Kisah Shalawat KH. Raden Asnawi Menggetarkan Penjara Kolonial Belanda
loading...
A
A
A
Lantunan shalawat dikumandangkan KH. Raden Asnawi dari balik jeruji besi pemerintah kolonial Belanda, dengan penuh kekhusyukan. Mendengar lantunan shalawat, para penghuni penjara langsung mendekat dan mengikutinya.
Penjara yang awalnya beku, dan diselimuti ketakutan, berubah menjadi gemuruh dan gegap gembita oleh lantunan shalawat. Getaran dalam penjara kaum penjajah itu, selalu terjadi saat KH. Raden Asnawi melantunkan shalawat.
Ruangan penjara selalu dibanjiri rakyat, saat KH. Raden Asnawi melantunkan shalawat. Kondisi ini membuat para centeng penjara kolonial Belanda gentar. Tak hanya bershalawat, rakyat juga membanjiri penjara tempat KH. Raden Asnawi ditahan untuk belajar tentang Islam.
Kondisi tersebut, membuat para penjaga penjara akhirnya menyerah, dan membebaskan KH. Raden Asnawi dari penjara. Kisah karamah KH. Raden Asnawi tak hanya menggetarkan penjara. Dia juga sanggup membuat musuh-musuhnya lari ketakutan dari jarak jauh.
Pasukan penjajah yang hendak menangkap KH. Raden Asnawi untuk kali ketiga, akhirnya kabur lebih dulu. Mereka ketakutan, karena setiap kali menjebloskan KH. Raden Asnawi ke penjara, selalu berakhir dengan pembebasan.
Dilansir dari laman nu.or.id, Munawir Aziz dalam tulisannya yang berjudul "Raden Asnawi, Kiai Pejuang di Masa Kolonial", menyebutkan bahwa KH. Raden Asnawi merupakan kiai pejuang kemerdekaan. Sebagai pengkhotbah, dia juga terus menjadi penggerak yang menginspirasi santri dan rakyat untuk berjuang.
Dalam setiap khotbahnya, KH. Raden Asnawi juga terus membakar semangat para santri untuk melawan kolonialisme Belanda, hingga penjajah Jepang. Semangat para santri terus dipompa, untuk berani mengusir para penjajah dari bumi pertiwi.
Tak hanya di masa kolonial Belanda saja KH. Raden Asnawi harus berurusan dengan militer penjajah. Saat Jepang menduduki wilayah Indonesia, KH. Raden Asnawi juga tak luput dari incara tentara Jepang.
KH. Raden Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api oleh tentara Jepang. Akibatnya, rumah kiai digerebek pasukan Jepang. Tak sampai di situ, kiai juga digelandang ke markas tentara Jepang.
Dilansir dari laman laduni.id, KH. Raden Asnawi sempat ditahan semalaman di markas Kempetai yang ada di Pati. Anehnya, pada pagi harinya dia dipanggil oleh Komandan Dai Nippon, tetapi tidak dimintai keterangan terkait kepemilikan senjata api, melainkan ditanya tentang berapa istri, anak, serta cucunya, kemudian disuruh pulang ke Kudus.
KH. Raden Asnawi juga melakukan gerakan membaca Shalawat Nariyah, dan membaca Surat Al-Fill. Para pemuda, dan anggota laskar yang hendak berjuang ke garis depan menghadapi militer penjajah, sering kali datang kepadanya untuk meminta doa restu.
Dalam tulisan Munawir Aziz juga disebutkan, KH. Raden Asnawi memiliki kedekatan dengan H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan sejumlah tokoh pergerakan di masa itu. Selama berada di Makkah, dia bergabung dan menjadi penggerak Sarekat Islam (SI).
Lalu, saat kembali ke tanah air pada tahun 1916 dia mendirikan Madrasah Qudsiyyah yang ada di kawasan Menara Kudus. Saat sudah bermukim di Kudus, KH. Raden Asnawi juga tetap aktif sebagai penasihat SI pada 1918.
