Kisah Ngawi, Sebelum Perang Diponegoro Jadi Pusat Perdagangan di Jawa

Rabu, 27 Desember 2023 - 09:07 WIB
loading...
Kisah Ngawi, Sebelum...
Ngawi pada masa kolonial Belanda pernah menjadi pusat perdagangan sekaligus tempat pengiriman barang-barang penting Kerajaan Mataram (Yogyakarta). Foto/Ist
A A A
NGAWI pada masa kolonial Belanda pernah menjadi pusat perdagangan sekaligus tempat pengiriman barang-barang penting Kerajaan Mataram (Yogyakarta).

Posisi vital Ngawi membuat kabupaten di Jawa Timur paling ujung barat, yakni berbatasan langsung dengan Sragen Jawa Tengah itu, menjadi jalur utama ekonomi.

Sebelum pecah Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), keberadaan Bengawan Solo dan Kali Madiun menjadikan Ngawi memiliki posisi yang sangat strategis.

Dari Ngawi, semua kebutuhan pokok yang berasal dari Madiun dan Solo (Surakarta) dikirimkan ke wilayah Gresik dan Surabaya Jawa Timur melalui Bengawan Solo.

“Bengawan Solo dan Kali Madiun merupakan sungai yang dapat dilayari hampir sepanjang tahun,” demikian dikutip dari buku Antara Lawu dan Wilis (2021).

Distribusi barang-barang kebutuhan pokok melalui Bengawan Solo dan Kali Madiun berlangsung rutin setiap tahun.



Pada bulan Desember atau Januari, yakni pada musim penghujan dan banjir, keraton Yogyakarta melepas angkutan sungai atau bernama perahu pangluput atau prau pangluput untuk berlayar ke muara (Gresik dan Surabaya).

Perahu yang berangkat dari Surakarta dengan kapasitas 200 ton itu berlayar menuju ke Ngawi. Jumlah keseluruhan ada 10 unit dengan muatan lada, beras, dan barang curah lain seperti kayu.

Untuk sampai tujuan, perjalanan perahu pangluput memakan waktu 8 hari. Pada saat kembali perahu membawa muatan garam, batu bara, dan dedak halus.

Karena lebih berat dan bahkan sering terpaksa ditunda, perjalanan kembali atau ke hulu memakan waktu lebih lama, yakni 4 bulan. Sementara pada musim kemarau transportasi diambil alih oleh gerobak kerbau dengan deringan keras bel lei-os (kerbau) di depan gerobak panjang. Gerobak-gerobak itu memiliki tempat perhentian di Ngawi.

“Di tempat yang tampak tidak begitu penting ini, orang-orang Tionghoa memiliki rumah dan gudang luas yang dibuat dari batu bata”.

Pada masa Perang Diponegoro (1825-1830), Ngawi dan Piak yang berada di bawah kawedanan Gladhak, Yogyakarta terjadi kerusuhan besar. Ngawi tidak lagi kondusif sebagai pusat perdagangan dan distribusi barang kebutuhan pokok.

Pada 17 September 1825 Raden Ayu Yudokusumo, yakni anak Sultan Hamengkubuwono I membawa pasukan melakukan penyerbuan di pos perdagangan Ngawi.

Pada saat yang sama seorang bernama Wirontani mengusir pengurus wilayah dan penegak hukum di Ngawi. Wirontani mengangkat diri sebagai tumenggung.

Catatan sejarawan Belanda Louw dan Klerck dalam Antara Lawu dan Wilis menyebut, kerusuhan yang terjadi di Ngawi pada 17 September 1825 berlangsung mengerikan.

Kerusuhan telah menelan banyak korban jiwa, yakni terutama orang-orang Tionghoa beserta anak dan istri mereka. Sedikitnya 14 dari 40 orang Tionghoa terbunuh dengan rumah-rumah yang ludes dibakar.
(shf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1487 seconds (0.1#10.140)