Kisah LB Moerdani Nekat Memata-matai Panglima ABRI demi Kesetiaan kepada Soeharto
loading...
A
A
A
Pada tahun 1978, Indonesia memasuki babak baru dalam kepemimpinan nasional ketika Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden Republik Indonesia. Bersamaan dengan itu, Jenderal M. Yusuf diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), menggantikan Jenderal Maraden Panggabean. Di tengah situasi ini, Letnan Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani , yang menjabat sebagai Ketua G-I Hankam/Asintel ABRI, dikabarkan menjalankan misi rahasia yang penuh intrik dan keberanian.
Isu beredar bahwa LB Moerdani, yang lebih dikenal dengan sebutan Benny Moerdani, secara diam-diam memata-matai Jenderal M. Yusuf dan melaporkan setiap gerak-geriknya kepada Soeharto. Benny menginformasikan kepopuleran Jenderal Yusuf yang kian meningkat, membuat Soeharto merasa terancam. Menurut laporan Benny, Yusuf diduga menggalang kekuatan internal dengan tujuan menjadi Presiden RI.
Selama masa jabatannya, Jenderal M. Yusuf memang kerap disorot. Ia dikenal sering memberikan kenaikan pangkat langsung di lapangan bagi perwira yang berprestasi di daerah-daerah seperti Timor Timur dan Irian Jaya (Papua). Selain itu, ia juga memberikan akses langsung kepada para komandan setingkat Letkol untuk masuk ke Sekolah Staf dan Komando (Sesko). Langkah-langkah ini, meskipun populer di kalangan perwira, memicu berbagai isu dan spekulasi.
Namun, ada spekulasi di kalangan internal ABRI bahwa Benny, dalam kapasitasnya sebagai Asintel Hankam dan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), mungkin sengaja menggalang kekuatan ekstremis Islam untuk melakukan pembajakan tersebut. Tudingan ini muncul karena absennya Benny di Ambon selama Commanders Call.
Keberhasilan Benny dalam operasi Woyla mengukuhkan posisinya di mata Soeharto. Ia dianggap berjasa besar karena berhasil menjaga nama baik Indonesia di panggung internasional. Atas prestasinya ini, Benny Moerdani diangkat menjadi Panglima ABRI pada tahun 1983, mengalahkan para seniornya seperti Letjen Himawan Sutanto yang membawahi Benny.
Pengangkatan Benny sebagai Panglima ABRI menciptakan ketegangan dan kecemburuan di kalangan para senior lulusan Akademi Militer. Meski begitu, Benny terus melangkah maju, berpegang pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Hankam Negara yang tidak mengizinkannya merangkap sebagai Menhankam. Jabatan Menhankam dipegang oleh Jenderal Poniman, mantan KSAD.
Kisah keberanian LB Moerdani dalam memata-matai Jenderal M. Yusuf adalah sebuah babak penting dalam sejarah militer Indonesia. Dengan segala kontroversi dan keberhasilannya, Benny Moerdani menunjukkan ketangguhan dan kecerdasannya dalam menghadapi situasi yang penuh tantangan, menjadikannya salah satu tokoh militer paling berpengaruh di Indonesia.
Isu beredar bahwa LB Moerdani, yang lebih dikenal dengan sebutan Benny Moerdani, secara diam-diam memata-matai Jenderal M. Yusuf dan melaporkan setiap gerak-geriknya kepada Soeharto. Benny menginformasikan kepopuleran Jenderal Yusuf yang kian meningkat, membuat Soeharto merasa terancam. Menurut laporan Benny, Yusuf diduga menggalang kekuatan internal dengan tujuan menjadi Presiden RI.
Selama masa jabatannya, Jenderal M. Yusuf memang kerap disorot. Ia dikenal sering memberikan kenaikan pangkat langsung di lapangan bagi perwira yang berprestasi di daerah-daerah seperti Timor Timur dan Irian Jaya (Papua). Selain itu, ia juga memberikan akses langsung kepada para komandan setingkat Letkol untuk masuk ke Sekolah Staf dan Komando (Sesko). Langkah-langkah ini, meskipun populer di kalangan perwira, memicu berbagai isu dan spekulasi.
Konflik Memuncak dan Pembajakan Woyla
Puncak dari konflik antara Jenderal M. Yusuf dan Letjen Benny Moerdani terjadi pada 30 Maret 1981. Ketika Jenderal Yusuf mengadakan Commanders Call ABRI di Ambon, Benny memilih tidak hadir. Pada saat yang bersamaan, terjadi peristiwa pembajakan pesawat Garuda Woyla di Bangkok. Benny mengambil inisiatif untuk mengatasi krisis ini tanpa koordinasi dengan Jenderal Yusuf. Dengan bantuan pasukan Kopassus yang direkrut mendadak, Benny berhasil menumpas para pembajak, yang kemudian dianggap sebagai keberhasilan besar di mata Soeharto dan masyarakat internasional.Namun, ada spekulasi di kalangan internal ABRI bahwa Benny, dalam kapasitasnya sebagai Asintel Hankam dan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), mungkin sengaja menggalang kekuatan ekstremis Islam untuk melakukan pembajakan tersebut. Tudingan ini muncul karena absennya Benny di Ambon selama Commanders Call.
Keberhasilan Benny dalam operasi Woyla mengukuhkan posisinya di mata Soeharto. Ia dianggap berjasa besar karena berhasil menjaga nama baik Indonesia di panggung internasional. Atas prestasinya ini, Benny Moerdani diangkat menjadi Panglima ABRI pada tahun 1983, mengalahkan para seniornya seperti Letjen Himawan Sutanto yang membawahi Benny.
Pengangkatan Benny sebagai Panglima ABRI menciptakan ketegangan dan kecemburuan di kalangan para senior lulusan Akademi Militer. Meski begitu, Benny terus melangkah maju, berpegang pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Hankam Negara yang tidak mengizinkannya merangkap sebagai Menhankam. Jabatan Menhankam dipegang oleh Jenderal Poniman, mantan KSAD.
Kisah keberanian LB Moerdani dalam memata-matai Jenderal M. Yusuf adalah sebuah babak penting dalam sejarah militer Indonesia. Dengan segala kontroversi dan keberhasilannya, Benny Moerdani menunjukkan ketangguhan dan kecerdasannya dalam menghadapi situasi yang penuh tantangan, menjadikannya salah satu tokoh militer paling berpengaruh di Indonesia.
(hri)