Kisah Sultan Agung dan Strategi Mataram Taklukkan Surabaya yang Gigih
loading...
A
A
A
Pada masa kejayaan Kesultanan Mataram , Sultan Agung memiliki ambisi besar untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Salah satu target utamanya adalah Surabaya, sebuah kota yang dikenal sebagai benteng yang kuat dan sulit ditaklukkan. Upaya Sultan Agung untuk menaklukkan Surabaya bukanlah hal yang mudah, mengingat kota tersebut telah bertahan dari berbagai serangan pada masa pemerintahan pendahulunya, Senapati Ngalaga dan Susuhunan Adiprabu Hanyakrawati.
Dalam rangka merebut Surabaya, Sultan Agung mengirim pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Surantani dan Tumenggung Alap-Alap. Namun, dalam pertempuran sengit, Tumenggung Surantani tewas di tangan Panji Pulangjiwa, menantu Rangga Tohjiwa, Bupati Malang. Meskipun demikian, Tumenggung Alap-Alap berhasil membunuh Panji Pulangjiwa dengan jebakan cerdik pada tahun 1614 M.
Pada tahun 1615 M, Sultan Agung berhasil menaklukkan Wirasaba (Mojoagung, Jombang), yang kemudian diikuti oleh keberhasilan di Lasem dan Pasuruhan pada tahun 1616 M. Pada tahun berikutnya, Sultan Agung berhasil menumpas pemberontakan di Pajang. Namun, Adipati Pajang dan panglimanya, Ki Tambakbaya, berhasil melarikan diri ke Surabaya.
Pada tahun 1620 M, pasukan Mataram mulai mengepung Surabaya secara bertahap. Mereka membendung Kali Mas untuk memutus suplai air ke kota. Namun, Surabaya tetap bertahan meski dalam kondisi yang sulit.
Menyadari kegigihan pertahanan Surabaya, Sultan Agung mengubah strategi dengan mengirim Tumenggung Bahureksa untuk menaklukkan Sukadana di Kalimantan sebelah barat daya. Selain itu, Ki Juru Kiting dikirim untuk menaklukkan Madura pada tahun 1624 M. Pulau Madura, yang terdiri dari banyak kadipaten, akhirnya dapat disatukan di bawah kepemimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan berhasilnya penaklukan Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi semakin lemah karena suplai pangan mereka terputus. Akibat kelaparan hebat, Surabaya akhirnya menyerah kepada Mataram di bawah kepemimpinan Pangeran Jayalengkara. Penyerahan ini dipimpin oleh Tumenggung Mangun Oneng.
Setelah Surabaya jatuh ke tangan Mataram, Sultan Agung memperkuat aliansi dengan menikahkan putrinya, Pandansari, dengan Pangeran Pekik, putra Adipati Surabaya. Namun, pada tahun berikutnya, Kesultanan Mataram dilanda wabah penyakit yang mematikan, yang menewaskan dua pertiga penduduknya antara tahun 1625 dan 1627 M.
Kisah ini menggambarkan betapa rumit dan berdarahnya perjuangan Sultan Agung dalam memperluas kekuasaan Mataram. Penuh dengan strategi cerdas, pengepungan yang panjang, dan dampak dari wabah penyakit, upaya ini menegaskan kegigihan dan ketangguhan Sultan Agung serta pasukannya.
Dalam rangka merebut Surabaya, Sultan Agung mengirim pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Surantani dan Tumenggung Alap-Alap. Namun, dalam pertempuran sengit, Tumenggung Surantani tewas di tangan Panji Pulangjiwa, menantu Rangga Tohjiwa, Bupati Malang. Meskipun demikian, Tumenggung Alap-Alap berhasil membunuh Panji Pulangjiwa dengan jebakan cerdik pada tahun 1614 M.
Pada tahun 1615 M, Sultan Agung berhasil menaklukkan Wirasaba (Mojoagung, Jombang), yang kemudian diikuti oleh keberhasilan di Lasem dan Pasuruhan pada tahun 1616 M. Pada tahun berikutnya, Sultan Agung berhasil menumpas pemberontakan di Pajang. Namun, Adipati Pajang dan panglimanya, Ki Tambakbaya, berhasil melarikan diri ke Surabaya.
Pada tahun 1620 M, pasukan Mataram mulai mengepung Surabaya secara bertahap. Mereka membendung Kali Mas untuk memutus suplai air ke kota. Namun, Surabaya tetap bertahan meski dalam kondisi yang sulit.
Menyadari kegigihan pertahanan Surabaya, Sultan Agung mengubah strategi dengan mengirim Tumenggung Bahureksa untuk menaklukkan Sukadana di Kalimantan sebelah barat daya. Selain itu, Ki Juru Kiting dikirim untuk menaklukkan Madura pada tahun 1624 M. Pulau Madura, yang terdiri dari banyak kadipaten, akhirnya dapat disatukan di bawah kepemimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan berhasilnya penaklukan Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi semakin lemah karena suplai pangan mereka terputus. Akibat kelaparan hebat, Surabaya akhirnya menyerah kepada Mataram di bawah kepemimpinan Pangeran Jayalengkara. Penyerahan ini dipimpin oleh Tumenggung Mangun Oneng.
Setelah Surabaya jatuh ke tangan Mataram, Sultan Agung memperkuat aliansi dengan menikahkan putrinya, Pandansari, dengan Pangeran Pekik, putra Adipati Surabaya. Namun, pada tahun berikutnya, Kesultanan Mataram dilanda wabah penyakit yang mematikan, yang menewaskan dua pertiga penduduknya antara tahun 1625 dan 1627 M.
Kisah ini menggambarkan betapa rumit dan berdarahnya perjuangan Sultan Agung dalam memperluas kekuasaan Mataram. Penuh dengan strategi cerdas, pengepungan yang panjang, dan dampak dari wabah penyakit, upaya ini menegaskan kegigihan dan ketangguhan Sultan Agung serta pasukannya.
(hri)