Cinta Inggit Garnasih Antarkan Indonesia ke Gerbang Kemerdekaan
loading...
A
A
A
BANDUNG - Sepuluh tahun terakhir, masyarakat seperti tersadarkan bahwa almarhumah Inggit Garnasih, istri kedua Bung Karno, cukup besar jasanya bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Setiap tahun menjelang dan saat hari kelahiran mendiang Inggit Garnasih, para pegiat seni di Kota Bandung selalu menampilkan pentas teater, tari, dan monolog Inggit.
Event seni yang digelar Kelompok Anak Rakyat (Lokra) ini biasanya digelar setiap Februari yang dinobatkan sebagai “Boelan Cinta Ibu Inggit Garnasih”. Sebab, Inggit lahir pada bulan itu.
Bahkan salah seorang koreografer seni tari, Gatot Gunawan menciptakan sebuah tarian khusus untuk Inggit Garnasih. “Inggit Garna Asih” nama tarian itu, mengisahkan tentang kehidupan Inggit saat menjadi istri Bung Karno.
Tarian berdurasi 1 jam yang dibawakan oleh tiga perempuan penari dandiiringi musik Tarawangsa ini, pertama kali dipentaskan di Gedung Landraad (sekarang Gedung Indonesia Mengguggat/GIM), Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung pada 28 Februari 2015.
Tarian "Garna Asih" dibawakan oleh tiga penari perempuan dengan iringan musik Tarawangsa. Foto/Sampoer Merah
Komunitas di Jawa Barat, terutama Kota Bandung, bertekad narasi tentang perjuangan Inggit Garnasih, termasuk dalam membesarkan nama Soekarno, tidak boleh hilang dari sejarah bangsa. Semangat, cinta, dan kesetiaan Inggit telah menyatu dalam visi dan ideologi perjuangan Soekarno.
Kesadaran masyarakat akan jasa-jasa Inggit mengantarkan Presiden pertama Republik Indonesia (RI) Soekarno mewujudkan cita-citanya, Indonesia merdeka, mulai terlihat sejak Pemkot Bandung mengabadikan Inggit Garnasih sebagai nama jalan pada 23 Desember 2010.
Jalan Inggit Garnasih yang menggantikan nama sebelumnya, Ciateul ini, membentang dari perempatan Jalan Pungkur-Lengkong Besar hingga bertemu dengan Jalan Astananyar. Di ujung Jalan Inggit Garnasih Nomor 8, Kota Bandung terdapat sebuah rumahtinggal Inggit semasa hidup, yang kini telah dibeli oleh pemerintah dari keluarga Inggit dan dijadikan tempat bersejarah.
Di depan rumah permanen berarsitektur khas zaman kolonial bercat putih tersebut, terdapat prasasti bertuliskan, “Rumah Bersejarah Inggit Garnasih”. Sedangkan di halaman depan, dipajang sebuah foto berukuran besar legendaris , Inggit Garnasih.
Rumah Bersejarah Inggit Garnasih, Jalan Ibu Inggit Garnasih Nomor 8, Kota Bandung. Foto/SINDOnews/Agus Warsudi
Hari Lahir Garnasih dan Nama Depan Inggit
Dikutip dari beberapa sumber, seperti Wikipedia, Sampoer Merah edisi ke-5 yang terbit pada 5 Februari 2017, dan disdik.jabarprov.go.id, Inggit Garnasih lahir di Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 17 Februari 1888.
Perempuan luar biasa ini lahir hanya dengan nama Garnasih, putri pasangan Ardjipan dan Amsi. Kata Inggit di depan namanya berasal dari jumlah uang, seringgit. Diceritakan bahwa Garnasih menjadi sosok yang dikasihi teman-temannya.
Tentu saat gadis, Garnasih tercantik di antara gadis Kamasan, Banjaran kala itu. Di antara para pemuda, beredar kata-kata, "Mendapatkan senyuman Garnasih ibarat mendapat uang seringgit." Banyak pemuda jatuh hati kepada Garnasih. Itulah awal mula sebutan Inggit yang menjadi nama depannya.
Pada usia sekitar 12 tahun, Inggit Garnasih menikah dengan Nata Admadja yang menjabat patih di kantor Residen Belanda. Namun, perkawinan itu tidak lama dan berakhir dengan perpisahan.
Kemudian, Inggit menikah lagi dari H Sanusi, seorang saudagar kaya. H Sanusi merupakan tokoh organisasi perjuangan Sarekat Islam (SI) Jawa Barat dan salah satu kepercayaan Haji Omar Said (HOS) Cokroaminoto.
