Misteri Situ Gede Tasikmalaya dan Prabudilaya

Senin, 04 Maret 2019 - 05:00 WIB
Misteri Situ Gede Tasikmalaya dan Prabudilaya
Misteri Situ Gede Tasikmalaya dan Prabudilaya
A A A
Kurang lebih tiga kilometer dari pusat Kota Tasikmalaya di Kelurahan Linggajaya Kecamatan Mangkubumi terdapat suatu danau yang disebut Situ Gede. Situ ini menjadi pusat irigasi tengah kota yang mengairi ratusan hektare sawah di Kota Tasikmalaya yang menimbulkan efek bagus bagi kehidupan warga sekitar serta pertanian.

Menurut riwayat yang ditulis dalam Gedenbook tahun 1933 yang dikhususkan dalam rangka memperingati berdirinya Tasikmalaya 300 tahun dan 25 tahun Pemerintahan Tasikmalaya dibawah kepemimpinan Bupati Raden Arya Wiratanuningrat (1908-1933), dulunya Situ Gede sama luasnya dengan Situ Lengkong Panjalu Ciamis.

Namun oleh penduduk semakin tak terurus karena sebagian ada yang dijadikan sawah dan kolam. Padahal menjadi pusat irigasi yang airnya tak pernah habis dengan kedalaman mencapai empat meter lebih bahkan di tengah situnya sampai puluhan meter.

Dulu berdiri dipinggir situ saja, kata dalam "Gedenbook", orang-orang takut karena saking airnya hijau menandakan kedalaman dengan ikan-ikan yang banyak dan besar yang menjadi penghasilan warga sekitar. Warga kerap mendapat ikan yang terseret arus ketika air melimpah ke Kali Cibanjaran.

Ikan-ikan tersebut tidak diambil tiap hari tetapi ketika musim paceklik saja karena menurut kepercayaan bahwa Situ Gede sanggup menjadi penolong orang yang kekurangan makanan sehingga jarang sekali yang mengambilnya. Burung rawa atau kuntul pun banyak serta sering diadakan "Salametan" besar atas rampungnya irigasi besar.

Pohon-pohon mengelilingi situ, termasuk eceng gondok yang tidak dijumpai di situ manapun. Gunung-gunung kecil berjejer dan terdapat gunung besar tapi tidak berpohon hanya rumput dan ilalang.

Pagi atau sore hari apabila berdiri di puncak gunung dapat melihat pemandangan indah luasnya Situ Gede yang kini tak dijumpai lagi. Dan bisa melihat Kota Tasikmalaya dari gunung.

Orang Belanda juga sempat menjadikan Situ Gede menjadi pariwisata dengan penyewaan motor boat, malah ada orang Eropa yang akan membuat penginapan untuk orang berwisata seperti di Situ Lengkong Panjalu. Namun tidak jadi karena banyak keanehan di situ itu.

Ditengah situ terdapat tiga kuburan kuno yang dikenal dengan kuburan Prabudilaya dan dua pengawalnya Ki Sagalong serta Ki Siliwati yang asal-usulnya menjadi adanya Situ Gede.

Dikisahkan Tanah Priangan masih di bawah Pemerintahan Mataram. Di Sumedang terdapat priyayi keturunan Prabu Tadjimalela bernama Prabudilaya yang tinggal di Gunung Simpay wilayah Cibugel Sumedang.

Ketika dewasa, Prabudilaya dikenal Priyayi yang tidak betah di rumah. Dia suka mengembara mencari aneka ilmu kegagahan dan kebatinan. Dimana ada guru mashur atau pandita terkenal dia akan berguru kesana.

Setelah mengembara dan berguru di Jawa Tengah serta Jawa Timur, dia menyeberang ke Pulau Madura menuju Sumenep. Dan sepulang dari Madura, Prabudilaya menghadap Sunan Mataram dengan tujuan ingin melihat wujud Sunan serta dalamnya Keraton Mataram untuk diceritakan nanti di Sumedang.

Karena memiliki perilaku yang baik, Raja Mataram memberinya dua istri yakni Nyi Sakarembong dan Nyi Kondang Hapa. Dua perempuan ini diduga orang Sunda karena bernama Sunda.

Sesudah dinikahkan, Prabudilaya pulang ke Sumedang bersama dua istrinya itu dan menetap di Gunung Simpay. Tapi untuk merawat dua istrinya diserahkan pada pengawalnya yaitu Ki Sagolong dan Ki Siliwati. Sedangkan untuk penghidupan dengan "Ngahuma" atau menanam padi di darat yang ketika waktu senggang dua istrinya diajarkan ilmu kebatinan agar bisa menjaga diri karena Prabudilaya masih ingin terus berkelana.

