Aktivis Lingkungan Minta Kamojang-Papandayan Tetap Jadi Cagar Alam
A
A
A
BANDUNG - Sejumlah aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Cagar Alam Jawa Barat mendesak pemerintah mencabut Surat Keputusan (SK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 25 Tahun 2018. SK yang terbit 10 Januari 2018 lalu itu mengatur tentang penurunan status kawasan Kamojang dan Papandayan sebagai cagar alam menjadi taman wisata alam. Penurunan status dua cagar alam yang berada di perbatasan antara Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung itu dinilai dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada kehidupan masyarakat.
Terlebih, berbagai bencana alam, seperti banjir, longsor, dan kekeringan memiliki relasi kuat dengan kerusakan alam dan pelanggaran yang terjadi di setiap level kawasan hutan.
Ironisnya, kerusakan dan pelanggaran lingkungan di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Garut dan Bandung telah terjadi di setiap kawasan hutan, mulai hutan lindung hingga konservasi, bahkan di kawasan cagar alam sekalipun.
"Padahal, cagar alam secara ekologis maupun fungsinya merupakan satu-satunya level kawasan yang sama sekali tidak memberikan toleransi terhadap pemanfaatan langsung. Sehingga, kegiatan serupa rekreasi/wisata pun tidak diperbolehkan di dalam kawasan cagar alam," tegas Koordinator Aliansi Cagar Alam Yogi Kidung Saujana dalam konferensi pers di kawasan Jalan Sultan Agung Tirtayasa, Kota Bandung, Rabu (23/1/2019).
Dia menjelaskan, cagar alam sebagai level tertinggi kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi yang kompleks, khususnya sebagai laboratorium alam yang menjadi habitat bagi hidupnya berbagai flora dan fauna. Sehingga, sebagai kawasan ekologi khusus, fungsi utama cagar alam sebagai sistem penyangga kehidupan dimana urgensinya melampaui pemanfaatan langsung untuk kepentingan ekonomi.
"Dengan kata lain, cagar alam adalah satu-satunya harapan dan benteng terakhir kelestarian alam secara ekologis," tegas Kidung.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya dimana intervensi terhadap kawasan cagar alam terjadi sejak lama dan terkesan dibiarkan.
Salah satu kenyataan tersebut bisa dengan mudah ditemui di kawasan Cagar Alam Kamojang, tepatnya di Hutan dan Danau Ciharus dimana intervensi manusia dengan latar belakang pelanggaran ekonomi hingga rekreasi dibiarkan selama bertahun-tahun.
Terjadinya pelanggaran dan kerusakan di kawasan Cagar Alam Kamojang mendorong masyarakat sekitar dan forum komunitas dari berbagai daerah melakukan gerakan "Save Ciharus", "Save Cagar Alam" dan "Sadar Kawasan" dimana sejak 2012 hingga kini terus melakukan upaya perbaikan serta pencegahan pelanggaran dan kerusakan dengan melakukan sosialisasi hingga restorasi di sekitar kawasan cagar alam yang terdampak.
"Namun, alih-alih mendukung masyarakat dalam upaya penyelamatan kawasan cagar alam, kami dikejutkan dengan keluarnya SK KLHK Nomor 25 tahun 2018 yang mengubah lebih dari 4.000 hektare luasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan dari fungsi cagar alam menjadi taman wisata alam," ungkapnya.
Celakanya lagi, lanjut Kidung, dari dokumen kronologi penerbitan SK tersebut, disebutkan bahwa motivasi perubahan fungsi kawasan itu untuk melegalkan eksplorasi tambang panas bumi di kawasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan.
"Artinya, dengan diturunkannya fungsi dan status kawasan ini, dengan sendirinya akan melegalkan intervensi, bukan hanya dalam bentuk rekreasi, melainkan setiap praktik tambang panas bumi yang melibatkan alat-alat berat pun menjadi legal memasuki kawasan cagar alam," timpalnya.