Menikah dengan H Sanusi membuat Inggit mengenal dunia politik dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Saat digelar Kongres Sarekat Islam (1916), Inggit dipercaya memimpin dapur umum, mengatur, dan menerima undangan bagi seluruh perserta dari seluruh Tanah Air.
Namun bahtera rumah tangga Inggit dan H Sanusi berakhir pada 1923. Mereka bercerai dengan baik-baik.
Soekarno (kiri), Inggit Garnasih (duduk), dan H Sanusi (kanan) pada 1920. Foto/Arsip Keluarga H Sanusi/Sampoer Merah
Inggit Garnasih-Soekarno dan Perjuangan
Inggit Garnasih dan Soekarno menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit, Jalan Javaveem (sekarang Jalan Viaduct), Kota Bandung. Pernikahan Inggit-Soekarno dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923 berbahasa Sunda dan bermaterai 15 sen.
Besarnya penghargaan masyarakat kepada Inggit Garnasih tak lepas dari cinta, kesetiaan, dan pengorbanannya mendampingi Soekarno yang mendapat panggilan sayang Ngkus itu, mengarungi masa-masa sulit perjuangan selama 20 tahun.
Memang, Inggit tak memanggul senjata atau ikut pergerakan perempuan yang menelurkan ide-ide perjuangan. Cinta dan kesetian Inggit di masa-masa sulit, menjadi penguat tekad Soekarno mewujudkan Indonesia merdeka.
Betapa tidak, Inggit sempat membiayai kuliah Bung Karno saat menimba ilmu di Technische Hoge School, sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) dan aktivitas politiknya di Perserikatan Indonesia yang lalu berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Inggit juga menyokong semangat dan materi saat Soekarno dijebloskan ke Lapas Sukamiskin dan Banceuy, Bandung. Sumbangsih Inggit pun mengalir saat suaminya itu menyusun pembelaan atau pleidoi di Landraad Bandung.
Pleidoi yang dibacakan Soekarno dipersidangan dengan judul “Indonesia Menggoegat” pada 1930 menjadi tinta emas sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan melalui cara diplomasi dan intelektual.
Tak berhenti di situ, Inggit setia mendampingi saat Soekarno diasingkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1935 dan Bengkulu pada 1938. Saat di Bengkulu inilah awal mula keretakan rumah tangga Inggit dan Soekarno. Soekarno jatuh hati kepada Fatmawati dan berniat memperistrinya.
Seokarno dan Inggit Garnasih saat diasingkanke Bengkulu. Foto/Sampoer Merah
Meskipun resmi bercerai pada 1943 atau dua tahun sebelum Indonesia merdeka, Inggit tetap menyimpan perasaan cinta kepada Soekarno. Begitu juga Soekarno, masih menyimpan rasa cinta yang sama kepada Inggit. "Aku kembali ke Bandung dan kepada cintaku yang sesungguhnya," tulis Soekarno.
Hingga akhir hayatnya, Inggit tak pernah melepas cintanya kepada Bung Karno. Di usianya yang telah sangat senja 85 tahun, Inggit datang melayat saat Sang Proklamator wafat pada 21 Juni 1970. Air mata membasahi pipi Inggit.
Inggit Garnasih (tengah) dipeluk Soekarmini, kakak kandung Soekarno. Foto/Cindy Adams dalam buku SoekarnoMy Friend
Pertemuan Terakhir dengan Bung Karno
Atas jasa-jasanya mendampingi Sang Proklamator, Inggit mendapatkan anugerah tanda kehormatan dari pemerintah. Tanda kehormatan pertama yang diberikan pemerintah kepada Inggit Garnasih berupa Satyalencana Perintis Kemerdekaan pada 1961.
Inggit Garnasih bertemu dengan mantan suami yang sangat dicintainya tersebut di Istana Negara. Inilah pertemuan terakhir dengan Bung Karno saat Inggit Garnasih menerima tanda kehormatan itu.
Kemudian pada 11 Agustus 1997, setelah Inggit Garnasih wafat, pemerintah menganugerahkan Tanda Kehormatan “Bintang Mahaputera Utama” berdasarkan keputusan Presiden RI No. 073/TK/1997. Tanda kehormatan ini diserahkan pada 10 November 1997 di Istana Negara dan diterima ahli warisnya, Ratna Juami, anak angkat pasangan Inggit Garnasih dan Soekarno.
Pada 14 Februari 2015, gelar kehormatan “Ibu Agung” dianugerahkan oleh 8 komunitas di Jawa Barat pada rangkaian kegiatan Bulan Cinta Ibu Bangsa Inggit Garnasih. Gelar kehormatan ini diterima oleh Tito Zeni Asmara Hadi, putra almarhumah Ratna Juami.
