Menelisik asal Mula Sunda Wiwitan di Tasikmalaya

Jum'at, 19 Juli 2019 - 05:00 WIB
Menelisik asal Mula Sunda Wiwitan di Tasikmalaya
Menelisik asal Mula Sunda Wiwitan di Tasikmalaya
A A A
Jika selama ini masyarakat Jawa Barat mengenal orang yang masih memegang teguh ajaran "Sunda Wiwitan" adalah sekelompok warga di Kanekes Banten ataupun daerah Cigugur Kuningan, ternyata di Tasikmalaya juga ada. Mereka menghuni suatu kampung dengan sebutan Nagaraherang wilayah Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya.

Sekira 40 Kepala Keluarga masih memegang teguh ajaran Sunda Wiwitan tersebut yang pada Perkemahan dengan misi Kemah Kebhinekaan Pesan Damai Dari Tasikmalaya berbaur dengan kelompok kepercayaan lain.

Kemah yang digelar Forum Bhineka Tunggal Ika (FBTI) Tasikmalaya di Situ Gede pada Sabtu-Minggu, 13-14 Juli 2019 ini menjadi momen penting mereka muncul ke khalayak ramai.

Yang dituakan dalam Kelompok Adat Sunda Wiwitan Tasikmalaya, Ruru Ruhaedi, didampingi Koordinator FBTI, Asep Rizal Asy'ari mengaku bangga bisa diakui di Tasikmalaya. Meski masih kesulitan memasukan pada kolom agama di KTP, tak menyurutkan niat mereka untuk terus menunjukkan kepercayaan yang diyakini.

Menurut Koordinator FBTI, Asep Rizal Asyari terbentuknya komunitas masyarakat adat sunda wiwitan di Tasikmalaya tidak lepas dari peran Pangeran Madrais Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat asal Cirebon dulu kala.

Melalui buku yang dia terima dari Koordinator Sunda Wiwitan Tasikmalaya, Ruru Ruhaedi bahwa intinya apa yang diyakini sekira 40 Kepala Keluarga di Kampung Nagaraherang Rajapolah serta sebagian di suatu perkampungan di Kecamatan Ciawi menjalani aktivitas seperti adat masyarakat Baduy Kanekes Banten dan Cigugur Kuningan.

Mereka berkeyakinan bahwa kekuasaan tertinggi pada Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki) atau disebut pula Batara Tunggal sebagai penguasa alam dan yang gaib.

"Meski masih ada yang mengkategorikan Sunda Wiwitan bukan Agama, namun bagi mereka Sunda Wiwitan sesuai maknanya bahwa Wiwitan berarti mula, pertama, asal, pokok, jati. Dengan kata lain, agama yang dianut ialah agama Sunda asli paling pertama," ujarnya.

Berdasar Buku Singkat Sejarah Terbentuknya Komunitas Masyarakat Adat Sunda Wiwitan di Nagara Herang Ciawi Tasikmalaya, bermula saat Pangeran Madrais berkelana ke daerah Garut yang sebelum pulang ke Cigugur Kuningan melewati daerah Tasik.

Diperjalanan berjumpa dengan tukang kayu yang langsung takjub akan tutur sapa, perilaku dan kebaikannya sampai tukang kayu tersebut mengikuti Pangeran Madrais kemanapun pergi. Salah satunya sambil berdagang garam ke Singaparna, Sindangraja, kemudian Maniis menuju Cigugur.

Sekembali ke Kampung halamannya Tajur Halang, tukang kayu yang dikenal dengan nama Katma ini mengajak warga lain menemui Pangeran Madrasi ke Cigugur untuk berguru. Yang sepulangnya dari Cigugur, kabar Katma sampai pula dictelinga Tokoh Kampung Nagaracenang (Sekarang Nagaraherang) yang akhirnya menjadi tempat menetap Pangeran Madrais.

Penyebaran ajaran Sunda Wiwitan pun dilakukan secara sembunyi karena saat itu dilarang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pangeran Madrais menyampaikan ajaran Sunda ketika berladang serta di suatu tempat yang disebut Tawang Gantungan.

Fitnah muncul yang akhirnya Pangeran Madrais ditangkap, diperiksa Pamong Desa lalu dibawa ke pusat Kabupaten Tasikmalaya yang selanjutnya dibuang ke Digul Papua oleh Belanda. Kejadian sekira tahun 1901.

Bahkan di tahun 1927, perkampungan tempat Pangeran Madrais menetap yakni Nagaraherang dirusak dengan tuduhan pengikut Madrais mengajarkan menyembah api dan meminum keringat Pangeran Madrais. Kerusuhan pun sampai 14 hari karena banyak pengikut melakukan perlawanan.

Sejak itulah, penganut Sunda Wiwitan di Nagaraherang semakin militan dan bertahan hingga sekarang. Mereka sangat berharap bisa memasukan kolom agama Sunda Wiwitan di KTP karena sebutan Sunda Wiwitan suatu kepercayaan, ajaran asli pertama masyarakat sunda.

Hingga kini, penganut Sunda Wiwitan di Nagaraherang kerap berkumpul di suatu gedung berbentuk segi empat yang melambangkan empat penjuru mata angin yang kerap dipakai menerima wejangan atau nasihat serta berdiskusi menyangkut persoalan warga.

Dalam perkembangannya antara tahun 1964-1966, gedung tersebut beralih fungsi menjadi tempat peribadatan Katolik demi menjaga fitnahan dan kerusuhan saat terjadinya pemberontakan DI/TII.

Dan sekarang gedung itu menjadi tempat kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian budaya warisan leluhur adat sunda, meski dalam keseharian terus mendapat hambatan sosial menyangkut kebutuhan masyarakat.

Misal ketika hendak mengurus kepentingan administratif dihadapkan pada isian kolom agama yang kemudian mengisi pilihan “agama lainnya” atau sebagian mengaku Katolik.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7985 seconds (0.1#10.140)