Terpikat Kecantikan Maduretno, Pangeran Diponegoro Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama
loading...
A
A
A
Pangeran Diponegoro menikahi perempuan cantik Raden Ayu Maduretno. Konon pernikahan ini tak sengaja dilakukan usai sang pangeran terus didesak menikah setelah bercerai dengan istri pertamanya.
Sang pangeran awalnya keberatan dan menolak, mau tidak mau akhirnya menuruti perintah ayahnya. Ia akhirnya dipanggil ke keraton dan diperintahkan melamar Ratu Bendoro, janda tanpa anak dari Sumodiningrat, komandan tentara Yogya yang tewas dibunuh itu.
Layaknya seorang anak yang berbakti, Pangeran kemudian berjalan ke Keputren. Namun langkahnya rupanya kemudian berujung pada perkawinannya yang kedua, yang tampaknya berguna dalam arti politik.
Namun yang belakangan terbukti sebagai perkawinan yang lagi-lagi tanpa cinta. Saat itu dikisahkan Peter Carey pada ‘Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 – 1855’, ketika Pangeran Diponegoro melewati pintu gerbang menuju tempat menyepi Panepen.
Dewi Cinta menembakkan panahnya. Ia melukiskan bagaimana ia menangkap sosok cantik putri Ratu Maduretno dalam bingkai gerbang keraton dan langsung merasakan daya tarik fisik yang luar biasa terhadapnya.
Perjumpaan yang tanpa sengaja ini, dan reaksi Pangeran terhadapnya, segera dilaporkan kepada Sultan oleh dua nyai keparak atau pelayan perempuan tua yang mendampingi Pangeran.
Begitu Ratu Bendoro mengonfirmasi bahwa ia tidak berminat untuk kawin lagi, suatu upacara pertunangan dengan cepat segera digelar antara Diponegoro dan Raden Ayu Maduretno, yang mengambil nama ibunya Maduretno.
Upacara perkawinan mengambil tempat di keraton. Sebuah pesta dan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk digelar pula di Tegalrejo pada hari berikutnya.
Pada babadnya Diponegoro, menyejajarkan perkawinannya dengan perkawinan Wisnu dan Dewi Sri, dengan Sang Ayah sebagai Batara Guru.
Pangeran Diponegoro salah satu reinkarnasi Arjuna, sehingga menarik garis paralel antara dirinya dengan pahlawan wayang Pandawa yang tampan-rupawan ketika menerima pisau belati Sarutomo saat bermeditasi di Parangkusumo dalam ziarahnya ke Pantai Selatan.
Di tingkat praktis, perkawinan Diponegoro memberinya seorang pendamping yang simpatik, yang bisa menjadi tempat dia mencurahkan rahasia dan beban hati dalam tahun-tahun yang tidak menentu itu.
Maduretno juga istri yang tetap setia mendampingi Pangeran di masa perang yang ngeri itu. Maduretno terus mendukungnya sampai kematian menjemputnya di sekitar 20 November 1827.
Konon dari semua istri-istri Pangeran, dialah satu-satunya yang disebut Pangeran dengan penuh kasih mesra di dalam babad.
Perkawinannya ini juga yang megesahkan hubungan keluarganya dengan keluarga Prawirodirjan yang menurunkan nenek-buyut pengasuhnya, Ratu Ageng, yang bersaudara kandung dengan kakek Raden Ronggo III.
Sang pangeran awalnya keberatan dan menolak, mau tidak mau akhirnya menuruti perintah ayahnya. Ia akhirnya dipanggil ke keraton dan diperintahkan melamar Ratu Bendoro, janda tanpa anak dari Sumodiningrat, komandan tentara Yogya yang tewas dibunuh itu.
Layaknya seorang anak yang berbakti, Pangeran kemudian berjalan ke Keputren. Namun langkahnya rupanya kemudian berujung pada perkawinannya yang kedua, yang tampaknya berguna dalam arti politik.
Namun yang belakangan terbukti sebagai perkawinan yang lagi-lagi tanpa cinta. Saat itu dikisahkan Peter Carey pada ‘Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 – 1855’, ketika Pangeran Diponegoro melewati pintu gerbang menuju tempat menyepi Panepen.
Dewi Cinta menembakkan panahnya. Ia melukiskan bagaimana ia menangkap sosok cantik putri Ratu Maduretno dalam bingkai gerbang keraton dan langsung merasakan daya tarik fisik yang luar biasa terhadapnya.
Perjumpaan yang tanpa sengaja ini, dan reaksi Pangeran terhadapnya, segera dilaporkan kepada Sultan oleh dua nyai keparak atau pelayan perempuan tua yang mendampingi Pangeran.
Begitu Ratu Bendoro mengonfirmasi bahwa ia tidak berminat untuk kawin lagi, suatu upacara pertunangan dengan cepat segera digelar antara Diponegoro dan Raden Ayu Maduretno, yang mengambil nama ibunya Maduretno.
Upacara perkawinan mengambil tempat di keraton. Sebuah pesta dan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk digelar pula di Tegalrejo pada hari berikutnya.
Pada babadnya Diponegoro, menyejajarkan perkawinannya dengan perkawinan Wisnu dan Dewi Sri, dengan Sang Ayah sebagai Batara Guru.
Pangeran Diponegoro salah satu reinkarnasi Arjuna, sehingga menarik garis paralel antara dirinya dengan pahlawan wayang Pandawa yang tampan-rupawan ketika menerima pisau belati Sarutomo saat bermeditasi di Parangkusumo dalam ziarahnya ke Pantai Selatan.
Di tingkat praktis, perkawinan Diponegoro memberinya seorang pendamping yang simpatik, yang bisa menjadi tempat dia mencurahkan rahasia dan beban hati dalam tahun-tahun yang tidak menentu itu.
Maduretno juga istri yang tetap setia mendampingi Pangeran di masa perang yang ngeri itu. Maduretno terus mendukungnya sampai kematian menjemputnya di sekitar 20 November 1827.
Konon dari semua istri-istri Pangeran, dialah satu-satunya yang disebut Pangeran dengan penuh kasih mesra di dalam babad.
Perkawinannya ini juga yang megesahkan hubungan keluarganya dengan keluarga Prawirodirjan yang menurunkan nenek-buyut pengasuhnya, Ratu Ageng, yang bersaudara kandung dengan kakek Raden Ronggo III.
(ams)