Korona, Kyai, dan Immune Booster
loading...
A
A
A
Akh. Muzakki
Sekretaris PWNU Jawa Timur,
Guru Besar dan Dekan FISIP UINSA Surabaya
Mungkin Anda sering mendengar kalimat ini: “Jangan takut kepada korona; takutlah kepada Allah SWT!” Mungkin pula Anda pernah menyimak ungkapan seperti ini: “Tenanglah, tak perlu takut korona. Jangan gelisah. Pasrahlah kepada Allah.”
Kalimat-kalimat di atas banyak beredar di medsos dan berbagai pemberitaan saat ini. Ya, saat virus korona menyebar dengan cepatnya di negeri ini. Penularannya dahsyat. Dan, siapapun tercengang tanpa kuasa mengendalikannya.
Kalimat dan ungkapan di atas keluar dari lisan kyai. Dan, sejumlah kyai merasa harus menyebarkan nasehat-nasehat itu kepada publik dalam “bahasa” agama, tidak dengan bahasa selainnya yang membuat mereka melebihi kapasitasnya sebagai pemegang otoritas keagamaan.
Lalu pertanyaannya, bagaimana membaca nasehat para kyai seperti yang tercermin dalam untaian kalimat dan ungkapan di atas? Apakah para kyai itu kehilangan akal sehat? Apakah para kyai itu sudah kehilangan nalar dan logika yang waras?
Tentu, kemunculan pertanyaan-pertanyaan di atas terjadi di benak sejumlah warga masyarakat dengan menabrakkan untaian kalimat dan ungkapan para kyai di atas dengan fakta yang terjadi di lapangan. Yakni bahwa virus korona menyebar dengan cepatnya, mengenai siapa saja tanpa pandang bulu (jabatan, agama, ras, etnis dan kelompok sosial apapun), serta melumpuhkan hampir semua sektor kehidupan.
Dahsyatnya tingkat penyebaran dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan membuat virus korona lalu menjadi “musuh bersama” masyarakat. Namun, masyarakat sendiri juga tak tahu harus bagaimana melawan virus korona itu karena antivirusnya juga belum ditemukan, dan amunisi yang dibutuhkan pemerintah untuk memunculkan antivirusnya serta menurunkan daya sebarnya juga memakan biaya yang superbesar.
Lalu, situasi itu memberikan tekanan yang sungguh kuat nan besar kepada semua pihak. Maka, galau, resah, gelisah, dan takut yang menghantui hampir semua orang adalah konsekuensi logis dari lemahnya kuasa berbagai pihak dalam mencegah, menangani, dan sekaligus menyelesaikan dampak medis, sosial, dan ekonomi dari virus korona di atas.
Dalam situasi seperti itu, lalu sejumlah masyarakatpun tampak mempertanyakan nasehat para kyai di atas. Sebagian mereka mungkin selanjutnya mempermasalahkan ungkapan “Jangan takut kepada korona; takutlah kepada Allah SWT!” dan sejenisnya di atas. Bahkan, sebagian lainnya tampak cenderung mencibir para kyai karena nasehat keagamaannya tersebut dianggap menabrak prinsip kesehatan-medis.
Dalam hemat saya, membaca kalimat dan ungkapan para kyai yang dikeluarkan sebagai nasehat kepada warga masyarakat di atas tak seharusnya berhenti pada uraian verbatimnya. Kalimat dan ungkapan oleh sejumlah kyai di atas harus diletakkan dalam konteks serta sekaligus ranah kejiwaan dan spiritualitas publik.
Penjelasan sederhananya begini. Dalam menghadapi penyebaran dan penularan virus korona yang superdahsyat belakangan ini, mental publik tidak boleh jatuh. Semangat hidup individu masyarakat tidak boleh tersungkur. Psikis dan emosi mereka tidak boleh terhuyung ke titik terendah.
Pasalnya, kalau semua itu terjadi, daya kebal tubuh mereka akan menurun drastis. Ujungnya, sistem kekebalan tubuh (the immune system) mereka akan hancur. Akhirnya, virus korona pun akan leluasa masuk dan menggerogoti kesehatan mereka. Lalu, mereka pun tinggal menunggu waktu untuk menjadi korban selanjutnya virus yang belum ditemukan obatnya itu.
Jadi, yang sedang dimainkan oleh sejumlah kyai melalui ungkapan dan nasehat keagamaan di atas adalah menjaga dan sekaligus mengelola tekanan emosi jiwa (emotional stress) yang sedang dihadapi warga masyarakat. Hanya bedanya dengan dokter dan atau tenaga medis profesional, piranti dan bentuk aktivitas klinis yang dimainkan kyai berada dalam otoritas keagamaan dan bukan medis.
