Kisah Hidup Jenderal Widodo, Matahari Kembar di TNI AD yang Disingkirkan Soeharto

Selasa, 06 Agustus 2024 - 08:13 WIB
loading...
Kisah Hidup Jenderal...
KSAD ke-12 Jenderal TNI (Purn) Raden Widodo. Foto/Disjarahad
A A A
Dalam dunia militer Indonesia, Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang tidak pernah mentolerir adanya figur yang berpotensi menyaingi ketokohannya. Bagi penguasa Orde Baru ini, istilah "matahari kembar" adalah hal yang tabu.

Siapapun yang dianggap bisa mengancam posisinya, akan segera disingkirkan. Salah satu sosok yang mengalami nasib ini adalah Jenderal TNI (Purn) Raden Widodo.

Meskipun karier militernya awalnya berjalan lambat, ia berhasil mencapai posisi puncak sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).



Namun, jabatannya sebagai KSAD hanya bertahan singkat, sekitar dua tahun saja, dari 1 Januari 1978 hingga 30 April 1980. Widodo, seorang jenderal ningrat asal Yogyakarta, dikenal sebagai KSAD ke-12 di TNI AD.

Berbeda dengan para pendahulunya yang memegang tongkat komando tertinggi matra Darat selama empat atau lima tahun, Widodo hanya menjabat selama dua tahun.

Penyebab utama tersingkirnya Widodo dari lingkaran dekat Istana adalah karena pendiriannya terhadap Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD yang berisi para purnawirawan Angkatan Darat.

Keberadaan Fosko yang mayoritas anggotanya adalah jenderal-jenderal yang berseberangan dengan Soeharto, membuat sang presiden tidak nyaman.



”Presiden Soeharto tidak lagi nyaman dengan langkah-langkah yang diambil Jenderal Widodo. Maka, begitu ada alasan, Jenderal Jusuf (Panglima ABRI) segera mengajukan usulan pergantian KSAD yang langsung disetujui Soeharto,” kata Atmaji Sumarkidjo dalam “Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit” (hal 291).

Sebagai pengganti Widodo, ditunjuk Wakil KSAD Letnan Jenderal TNI Poniman, yang kepribadiannya jauh bertolak belakang dengan Widodo. Poniman, serdadu asal Sukoharjo, Jawa Tengah, dikenal lebih low profile dan tidak outspoken.

Setelah pensiun dari KSAD, Poniman ditarik Soeharto masuk kabinet menjadi menteri pertahanan keamanan. Jenderal TNI (Purn) Raden Widodo, tentara lulusan pendidikan Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, pernah menjabat sebagai Pangdam VII/Diponegoro (1970-1973).

Panglima Kowilhan I/Sumatera (1973-1974), dan Panglima Kowilhan II/Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (1974-1977). Puncak kariernya sebagai KSAD berlangsung dari 1 Januari 1978 hingga 30 April 1980.



Widodo lahir dari keturunan ningrat, namun pernah mengalami masa karier yang sangat lambat. Dari 1945 hingga 1956, ia harus menyandang pangkat kapten.

Pada 1957, anak kedua dari pasangan RM Taruno Hartono dan RAJ Rukmiati ini mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).

Setelahnya, ia menjadi instruktur di lembaga pendidikan bagi para perwira matra Darat tersebut, mengajar di antaranya adalah bekas komandannya, Soeharto. Karier Widodo terus merambat naik.

Ia berturut-turut dipercaya sebagai Pangdam III/17 Agustus, Pangdam Diponegoro, Pangkowilhan I, dan Pangkowilhan II, sebelum akhirnya dipercaya Soeharto menjadi KSAD menggantikan Jenderal TNI Makmun Murod.

Widodo dikenal sebagai jenderal yang lincah, berani, dan intelektual.



Salah satu langkah paling mencoloknya adalah pembentukan Forum Komunikasi (Fosko) TNI AD, yang menjadi ruang bagi purnawirawan memberikan masukan dan menyampaikan unek-unek mereka kepada pimpinan AD.

Namun, keberadaan Fosko membuat penguasa Orde Baru tidak nyaman, sehingga Widodo pun diganti.

Trah Darah Biru Kraton Yogya

Widodo lahir pada 25 April 1926 dari pasangan Raden Taruno Hartono dan Raden Ayu Rukmiati,
keluarga ningrat dari Yogyakarta. Ayahnya, Raden Taruno Hartono, dikenal taat beribadah, dan mengajarkan kealiman kepada anak-anaknya.

Widodo kecil pun mengaji dan belajar ilmu agama setiap selepas magrib. Karier militer Widodo dimulai ketika ia mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, dilantik sebagai perwira pada 5 April 1944.

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan diangkat menjadi komandan kompi. Perannya sangat penting dalam berbagai tugas, termasuk Serangan Umum 11 Maret di Yogyakarta di bawah pimpinan Mayor Soeharto.

Jenderal Widodo, mantan Danrem 072/Pamungkas Kodam VII/Diponegoro, meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, pada 19 Februari 1993. Ia dimakamkan dengan upacara militer di Pakuncen, Yogyakarta.

Widodo, yang dikenal dengan berbagai pemikiran dan terobosan, juga mempopulerkan istilah “post power syndrome,” sebuah gejala yang terjadi ketika seseorang yang hidup dalam bayang-bayang kebesarannya di masa lalu belum mampu menerima perubahan dalam dirinya.

Istilah ini masih populer hingga kini. Meskipun pernah dekat dengan Soeharto, jabatan Widodo sebagai KSAD hanya berlangsung singkat. Keberadaan Fosko membuat penguasa Orde Baru tidak nyaman, sehingga Widodo pun diganti.

Namun, dedikasinya sebagai prajurit dan berbagai kontribusinya tetap dikenang dalam sejarah militer Indonesia.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1221 seconds (0.1#10.140)