Mengenal Bantengan, Seni Tradisional dari Malang Warisan Kerajaan Singasari
loading...
A
A
A
MALANG - Seni tradisional bantengan asal Malang ternyata sudah ada sejak era Kerajaan Singasari. Seni tradisional ini berkembang dan menjadi pertunjukan yang wajib seolah ditampilkan ketika karnaval hingga kegiatan bersih desa.
Kegiatan bersih desa ini memang kerap dilakukan di masa bulan Suro, dalam penanggalan kalender Jawa, atau bertepatan dengan bulan Muharram pada penanggalan Hijriyah Islam.
Bersih desa itu biasanya dilakukan dengan melakukan syukuran diiringi dengan pertunjukan beberapa kesenian tradisional, termasuk bantengan.
Seniman Bantengan Malang Takim Galogo Jati menuturkan, bila kesenian ini merupakan peninggalan Kerajaan Singasari yang terukir dalam relief di Candi Jago. Relief itu merupakan bagian dari candi yang diperuntukkan untuk Wisnuwardhana.
”Ada reliefnya dari Candi Jago, ada relief pendarmaan relief Raja Singasari keempat batu ada relief, ada pertarungan banteng melawan asu ajat, yang lambat laun mungkin akhirnya diadopsi oleh grup-grup pencak silat yang ada di wilayah Kabupaten Malang," ucap Takim.
Dari sanalah bantengan di Candi Jago itu awalnya menjadi bagian dari pencak silat. Semenjak itu bantengan konon dipentaskan sejak lama. Pertunjukan itu dilakukan oleh wilayah-wilayah yang pernah dikuasai Singasari, terutama di lereng-lereng pegunungan.
”Ya kalau bicara Singasari kan asalnya dari Malang. Tapi kan wilayahnya berkembang. Makanya bantengan itu Jawa saja, adanya di Jawa Timur saja, terutama yang di wilayah Singasari, di lereng Semeru, Arjuno, Kawi, lereng Kendeng, wilayah Kerajaannya Singasari,” ungkapnya.
Bantengan yang dikenal sekarang berasal dari kata nandoko, bahasa Jawa kuno. Konon kisah itu juga tercantum dalam beberapa kitab kuno, yang masing-masing daerah di Malang punya referensi dan cerita sejarah kearifan lokal berbeda-beda.
”Bantengan itu bahasa kita sehari-hari, tapi yang jelas itu bahasa nandoko, yang lebih tua, nandoko itu banteng, kalau lembu itu sapi, mahesa itu kerbau. Itu bahasa Jawa kuno itu,” kata pria berusia 53 tahun ini.
Namun diakui ada perubahan pementasan dari zaman ke zaman. Bila dahulu bantengan itu dimainkan di padepokan pencak silat dan tubuh di lereng pegunungan, kini berkembang hingga dijadikan pentas seni di jalanan, perkampungan, pedesaan, hingga daerah kota.
”Setiap grup punya cerita versi masing-masing, punya kearifan lokal masing-masing. Jadi ada yang dari cerita mbahnya, leluhurnya, atau pundennya yang dipakai,” tukasnya.
Lihat Juga: Kisah Raja Kertanegara Memutasi Para Pejabat Tinggi Istana Kerajaan Singasari Akibat Beda Pendapat
Kegiatan bersih desa ini memang kerap dilakukan di masa bulan Suro, dalam penanggalan kalender Jawa, atau bertepatan dengan bulan Muharram pada penanggalan Hijriyah Islam.
Bersih desa itu biasanya dilakukan dengan melakukan syukuran diiringi dengan pertunjukan beberapa kesenian tradisional, termasuk bantengan.
Seniman Bantengan Malang Takim Galogo Jati menuturkan, bila kesenian ini merupakan peninggalan Kerajaan Singasari yang terukir dalam relief di Candi Jago. Relief itu merupakan bagian dari candi yang diperuntukkan untuk Wisnuwardhana.
”Ada reliefnya dari Candi Jago, ada relief pendarmaan relief Raja Singasari keempat batu ada relief, ada pertarungan banteng melawan asu ajat, yang lambat laun mungkin akhirnya diadopsi oleh grup-grup pencak silat yang ada di wilayah Kabupaten Malang," ucap Takim.
Dari sanalah bantengan di Candi Jago itu awalnya menjadi bagian dari pencak silat. Semenjak itu bantengan konon dipentaskan sejak lama. Pertunjukan itu dilakukan oleh wilayah-wilayah yang pernah dikuasai Singasari, terutama di lereng-lereng pegunungan.
”Ya kalau bicara Singasari kan asalnya dari Malang. Tapi kan wilayahnya berkembang. Makanya bantengan itu Jawa saja, adanya di Jawa Timur saja, terutama yang di wilayah Singasari, di lereng Semeru, Arjuno, Kawi, lereng Kendeng, wilayah Kerajaannya Singasari,” ungkapnya.
Bantengan yang dikenal sekarang berasal dari kata nandoko, bahasa Jawa kuno. Konon kisah itu juga tercantum dalam beberapa kitab kuno, yang masing-masing daerah di Malang punya referensi dan cerita sejarah kearifan lokal berbeda-beda.
”Bantengan itu bahasa kita sehari-hari, tapi yang jelas itu bahasa nandoko, yang lebih tua, nandoko itu banteng, kalau lembu itu sapi, mahesa itu kerbau. Itu bahasa Jawa kuno itu,” kata pria berusia 53 tahun ini.
Namun diakui ada perubahan pementasan dari zaman ke zaman. Bila dahulu bantengan itu dimainkan di padepokan pencak silat dan tubuh di lereng pegunungan, kini berkembang hingga dijadikan pentas seni di jalanan, perkampungan, pedesaan, hingga daerah kota.
”Setiap grup punya cerita versi masing-masing, punya kearifan lokal masing-masing. Jadi ada yang dari cerita mbahnya, leluhurnya, atau pundennya yang dipakai,” tukasnya.
Lihat Juga: Kisah Raja Kertanegara Memutasi Para Pejabat Tinggi Istana Kerajaan Singasari Akibat Beda Pendapat
(ams)