan Perjalanan Raja Singasari dan Majapahit

Selasa, 06 Agustus 2024 - 09:20 WIB
loading...
Misteri Kitab Pararaton...
Kitab Pararaton salah satu temuan sejarah yang mengisahkan dua kerajaan besar di Nusantara. Foto/Istimewa
A A A
Kitab Pararaton menjadi salah satu dari beberapa temuan sejarah yang mengisahkan dua kerajaan besar di Nusantara. Kitab ini ditulis untuk menggambarkan sejarah dari Singasari dan Majapahit, sebagai kerajaan besar di masanya.

Bahasanya ditulis menggunakan prosa berbahasa Jawa pertengahan, yaitu peralihan dari bahasa Jawa kuno ke bahasa Jawa baru. Judul Pararaton sendiri berasal dari kata dasar ratu, yang dalam bahasa Jawa bermakna raja atau pemimpin rakyat.

Tentu saja ini berbeda dengan pengertian ratu dalam bahasa Indonesia, yang bermakna raja perempuan" atau "permaisuri". Kata ratu dalam bahasa Jawa masih satu akar dengan kata datu dalam bahasa Malayu Kuno, yang berubah menjadi datuk dalam bahasa Malayu Baru.



Dari pengertian di atas, Pararaton dapat dimaknai sebagai kisah para raja, khususnya raja-raja Dinasti Rajasa atau Rajasawangsa, yang berkuasa di Kerajaan Tumapel, Singhasari dan Majapahit atau Wilwatikta.

Hal itu sebagaimana dikutip dari buku “Pararaton: Biografi Para Raja Singhasari dan Majapahit”. Penyebutan judul Pararaton terdapat pada bagian kolofon naskah, sedangkan judul yang tertulis pada bagian awal ialah Katuturanira Ken Arok.

Tokoh bernama Ken Arok merupakan cikal-bakal Dinasti Rajasa, yang mendapat porsi paling banyak dalam naskah ini dibanding para raja lainnya. Kisah kehidupan Ken Arok yang tertulis pada bagian awal Pararaton, banyak dibumbui mitos dan peristiwa ajaib yang terkesan tak nyata.

Misalnya, ia diceritakan mampu terbang menggunakan sepasang daun siwalan sebagai sayap, serta dari ubun-ubun kepalanya pernah keluar kawanan kelelawar yang menyerbu tanaman jambu milik gurunya.



Namun, Pararaton juga mengisahkan peristiwa sejarah, yaitu Ken Arok menaklukkan Negeri Daha pada Šaka 1144 (1222 Masehi). Angka tahun ini ternyata cocok dengan yang tertulis dalam naskah Nagaraktagama.

Berbeda dengan Nāgarakṛtāgama yang menyebut penulisnya dengan nama samaran Prapañca, sampai saat ini belum ada informasi siapakah pujangga yang pertama kali menyusun Pararaton.

Sebenarnya ini tidaklah aneh pada umumnya naskah sastra berbahasa Jawa Pertengahan bersifat anonim, sebagai contoh, Kidung Harşawijaya, Kidung Rangga Lawe, Kidung Sorandaka, Kidung Sunda, dan Kidung Suņdāyana, semuanya anonim, tidak mencantumkan nama penulisnya.

Mengenai tahun pembuatannya, Pararaton yang diterbitkan J.L.A. Brandes (1897) menyebutkan, bahwa naskah ditulis pada Śaka 1535 (1613 Masehi), sedangkan yang diterbitkan Agung Kriswanto (2009) menyebut- kan bahwa naskah ditulis pada Šaka 1522 (1600 Masehi).

Oleh karena ada dua versi angka tahun, dapat disimpulkan bahwa dua-duanya adalah tahun penyalinan, bukan tahun penyusunan.

Tapi kedua versi Pararaton yang bertahun Saka 1535, maupun yang bertahun Saka 1522 sama-sama ditutup dengan peristiwa gunung meletus pada wuku Watugunung tahun Śaka 1403 (1481 Masehi).

Peristiwa ini berselang tiga tahun setelah kematian seorang raja di istana Majapahit pada Saka 1400 (1478 Masehi).

Raja yang meninggal itu bukanlah raja terakhir Dinasti Rajasa karena masih ada Sri Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang namanya tertulis dalam Prasasti Pețak bertahun Saka 1408 (1486 Mase- hi). Anehnya, nama raja ini tidak disebutkan dalam Pararaton.

Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa Pararaton disusun sesudah tahun 1481 dan sebelum tahun 1486.

Kemungkinan kedua, penulis Pararaton sengaja tidak mengisahkan Sri Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, karena saat itu pusat pemerintahan Dinasti Rajasa sudah pindah ke Keling, tidak lagi di Majapahit.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2476 seconds (0.1#10.140)