Pihaknya juga menilai, penurunan fungsi dan status kawasan ini akan menjadi preseden buruk, baik bagi upaya konservasi yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat maupun bagi kawasan lain di bawah level cagar alam dan konservasi.
"Sebab, fungsi kawasan setingkat cagar alam pun ternyata tunduk demi kepentingan di luar ekologi, apalagi kawasan lain yang secara formal tidak dilindungi sebagaimana ketatnya kawasan cagar alam," tegasnya lagi.
Oleh karena itu, Kidung menyatakan, Aliansi Cagar Alam Jawa Barat mendesak pencabutan SK KLHK Nomor 25 Tahun 2018, menuntut dilakukan investigasi terhadap kemungkinan pelanggaran di dalam kawasan cagar alam sebelum terbit SK, dan menuntut ditegakkannya supremasi cagar alam sebagai level tertinggi kawasan konservasi.
"Kami juga menuntut kepastian kelestarian cagar alam di Jawa Barat dan Indonesia umumnya, baik dari ancaman penurunan status kawasan maupun intervensi-intervensi lainnya yang diakibatkan tanggalnya supremasi hukum cagar alam," tandas Kidung.
Masih di tempat yang sama, aktivis dari Pro Fauna Herlina Agustin pun menyesalkan penerbitan SK tersebut. Menurutnya, penerbitan SK tersebut sebagai langkah mundur pemerintah dalam bidang konservasi.
"Keanekaragaman hayati akan rusak dan menimbulkan kesenjangan. Tidak hanya kesenjangan antara manusia dan lingkungan, namun kesenjangan antara manusia dan fauna yang kehilangan habitatnya pun akan tinggi," katanya.
Menurut dia, SK tersebut mengancam kelestarian berbagai fauna yang hidup di Cagar Alam Kamojang dan Papandayan, seperti panthera pardus (macan tutul), elang jawa, owa jawa, surili, termasuk berbagai jenis hewan primata yang jenisnya belum teridentifikasi.
"Kami mendesak agar SK ini dicabut. Jika mereka (pemerintah) keberatan dengan cara-cara sosialisasi dan damai, ya sudah kami siap menempuh jalur hukum. Kami nothing to lose karena yang kami perjuangkan untuk bumi ini," pungkasnya.
Terlebih, berbagai bencana alam, seperti banjir, longsor, dan kekeringan memiliki relasi kuat dengan kerusakan alam dan pelanggaran yang terjadi di setiap level kawasan hutan.
Ironisnya, kerusakan dan pelanggaran lingkungan di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Garut dan Bandung telah terjadi di setiap kawasan hutan, mulai hutan lindung hingga konservasi, bahkan di kawasan cagar alam sekalipun.
"Padahal, cagar alam secara ekologis maupun fungsinya merupakan satu-satunya level kawasan yang sama sekali tidak memberikan toleransi terhadap pemanfaatan langsung. Sehingga, kegiatan serupa rekreasi/wisata pun tidak diperbolehkan di dalam kawasan cagar alam," tegas Koordinator Aliansi Cagar Alam Yogi Kidung Saujana dalam konferensi pers di kawasan Jalan Sultan Agung Tirtayasa, Kota Bandung, Rabu (23/1/2019).
Dia menjelaskan, cagar alam sebagai level tertinggi kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi yang kompleks, khususnya sebagai laboratorium alam yang menjadi habitat bagi hidupnya berbagai flora dan fauna. Sehingga, sebagai kawasan ekologi khusus, fungsi utama cagar alam sebagai sistem penyangga kehidupan dimana urgensinya melampaui pemanfaatan langsung untuk kepentingan ekonomi.
"Dengan kata lain, cagar alam adalah satu-satunya harapan dan benteng terakhir kelestarian alam secara ekologis," tegas Kidung.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya dimana intervensi terhadap kawasan cagar alam terjadi sejak lama dan terkesan dibiarkan.