KH. Raden Asnawi lahir di Damaran, Kudus, pada tahun 1861. Dia terlahir dengan nama asli Raden Syamsi, dan merupakan putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan R Sarbinah. Dirunut dari silsilahnya, KH. Raden Aznawi, masih keturunan ke-14 dari Sunan Kudus, dan keturunan ke-5 Kiai Ahmad Mutamakkin.
Peneyamatan nama Aznawi, diperolehnya setelah menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah. Saat pertama kali menunaikan ibadah haji, dia juga pernah menggunakan nama Ilyas. Nama Ilyas tersebut, juga digunakannya saat belajar di tanah Hijaz.
Saat masih kecil, dan mengikuti kedua orang tuanya yang merupakan pedagang konveksi, KH. Raden Aznawi sempat ikut belajar mengaji di sebuah pesantren di Tulungagung. Kemudian melanjutkannya di Jepara, dengan berguru kepada KH. Irsyad Naib. Setelah itu, dia juga menimba ilmu di Makkah, selama 20 tahun.
Selama berada di Makkah, KH. Raden Aznawi tinggal di rumah Syekh Hamid Manan, lalu menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah, yang merupakan janda Syech Nawawi al-Bantani. Dari pernikahan tersebut, dia dikaruniai sembilan anak.
Saat berada di Makkah, KH. Raden Aznawi juga mengajar para santri, di antaranya KH. Bisri Syansuri, KH. Wahab Chasbullah, KH. Dahlan, KH. Saleh Tayu, KH. Chambali, KH. Mufid, dan KH. Ahmad Muchit.
Persahabatannya dengan KH. Hasyim Asy'arie,KH. Wahab Chasbullah, KH, Bisri Syansuri, serta sejumlah kiai lainnya di Pulau Jawa, menjadikannya sosok yang turut berkiprah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). KH. Raden Aznawi wafat pada 26 Desember 1959, pada usia 98 tahun.
Hingga kini ajarannya masih terus berkembang, salah satunya dikenal dengan Shalawat Asnawiyyah. Keteguhannya dalam perjuangan, dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan serta agama, hingga kini juga masih terus diteladani dan diamalkan.
Penjara yang awalnya beku, dan diselimuti ketakutan, berubah menjadi gemuruh dan gegap gembita oleh lantunan shalawat. Getaran dalam penjara kaum penjajah itu, selalu terjadi saat KH. Raden Asnawi melantunkan shalawat.
Ruangan penjara selalu dibanjiri rakyat, saat KH. Raden Asnawi melantunkan shalawat. Kondisi ini membuat para centeng penjara kolonial Belanda gentar. Tak hanya bershalawat, rakyat juga membanjiri penjara tempat KH. Raden Asnawi ditahan untuk belajar tentang Islam.
Kondisi tersebut, membuat para penjaga penjara akhirnya menyerah, dan membebaskan KH. Raden Asnawi dari penjara. Kisah karamah KH. Raden Asnawi tak hanya menggetarkan penjara. Dia juga sanggup membuat musuh-musuhnya lari ketakutan dari jarak jauh.
Pasukan penjajah yang hendak menangkap KH. Raden Asnawi untuk kali ketiga, akhirnya kabur lebih dulu. Mereka ketakutan, karena setiap kali menjebloskan KH. Raden Asnawi ke penjara, selalu berakhir dengan pembebasan.
Dilansir dari laman nu.or.id, Munawir Aziz dalam tulisannya yang berjudul "Raden Asnawi, Kiai Pejuang di Masa Kolonial", menyebutkan bahwa KH. Raden Asnawi merupakan kiai pejuang kemerdekaan. Sebagai pengkhotbah, dia juga terus menjadi penggerak yang menginspirasi santri dan rakyat untuk berjuang.
Dalam setiap khotbahnya, KH. Raden Asnawi juga terus membakar semangat para santri untuk melawan kolonialisme Belanda, hingga penjajah Jepang. Semangat para santri terus dipompa, untuk berani mengusir para penjajah dari bumi pertiwi.
