Pemda DIY Kesulitan Selesaikan Tanah Enclave
A
A
A
BANTUL - Pemda DIY menargetkan pada 2020 seluruh tanah desa, tanah Sultanaat Grond (SG) atau Tanah Kasultanan Ground dan Pakualamanaat Grond (PAG) atau Tanah Kadipaten selesai dipatok. Selanjutnya diukur dan diajukan ke Kanwil BPN DIY untuk disertifikatkan.
Namun demikian, Pemda DIY mengalami kendala untuk pematokan tanah desa. Sebab, tidak semua tanah desa di DIY asal usulnya adalah tanah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Desa-desa tersebut dikenal dengan daerah enclave Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegara.
Enclave Kasunanan berada di Kabupaten Bantul dan Mangkunegaran memiliki wilayah yang sekarang masuk Kabupaten Gunungkidul. Wilayah enclave adalah daerah kantong yang wilayahnya dikelilingi wilayah negara lain. Enclave Kasunanan Surakarta yang dulunya dikenal dengan sebutan Imogiri dan Kotagede Surakarta.
Tersebar di 16 desa dan tiga kecamatan. Yakni Desa Jatimulyo, Terong, Dlingo, Temuwuh, Muntuk dan Desa Mangunan yang masuk Kecamatan Dlingo. Kemudian Desa Imogiri, Girirejo, Karangtalun, Karangtengah dan Desa Kebon Agung berada di Kecamatan Imogiri.
Kecamatan Pleret memiliki tiga desa enclave yakni Desa Bawuran, Wanalela dan Desa Segarayasa. Kemudian Kecamatan Banguntapan meliputi Desa Jagalan dan Desa Singosaren.
Selanjutnya, Enclave Mangkunegaran dulunya bernama Kapanewonan Ngawen-Semin. Ada tujuh desa yang menjadi wilayah Mangkunegaran yakni Desa Beji, Jurang Jero, Kampung, Sambirejo, Tancep dan Desa Watusigar. Semuanya masuk Kecamatan Ngawen. Satu desa lagi yaitu Desa Tegalrejo saat ini menjadi wilayah Kecamatan Nglipar.
“Khusus penyelesaian tanah desa di wilayah enclave akan dibahas oleh Tim 9. Saya usul nantinya Tim 9 ini beranggotakan orang-orang yang benar-benar paham. Bukan yang punya kepentingan,” ungkap Anggota Parampara Praja (penasihat gubernur DIY) Suyitno usai sosialisasi Peraturan Gubernur No 49 Tahun 2018 tentang Prosedur Permohonan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten di rumah dinas Bupati Bantul, Senin (29/10/2018).
Suyitno mengakui masalah pertanahan di DIY cukup pelik. Ada beberapa persoalan yang tidak cukup ditangani Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (DPTR) DIY. Peliknya persoalan bukan sekadar soal tanah desa yang dulunya milik Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.
Karena itu, mantan dosen hukum perdata UGM ini mengusulkan dibentuk Tim 9. Tim tersebut akan menyelesaikan semua masalah pertanahan yang memiliki tingkat kesulitan derajat 3. “Misalnya ada tanah kas desa yang sudah dijual, nanti tim ini yang akan menyelesaikan. Jadi tidak hanya soal enclave saja,” tegasnya.
Suyitno menilai tanah enclave saat ini sudah tidak banyak. Sebagian sudah menjadi milik masyarakat dan sebagian kecil masih dikuasai desa. “Yang jadi milik masyarakat tidak masalah. Yang jadi masalah yang milik desa,” tegasnya.
Dikatakan, perlu ada kebijakan menyelesaikan masalah ini. Secara pribadi Suyitno berpendapat, demi memudahkan sistem administrasi dirinya lebih sepakat tanah desa yang dulunya enclave Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran diatasnamakan tanah milik Kasultanan seperti tanah desa-desa lainnya.
“Memang pembagiannya oleh Belanda diselang-seling biar kacau. Kalau saya, (ini) saya tidak membela Kasultanan, tapi demi lancaranya pemerintahan administrasi apa tidak disamakan saja” ujarnya.
Menanggapi itu, Anggota DPRD DIY Suharwanta mengingatkan agar Pemda DIY bersikap dan bertindak konsisten menjalankan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) No 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.
Dalam perdais itu dinyatakan tanah desa adalah tanah yang asal usulnya dari Kasultanan dan Kadipaten. Fakta menunjukkan di DIY ada tanah desa yang asal usulnya bukan dari Kasultanan dan Kadipaten. Tanah desa itu sejarah dan asal usulnya dari Kasunanan dan Mangkunegaran karena masuk wilayah enclave.
“Dari asal usulnya tanah enclaave ini merupakan tanah wilayah Kasunanan Surakarta hasil Perjanjian Klaten 27 September 1830 pasca-Perang Diponegoro,” terangnya Selasa (30/10/2018).
Mantan wakil ketua Pansus Raperdais Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten ini menyebut keberadaan tanah enclave ini diakui secara sah oleh negara. Penggabungannya ke wilayah DIY menggunakan UU No. 14 Tahun 1958.“Jadi keberadaan tanah enclave tidak bisa diabaikan dan seolah-olah tidak ada. Tidak benar. jika untuk alasan administrasi kemudian keberadaan tanah enclave diabaikan dan diklaim menjadi tanah Kasultanan,” ingatnya.
Jika dipaksakan diklaim menjadi tanah Kasultanan cacat hukum dan menjadi masalah di kemudian hari. Pemikiran semacam itu tidak sejalan dengan amanat Perdais No 1 Tahun 2017.
Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY Krido Suprayitno menjelaskan selama dua tahun ini, 2019-2020 akan fokus melakukan pematokan semua tanah desa, tanah SG dan PAG. “Tahun 2020 targetnya jadi provinsi lengkap. Tanah-tanah di DIY, tanah desa, tanah kasultanan dan kadipaten sudah disertifikat,” tegasnya.
Namun demikian, Pemda DIY mengalami kendala untuk pematokan tanah desa. Sebab, tidak semua tanah desa di DIY asal usulnya adalah tanah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Desa-desa tersebut dikenal dengan daerah enclave Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegara.
Enclave Kasunanan berada di Kabupaten Bantul dan Mangkunegaran memiliki wilayah yang sekarang masuk Kabupaten Gunungkidul. Wilayah enclave adalah daerah kantong yang wilayahnya dikelilingi wilayah negara lain. Enclave Kasunanan Surakarta yang dulunya dikenal dengan sebutan Imogiri dan Kotagede Surakarta.
Tersebar di 16 desa dan tiga kecamatan. Yakni Desa Jatimulyo, Terong, Dlingo, Temuwuh, Muntuk dan Desa Mangunan yang masuk Kecamatan Dlingo. Kemudian Desa Imogiri, Girirejo, Karangtalun, Karangtengah dan Desa Kebon Agung berada di Kecamatan Imogiri.
Kecamatan Pleret memiliki tiga desa enclave yakni Desa Bawuran, Wanalela dan Desa Segarayasa. Kemudian Kecamatan Banguntapan meliputi Desa Jagalan dan Desa Singosaren.
Selanjutnya, Enclave Mangkunegaran dulunya bernama Kapanewonan Ngawen-Semin. Ada tujuh desa yang menjadi wilayah Mangkunegaran yakni Desa Beji, Jurang Jero, Kampung, Sambirejo, Tancep dan Desa Watusigar. Semuanya masuk Kecamatan Ngawen. Satu desa lagi yaitu Desa Tegalrejo saat ini menjadi wilayah Kecamatan Nglipar.
“Khusus penyelesaian tanah desa di wilayah enclave akan dibahas oleh Tim 9. Saya usul nantinya Tim 9 ini beranggotakan orang-orang yang benar-benar paham. Bukan yang punya kepentingan,” ungkap Anggota Parampara Praja (penasihat gubernur DIY) Suyitno usai sosialisasi Peraturan Gubernur No 49 Tahun 2018 tentang Prosedur Permohonan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten di rumah dinas Bupati Bantul, Senin (29/10/2018).
Suyitno mengakui masalah pertanahan di DIY cukup pelik. Ada beberapa persoalan yang tidak cukup ditangani Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (DPTR) DIY. Peliknya persoalan bukan sekadar soal tanah desa yang dulunya milik Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.
Karena itu, mantan dosen hukum perdata UGM ini mengusulkan dibentuk Tim 9. Tim tersebut akan menyelesaikan semua masalah pertanahan yang memiliki tingkat kesulitan derajat 3. “Misalnya ada tanah kas desa yang sudah dijual, nanti tim ini yang akan menyelesaikan. Jadi tidak hanya soal enclave saja,” tegasnya.
Suyitno menilai tanah enclave saat ini sudah tidak banyak. Sebagian sudah menjadi milik masyarakat dan sebagian kecil masih dikuasai desa. “Yang jadi milik masyarakat tidak masalah. Yang jadi masalah yang milik desa,” tegasnya.
Dikatakan, perlu ada kebijakan menyelesaikan masalah ini. Secara pribadi Suyitno berpendapat, demi memudahkan sistem administrasi dirinya lebih sepakat tanah desa yang dulunya enclave Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran diatasnamakan tanah milik Kasultanan seperti tanah desa-desa lainnya.
“Memang pembagiannya oleh Belanda diselang-seling biar kacau. Kalau saya, (ini) saya tidak membela Kasultanan, tapi demi lancaranya pemerintahan administrasi apa tidak disamakan saja” ujarnya.
Menanggapi itu, Anggota DPRD DIY Suharwanta mengingatkan agar Pemda DIY bersikap dan bertindak konsisten menjalankan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) No 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.
Dalam perdais itu dinyatakan tanah desa adalah tanah yang asal usulnya dari Kasultanan dan Kadipaten. Fakta menunjukkan di DIY ada tanah desa yang asal usulnya bukan dari Kasultanan dan Kadipaten. Tanah desa itu sejarah dan asal usulnya dari Kasunanan dan Mangkunegaran karena masuk wilayah enclave.
“Dari asal usulnya tanah enclaave ini merupakan tanah wilayah Kasunanan Surakarta hasil Perjanjian Klaten 27 September 1830 pasca-Perang Diponegoro,” terangnya Selasa (30/10/2018).
Mantan wakil ketua Pansus Raperdais Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten ini menyebut keberadaan tanah enclave ini diakui secara sah oleh negara. Penggabungannya ke wilayah DIY menggunakan UU No. 14 Tahun 1958.“Jadi keberadaan tanah enclave tidak bisa diabaikan dan seolah-olah tidak ada. Tidak benar. jika untuk alasan administrasi kemudian keberadaan tanah enclave diabaikan dan diklaim menjadi tanah Kasultanan,” ingatnya.
Jika dipaksakan diklaim menjadi tanah Kasultanan cacat hukum dan menjadi masalah di kemudian hari. Pemikiran semacam itu tidak sejalan dengan amanat Perdais No 1 Tahun 2017.
Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY Krido Suprayitno menjelaskan selama dua tahun ini, 2019-2020 akan fokus melakukan pematokan semua tanah desa, tanah SG dan PAG. “Tahun 2020 targetnya jadi provinsi lengkap. Tanah-tanah di DIY, tanah desa, tanah kasultanan dan kadipaten sudah disertifikat,” tegasnya.
(rhs)