Tetapi sejatinya, kyai dan dokter bertemu pada satu titik konsentrasi, yakni sama-sama menjaga kesehatan individu warga masyarakat melalui penjagaan yang kuat atas hubungan antara jiwa dan raga. Sebab, dalam khazanah medis pun, hubungan antara jiwa dan raga, atau dalam bahasa keilmuan standarnya disebut mind dan body, juga menjadi kajian tersendiri, termasuk di antaranya dalam kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh manusia.
Pasalnya, sakit fisik dalam bentuk seperti sakit jantung dan perut diyakini pula dalam dunia medis memiliki kaitan erat dengan, dan menjadi dampak terukur dari, tekanan emosi jiwa. Dan apapun tantangan dan kondisinya, keilmuan medis pun juga mengkaji betul hubungan antara tekanan emosi jiwa dan fungsi kekebalan tubuh. Jika emosi jiwa tertekan secara kuat, maka fungsi kekebalan tubuh pun dipandang akan terganggu dan menurun.
Jadi, para kyai pun tampak ingin menjaga dan sekaligus meningkatkan sistem kekebalan tubuh (immunity booster) individu-individu warga masyarakat agar tetap stabil dan tidak bangkrut, sebagaimana juga dilakukan para dokter dan tenaga medis profesional. Hanya, caranya saja yang berbeda dengan kalangan profesional di bidang medis itu. Kyai menggunakan spiritualisme dalam mensugesti pengelolaan tekanan emosi jiwa, dokter menggunakan perspektif medis.
Lalu, pertanyaan ujungnya, apakah dengan nasehat keagamaan melalui kalimat-kalimat di atas para kyai telah melanggar prinsip edukasi yang produktif kepada masyarakat? Tentu jawabannya tidak. Justru dengan kalimat dan ungkapan nasehat di atas, kyai sedang mengajarkan kepada kita tentang asas profesionalisme. Kyai memberikan pelajaran untuk tidak keluar dari batas otoritasnya akademiknya di bidang keagamaan.
Lebih dari itu, dalam kasus virus korona, kyai sedang menjaga dan meningkatkan imun individu masyarakat melalui prinsip spiritualisme positif. Bentuknya adalah ajaran bahwa sabar adalah immune booster. Bahwa tawakkal adalah immune booster. Bahwa tidak stres adalah immune booster. Dan, bahwa tenang adalah immune booster. Tentu, jika kyai dan dokter bersinergi, maka cakupan immune booster akan bergerak semakin sempurna.
Sekretaris PWNU Jawa Timur,
Guru Besar dan Dekan FISIP UINSA Surabaya
Mungkin Anda sering mendengar kalimat ini: “Jangan takut kepada korona; takutlah kepada Allah SWT!” Mungkin pula Anda pernah menyimak ungkapan seperti ini: “Tenanglah, tak perlu takut korona. Jangan gelisah. Pasrahlah kepada Allah.”
Kalimat-kalimat di atas banyak beredar di medsos dan berbagai pemberitaan saat ini. Ya, saat virus korona menyebar dengan cepatnya di negeri ini. Penularannya dahsyat. Dan, siapapun tercengang tanpa kuasa mengendalikannya.
Kalimat dan ungkapan di atas keluar dari lisan kyai. Dan, sejumlah kyai merasa harus menyebarkan nasehat-nasehat itu kepada publik dalam “bahasa” agama, tidak dengan bahasa selainnya yang membuat mereka melebihi kapasitasnya sebagai pemegang otoritas keagamaan.
Lalu pertanyaannya, bagaimana membaca nasehat para kyai seperti yang tercermin dalam untaian kalimat dan ungkapan di atas? Apakah para kyai itu kehilangan akal sehat? Apakah para kyai itu sudah kehilangan nalar dan logika yang waras?
Tentu, kemunculan pertanyaan-pertanyaan di atas terjadi di benak sejumlah warga masyarakat dengan menabrakkan untaian kalimat dan ungkapan para kyai di atas dengan fakta yang terjadi di lapangan. Yakni bahwa virus korona menyebar dengan cepatnya, mengenai siapa saja tanpa pandang bulu (jabatan, agama, ras, etnis dan kelompok sosial apapun), serta melumpuhkan hampir semua sektor kehidupan.
Dahsyatnya tingkat penyebaran dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan membuat virus korona lalu menjadi “musuh bersama” masyarakat. Namun, masyarakat sendiri juga tak tahu harus bagaimana melawan virus korona itu karena antivirusnya juga belum ditemukan, dan amunisi yang dibutuhkan pemerintah untuk memunculkan antivirusnya serta menurunkan daya sebarnya juga memakan biaya yang superbesar.