Tak hanya di masa kolonial Belanda saja KH. Raden Asnawi harus berurusan dengan militer penjajah. Saat Jepang menduduki wilayah Indonesia, KH. Raden Asnawi juga tak luput dari incara tentara Jepang.
KH. Raden Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api oleh tentara Jepang. Akibatnya, rumah kiai digerebek pasukan Jepang. Tak sampai di situ, kiai juga digelandang ke markas tentara Jepang.
Dilansir dari laman laduni.id, KH. Raden Asnawi sempat ditahan semalaman di markas Kempetai yang ada di Pati. Anehnya, pada pagi harinya dia dipanggil oleh Komandan Dai Nippon, tetapi tidak dimintai keterangan terkait kepemilikan senjata api, melainkan ditanya tentang berapa istri, anak, serta cucunya, kemudian disuruh pulang ke Kudus.
KH. Raden Asnawi juga melakukan gerakan membaca Shalawat Nariyah, dan membaca Surat Al-Fill. Para pemuda, dan anggota laskar yang hendak berjuang ke garis depan menghadapi militer penjajah, sering kali datang kepadanya untuk meminta doa restu.
Dalam tulisan Munawir Aziz juga disebutkan, KH. Raden Asnawi memiliki kedekatan dengan H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan sejumlah tokoh pergerakan di masa itu. Selama berada di Makkah, dia bergabung dan menjadi penggerak Sarekat Islam (SI).
Lalu, saat kembali ke tanah air pada tahun 1916 dia mendirikan Madrasah Qudsiyyah yang ada di kawasan Menara Kudus. Saat sudah bermukim di Kudus, KH. Raden Asnawi juga tetap aktif sebagai penasihat SI pada 1918.
Baca Juga
KH. Raden Asnawi lahir di Damaran, Kudus, pada tahun 1861. Dia terlahir dengan nama asli Raden Syamsi, dan merupakan putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan R Sarbinah. Dirunut dari silsilahnya, KH. Raden Aznawi, masih keturunan ke-14 dari Sunan Kudus, dan keturunan ke-5 Kiai Ahmad Mutamakkin.
Peneyamatan nama Aznawi, diperolehnya setelah menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah. Saat pertama kali menunaikan ibadah haji, dia juga pernah menggunakan nama Ilyas. Nama Ilyas tersebut, juga digunakannya saat belajar di tanah Hijaz.
Saat masih kecil, dan mengikuti kedua orang tuanya yang merupakan pedagang konveksi, KH. Raden Aznawi sempat ikut belajar mengaji di sebuah pesantren di Tulungagung. Kemudian melanjutkannya di Jepara, dengan berguru kepada KH. Irsyad Naib. Setelah itu, dia juga menimba ilmu di Makkah, selama 20 tahun.
Selama berada di Makkah, KH. Raden Aznawi tinggal di rumah Syekh Hamid Manan, lalu menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah, yang merupakan janda Syech Nawawi al-Bantani. Dari pernikahan tersebut, dia dikaruniai sembilan anak.
Saat berada di Makkah, KH. Raden Aznawi juga mengajar para santri, di antaranya KH. Bisri Syansuri, KH. Wahab Chasbullah, KH. Dahlan, KH. Saleh Tayu, KH. Chambali, KH. Mufid, dan KH. Ahmad Muchit.
Persahabatannya dengan KH. Hasyim Asy'arie,KH. Wahab Chasbullah, KH, Bisri Syansuri, serta sejumlah kiai lainnya di Pulau Jawa, menjadikannya sosok yang turut berkiprah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). KH. Raden Aznawi wafat pada 26 Desember 1959, pada usia 98 tahun.
Hingga kini ajarannya masih terus berkembang, salah satunya dikenal dengan Shalawat Asnawiyyah. Keteguhannya dalam perjuangan, dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan serta agama, hingga kini juga masih terus diteladani dan diamalkan.
(eyt)