Salah satu kenyataan tersebut bisa dengan mudah ditemui di kawasan Cagar Alam Kamojang, tepatnya di Hutan dan Danau Ciharus dimana intervensi manusia dengan latar belakang pelanggaran ekonomi hingga rekreasi dibiarkan selama bertahun-tahun.
Terjadinya pelanggaran dan kerusakan di kawasan Cagar Alam Kamojang mendorong masyarakat sekitar dan forum komunitas dari berbagai daerah melakukan gerakan "Save Ciharus", "Save Cagar Alam" dan "Sadar Kawasan" dimana sejak 2012 hingga kini terus melakukan upaya perbaikan serta pencegahan pelanggaran dan kerusakan dengan melakukan sosialisasi hingga restorasi di sekitar kawasan cagar alam yang terdampak.
"Namun, alih-alih mendukung masyarakat dalam upaya penyelamatan kawasan cagar alam, kami dikejutkan dengan keluarnya SK KLHK Nomor 25 tahun 2018 yang mengubah lebih dari 4.000 hektare luasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan dari fungsi cagar alam menjadi taman wisata alam," ungkapnya.
Celakanya lagi, lanjut Kidung, dari dokumen kronologi penerbitan SK tersebut, disebutkan bahwa motivasi perubahan fungsi kawasan itu untuk melegalkan eksplorasi tambang panas bumi di kawasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan.
"Artinya, dengan diturunkannya fungsi dan status kawasan ini, dengan sendirinya akan melegalkan intervensi, bukan hanya dalam bentuk rekreasi, melainkan setiap praktik tambang panas bumi yang melibatkan alat-alat berat pun menjadi legal memasuki kawasan cagar alam," timpalnya.
Pihaknya juga menilai, penurunan fungsi dan status kawasan ini akan menjadi preseden buruk, baik bagi upaya konservasi yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat maupun bagi kawasan lain di bawah level cagar alam dan konservasi.
"Sebab, fungsi kawasan setingkat cagar alam pun ternyata tunduk demi kepentingan di luar ekologi, apalagi kawasan lain yang secara formal tidak dilindungi sebagaimana ketatnya kawasan cagar alam," tegasnya lagi.
Oleh karena itu, Kidung menyatakan, Aliansi Cagar Alam Jawa Barat mendesak pencabutan SK KLHK Nomor 25 Tahun 2018, menuntut dilakukan investigasi terhadap kemungkinan pelanggaran di dalam kawasan cagar alam sebelum terbit SK, dan menuntut ditegakkannya supremasi cagar alam sebagai level tertinggi kawasan konservasi.
"Kami juga menuntut kepastian kelestarian cagar alam di Jawa Barat dan Indonesia umumnya, baik dari ancaman penurunan status kawasan maupun intervensi-intervensi lainnya yang diakibatkan tanggalnya supremasi hukum cagar alam," tandas Kidung.
Masih di tempat yang sama, aktivis dari Pro Fauna Herlina Agustin pun menyesalkan penerbitan SK tersebut. Menurutnya, penerbitan SK tersebut sebagai langkah mundur pemerintah dalam bidang konservasi.
"Keanekaragaman hayati akan rusak dan menimbulkan kesenjangan. Tidak hanya kesenjangan antara manusia dan lingkungan, namun kesenjangan antara manusia dan fauna yang kehilangan habitatnya pun akan tinggi," katanya.
Menurut dia, SK tersebut mengancam kelestarian berbagai fauna yang hidup di Cagar Alam Kamojang dan Papandayan, seperti panthera pardus (macan tutul), elang jawa, owa jawa, surili, termasuk berbagai jenis hewan primata yang jenisnya belum teridentifikasi.
"Kami mendesak agar SK ini dicabut. Jika mereka (pemerintah) keberatan dengan cara-cara sosialisasi dan damai, ya sudah kami siap menempuh jalur hukum. Kami nothing to lose karena yang kami perjuangkan untuk bumi ini," pungkasnya.
(sms)