Nama Inggit Garnasih telah beberapa kali diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Namun sampai saat ini, usulan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Inggit Garnasih tak kunjung dikabulkan pemerintah.
Setiap tahun menjelang dan saat hari kelahiran mendiang Inggit Garnasih, para pegiat seni di Kota Bandung selalu menampilkan pentas teater, tari, dan monolog Inggit.
Event seni yang digelar Kelompok Anak Rakyat (Lokra) ini biasanya digelar setiap Februari yang dinobatkan sebagai “Boelan Cinta Ibu Inggit Garnasih”. Sebab, Inggit lahir pada bulan itu.
Bahkan salah seorang koreografer seni tari, Gatot Gunawan menciptakan sebuah tarian khusus untuk Inggit Garnasih. “Inggit Garna Asih” nama tarian itu, mengisahkan tentang kehidupan Inggit saat menjadi istri Bung Karno.
Tarian berdurasi 1 jam yang dibawakan oleh tiga perempuan penari dandiiringi musik Tarawangsa ini, pertama kali dipentaskan di Gedung Landraad (sekarang Gedung Indonesia Mengguggat/GIM), Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung pada 28 Februari 2015.
Tarian "Garna Asih" dibawakan oleh tiga penari perempuan dengan iringan musik Tarawangsa. Foto/Sampoer Merah
Komunitas di Jawa Barat, terutama Kota Bandung, bertekad narasi tentang perjuangan Inggit Garnasih, termasuk dalam membesarkan nama Soekarno, tidak boleh hilang dari sejarah bangsa. Semangat, cinta, dan kesetiaan Inggit telah menyatu dalam visi dan ideologi perjuangan Soekarno.
Kesadaran masyarakat akan jasa-jasa Inggit mengantarkan Presiden pertama Republik Indonesia (RI) Soekarno mewujudkan cita-citanya, Indonesia merdeka, mulai terlihat sejak Pemkot Bandung mengabadikan Inggit Garnasih sebagai nama jalan pada 23 Desember 2010.
Jalan Inggit Garnasih yang menggantikan nama sebelumnya, Ciateul ini, membentang dari perempatan Jalan Pungkur-Lengkong Besar hingga bertemu dengan Jalan Astananyar. Di ujung Jalan Inggit Garnasih Nomor 8, Kota Bandung terdapat sebuah rumahtinggal Inggit semasa hidup, yang kini telah dibeli oleh pemerintah dari keluarga Inggit dan dijadikan tempat bersejarah.
Di depan rumah permanen berarsitektur khas zaman kolonial bercat putih tersebut, terdapat prasasti bertuliskan, “Rumah Bersejarah Inggit Garnasih”. Sedangkan di halaman depan, dipajang sebuah foto berukuran besar legendaris , Inggit Garnasih.
Rumah Bersejarah Inggit Garnasih, Jalan Ibu Inggit Garnasih Nomor 8, Kota Bandung. Foto/SINDOnews/Agus Warsudi
Hari Lahir Garnasih dan Nama Depan Inggit
Dikutip dari beberapa sumber, seperti Wikipedia, Sampoer Merah edisi ke-5 yang terbit pada 5 Februari 2017, dan disdik.jabarprov.go.id, Inggit Garnasih lahir di Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 17 Februari 1888.
Perempuan luar biasa ini lahir hanya dengan nama Garnasih, putri pasangan Ardjipan dan Amsi. Kata Inggit di depan namanya berasal dari jumlah uang, seringgit. Diceritakan bahwa Garnasih menjadi sosok yang dikasihi teman-temannya.
Tentu saat gadis, Garnasih tercantik di antara gadis Kamasan, Banjaran kala itu. Di antara para pemuda, beredar kata-kata, "Mendapatkan senyuman Garnasih ibarat mendapat uang seringgit." Banyak pemuda jatuh hati kepada Garnasih. Itulah awal mula sebutan Inggit yang menjadi nama depannya.
Pada usia sekitar 12 tahun, Inggit Garnasih menikah dengan Nata Admadja yang menjabat patih di kantor Residen Belanda. Namun, perkawinan itu tidak lama dan berakhir dengan perpisahan.
Kemudian, Inggit menikah lagi dari H Sanusi, seorang saudagar kaya. H Sanusi merupakan tokoh organisasi perjuangan Sarekat Islam (SI) Jawa Barat dan salah satu kepercayaan Haji Omar Said (HOS) Cokroaminoto.
Menikah dengan H Sanusi membuat Inggit mengenal dunia politik dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Saat digelar Kongres Sarekat Islam (1916), Inggit dipercaya memimpin dapur umum, mengatur, dan menerima undangan bagi seluruh perserta dari seluruh Tanah Air.