Lalu, situasi itu memberikan tekanan yang sungguh kuat nan besar kepada semua pihak. Maka, galau, resah, gelisah, dan takut yang menghantui hampir semua orang adalah konsekuensi logis dari lemahnya kuasa berbagai pihak dalam mencegah, menangani, dan sekaligus menyelesaikan dampak medis, sosial, dan ekonomi dari virus korona di atas.
Dalam situasi seperti itu, lalu sejumlah masyarakatpun tampak mempertanyakan nasehat para kyai di atas. Sebagian mereka mungkin selanjutnya mempermasalahkan ungkapan “Jangan takut kepada korona; takutlah kepada Allah SWT!” dan sejenisnya di atas. Bahkan, sebagian lainnya tampak cenderung mencibir para kyai karena nasehat keagamaannya tersebut dianggap menabrak prinsip kesehatan-medis.
Dalam hemat saya, membaca kalimat dan ungkapan para kyai yang dikeluarkan sebagai nasehat kepada warga masyarakat di atas tak seharusnya berhenti pada uraian verbatimnya. Kalimat dan ungkapan oleh sejumlah kyai di atas harus diletakkan dalam konteks serta sekaligus ranah kejiwaan dan spiritualitas publik.
Penjelasan sederhananya begini. Dalam menghadapi penyebaran dan penularan virus korona yang superdahsyat belakangan ini, mental publik tidak boleh jatuh. Semangat hidup individu masyarakat tidak boleh tersungkur. Psikis dan emosi mereka tidak boleh terhuyung ke titik terendah.
Pasalnya, kalau semua itu terjadi, daya kebal tubuh mereka akan menurun drastis. Ujungnya, sistem kekebalan tubuh (the immune system) mereka akan hancur. Akhirnya, virus korona pun akan leluasa masuk dan menggerogoti kesehatan mereka. Lalu, mereka pun tinggal menunggu waktu untuk menjadi korban selanjutnya virus yang belum ditemukan obatnya itu.
Jadi, yang sedang dimainkan oleh sejumlah kyai melalui ungkapan dan nasehat keagamaan di atas adalah menjaga dan sekaligus mengelola tekanan emosi jiwa (emotional stress) yang sedang dihadapi warga masyarakat. Hanya bedanya dengan dokter dan atau tenaga medis profesional, piranti dan bentuk aktivitas klinis yang dimainkan kyai berada dalam otoritas keagamaan dan bukan medis.
Tetapi sejatinya, kyai dan dokter bertemu pada satu titik konsentrasi, yakni sama-sama menjaga kesehatan individu warga masyarakat melalui penjagaan yang kuat atas hubungan antara jiwa dan raga. Sebab, dalam khazanah medis pun, hubungan antara jiwa dan raga, atau dalam bahasa keilmuan standarnya disebut mind dan body, juga menjadi kajian tersendiri, termasuk di antaranya dalam kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh manusia.
Pasalnya, sakit fisik dalam bentuk seperti sakit jantung dan perut diyakini pula dalam dunia medis memiliki kaitan erat dengan, dan menjadi dampak terukur dari, tekanan emosi jiwa. Dan apapun tantangan dan kondisinya, keilmuan medis pun juga mengkaji betul hubungan antara tekanan emosi jiwa dan fungsi kekebalan tubuh. Jika emosi jiwa tertekan secara kuat, maka fungsi kekebalan tubuh pun dipandang akan terganggu dan menurun.
Jadi, para kyai pun tampak ingin menjaga dan sekaligus meningkatkan sistem kekebalan tubuh (immunity booster) individu-individu warga masyarakat agar tetap stabil dan tidak bangkrut, sebagaimana juga dilakukan para dokter dan tenaga medis profesional. Hanya, caranya saja yang berbeda dengan kalangan profesional di bidang medis itu. Kyai menggunakan spiritualisme dalam mensugesti pengelolaan tekanan emosi jiwa, dokter menggunakan perspektif medis.
Lalu, pertanyaan ujungnya, apakah dengan nasehat keagamaan melalui kalimat-kalimat di atas para kyai telah melanggar prinsip edukasi yang produktif kepada masyarakat? Tentu jawabannya tidak. Justru dengan kalimat dan ungkapan nasehat di atas, kyai sedang mengajarkan kepada kita tentang asas profesionalisme. Kyai memberikan pelajaran untuk tidak keluar dari batas otoritasnya akademiknya di bidang keagamaan.
Lebih dari itu, dalam kasus virus korona, kyai sedang menjaga dan meningkatkan imun individu masyarakat melalui prinsip spiritualisme positif. Bentuknya adalah ajaran bahwa sabar adalah immune booster. Bahwa tawakkal adalah immune booster. Bahwa tidak stres adalah immune booster. Dan, bahwa tenang adalah immune booster. Tentu, jika kyai dan dokter bersinergi, maka cakupan immune booster akan bergerak semakin sempurna.
(msd)