Karena dianggap cukup mengajarkan dua istrinya, Prabudilaya terus melakukan pengembaraan, tapi sesekali pulang ke Gunung Simpay. Namun tak pernah bersetubuh atau memberi nafkah batin terhadap dua istrinya itu. Dia lebih sibuk bertapa sehingga lebih bayak tinggal di padepokan daripada satu rumah dengan istri.

Lambat laun dua istrinya itu merasa diabaikan karena tak pernah digauli yang akhirnya keluar pikiran buruk ingin membunuh Prabudilaya.

Tibalah pada suatu malam ketika Prabudilaya tidur nyenyak selepas bepergian. Tanpa diduga, Nyi Sakarembong mengambil pisau yang terselip dipinggang Prabudaya lalu dihunuskan ke dalam perut. Seketika Prabduliaya wafat yang mengeluarkan darah begitu banyak.

Kemudian Nyi Sakrembong memberitahu Nyi Kondanghapa untuk bermufakat akan dimana dikuburnya mayat suaminya itu. Tanpa pikir panjang karena takut ketahuan, dibungkuslah mayat Prabudaya menjauh dari Gunung Simpay. Lalu tiba di suatu daerah pegunungan di Tasikmalaya.

Digalilah tanah untuk kuburan Prabudilaya namun keburu pagi dimana fajar sudah menyingsing dengan keluarnya cahaya merah dari arah timur. Nyi Sakarembong dan Nyi Kondanghapa ketakutan yang akhirnya mayat tersebut dibungkus kembali mencari tempat lain.

Dari tanah yang digali itulah meluber air dan menjadi danau yang dikenal dengan sebutan Situ Cibeureum. Situ itu kini terletak di Kelurahan Tamanjaya Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya. Dari sanalah nama Cibeureum bermula karena akibat keluarnya Cahaya Merah yang dalam bahasa Sunda Beureum. Maka dinamai Situ Cibeureum.

Mayat Prabudilaya kembali digotong ke tempat lain. Kemudian digalikan lagi kuburan. Tapi Nyi Sakarembong dan Nyi Kondanghapan terus dihantui rasa bersalah yang saking gugupnya sampai tak terasa fajar menyingsing. Penguburan pun gagal dan bekas galian kini menjadi danau juga yang disebut Situ Cipajaran yang artinya danau yang dibuat karena muncul fajar.

Mencari tempat aman untuk mengubur Prabudilaya dilanjutkan kesebelah barat. Di tengah perjalanan, tandu yang dipakai membawa mayat Prabudilaya patah. Kemudian mencara alat penyambung yang daerah itu kini dikenal dengan sebutan "Sambong Hilir". Sambong dari kata "sambung" dan "hilir" dari kata "lor" atau selatan.

Perjalanan dilanjutkan namun baru setengah perjalana, tandu patah kembali. Disambunglah tandu itu yang nama daerahnya kini menjadi "Sambong Tengah" atau tempat menyambung tandu di tengah perjalanan.

Karena takut patah lagi, Nyi Sakarembong dan Nyi Kondanghapa membawa sekepal tanah yang sudah dijampi-jampi untuk menyambung kembali tandu jika diperjalanan kembali patah. Yang tempat mengambil tanah itu sekarang menjadi nama daerah Sambong Mangkubumi.

Sampai akhirnya tiba di suatu bukit kecil kemudian digalinya tanah tersebut yang bekasnya sekarang menjadi Situ Gede. Setelah berhasil dikubur, dua istri Prabudilaya ini melihat dua pengawal suaminya membuntuti sampai akhirnya dibunuh juga Ki Sagalaong dan Ki Siliwati itu yang makamnya berdekatan dengan Prabudilaya.

Setelah misi selesai, Nyi Sakarembong dan Nyi Kondanghapa tidak berani pulang ke Gunung Simpay Sumedang maupun ke Mataram. Keduanya memilih bersembunyi di Gunung Goong yang sekarang di Kelurahan Bantar, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya.

Keduanya meninggal disana yang kalau melewati Jalan Bantar menuju Jalan Mangin, terdapat sebuah makam dengan tulisan Makam Nyi Mas Sakarembong.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9130 seconds (0.1#10.140)