Namun bahtera rumah tangga Inggit dan H Sanusi berakhir pada 1923. Mereka bercerai dengan baik-baik.
Soekarno (kiri), Inggit Garnasih (duduk), dan H Sanusi (kanan) pada 1920. Foto/Arsip Keluarga H Sanusi/Sampoer Merah
Inggit Garnasih-Soekarno dan Perjuangan
Inggit Garnasih dan Soekarno menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit, Jalan Javaveem (sekarang Jalan Viaduct), Kota Bandung. Pernikahan Inggit-Soekarno dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923 berbahasa Sunda dan bermaterai 15 sen.
Besarnya penghargaan masyarakat kepada Inggit Garnasih tak lepas dari cinta, kesetiaan, dan pengorbanannya mendampingi Soekarno yang mendapat panggilan sayang Ngkus itu, mengarungi masa-masa sulit perjuangan selama 20 tahun.
Memang, Inggit tak memanggul senjata atau ikut pergerakan perempuan yang menelurkan ide-ide perjuangan. Cinta dan kesetian Inggit di masa-masa sulit, menjadi penguat tekad Soekarno mewujudkan Indonesia merdeka.
Betapa tidak, Inggit sempat membiayai kuliah Bung Karno saat menimba ilmu di Technische Hoge School, sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) dan aktivitas politiknya di Perserikatan Indonesia yang lalu berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Inggit juga menyokong semangat dan materi saat Soekarno dijebloskan ke Lapas Sukamiskin dan Banceuy, Bandung. Sumbangsih Inggit pun mengalir saat suaminya itu menyusun pembelaan atau pleidoi di Landraad Bandung.
Pleidoi yang dibacakan Soekarno dipersidangan dengan judul “Indonesia Menggoegat” pada 1930 menjadi tinta emas sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan melalui cara diplomasi dan intelektual.
Tak berhenti di situ, Inggit setia mendampingi saat Soekarno diasingkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1935 dan Bengkulu pada 1938. Saat di Bengkulu inilah awal mula keretakan rumah tangga Inggit dan Soekarno. Soekarno jatuh hati kepada Fatmawati dan berniat memperistrinya.
Seokarno dan Inggit Garnasih saat diasingkanke Bengkulu. Foto/Sampoer Merah
Meskipun resmi bercerai pada 1943 atau dua tahun sebelum Indonesia merdeka, Inggit tetap menyimpan perasaan cinta kepada Soekarno. Begitu juga Soekarno, masih menyimpan rasa cinta yang sama kepada Inggit. "Aku kembali ke Bandung dan kepada cintaku yang sesungguhnya," tulis Soekarno.
Hingga akhir hayatnya, Inggit tak pernah melepas cintanya kepada Bung Karno. Di usianya yang telah sangat senja 85 tahun, Inggit datang melayat saat Sang Proklamator wafat pada 21 Juni 1970. Air mata membasahi pipi Inggit.
Inggit Garnasih (tengah) dipeluk Soekarmini, kakak kandung Soekarno. Foto/Cindy Adams dalam buku SoekarnoMy Friend
Pertemuan Terakhir dengan Bung Karno
Atas jasa-jasanya mendampingi Sang Proklamator, Inggit mendapatkan anugerah tanda kehormatan dari pemerintah. Tanda kehormatan pertama yang diberikan pemerintah kepada Inggit Garnasih berupa Satyalencana Perintis Kemerdekaan pada 1961.
Inggit Garnasih bertemu dengan mantan suami yang sangat dicintainya tersebut di Istana Negara. Inilah pertemuan terakhir dengan Bung Karno saat Inggit Garnasih menerima tanda kehormatan itu.
Kemudian pada 11 Agustus 1997, setelah Inggit Garnasih wafat, pemerintah menganugerahkan Tanda Kehormatan “Bintang Mahaputera Utama” berdasarkan keputusan Presiden RI No. 073/TK/1997. Tanda kehormatan ini diserahkan pada 10 November 1997 di Istana Negara dan diterima ahli warisnya, Ratna Juami, anak angkat pasangan Inggit Garnasih dan Soekarno.
Pada 14 Februari 2015, gelar kehormatan “Ibu Agung” dianugerahkan oleh 8 komunitas di Jawa Barat pada rangkaian kegiatan Bulan Cinta Ibu Bangsa Inggit Garnasih. Gelar kehormatan ini diterima oleh Tito Zeni Asmara Hadi, putra almarhumah Ratna Juami.
Nama Inggit Garnasih telah beberapa kali diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Namun sampai saat ini, usulan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Inggit Garnasih tak kunjung dikabulkan pemerintah.
(awd)