Kisah Pangeran Diponegoro dan Karomah Para Kiai Kharismatik
loading...
A
A
A
Pangeran Diponegoro kecil tumbuh dalam lingkungan yang sarat agama. Sejak kecil Pangeran Diponegoro kerap kali berbaur dengan kelompok santri .
Kelompok santri yang bernama Korps Suranatan, yang merupakan kelompok keagamaan bersenjata di Istana Yogyakarta , misalnya merupakan bagian dari kesatuan militer di Kadipaten (Putra Mahkota).
Dikisahkan dalam buku ‘Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855’ tulisan Peter Carey, di sana ada juga para warga kaum komunitas Islam yang kuat, juga menerima zakat dari istana yang terdaftar dalam catatan keraton, sebagai penghuni Kadipaten dan Tegalrejo, pada akhir 1790-an.
Nenek buyutnya, Ratu Ageng telah mendorong para tokoh agama di Yogyakarta, untuk mengunjungi dan mengambil tempat tinggal di Tegalrejo, tempat lingkungan Diponegoro tinggal.
Di antara mereka adalah penghulu Kiai Muhammad Bahwi, yang kemudian dikenal dalam Perang Jawa sebagai Muhammad Ngusman Ali Basah, yang sebelumnya mengabdi sebagai ketua forum ulama Masjid Suranatan, masjid pribadi sultan.
Tokoh lainnya yakni Haji Badarudin, komandan Korps Suranatan yang sudah dua kali naik haji ke Mekkah atas biaya Keraton Yogyakarta, dan memiliki pengetahuan tentang sistem pemerintahan Ottoman di kota-kota suci.
Pada masa mudanya, Diponegoro juga memiliki hubungan dengan para petinggi agama keraton, dia hampir dapat dipastikan juga memiliki hubungan dengan banyak guru independen ternama di wilayah Yogyakarta.
Bahkan konon tanah pertanian keluarga Diponegoro, berdekatan dengan empat pusat ahli hukum Islam, yang dikenal sebagai pathok negari pilar negeri, yakni Kasongan, antara Selarong dan Tegalrejo, Dongkelan, yang berada persis di selatan Yogyakarta, arah ke Bantul. Selanjutnya, Papringan, antara Yogyakarta dan Prambanan, dan Melangi, yang berada persis di sebelah barat laut Tegalrejo.
Kelompok santri yang bernama Korps Suranatan, yang merupakan kelompok keagamaan bersenjata di Istana Yogyakarta , misalnya merupakan bagian dari kesatuan militer di Kadipaten (Putra Mahkota).
Dikisahkan dalam buku ‘Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855’ tulisan Peter Carey, di sana ada juga para warga kaum komunitas Islam yang kuat, juga menerima zakat dari istana yang terdaftar dalam catatan keraton, sebagai penghuni Kadipaten dan Tegalrejo, pada akhir 1790-an.
Nenek buyutnya, Ratu Ageng telah mendorong para tokoh agama di Yogyakarta, untuk mengunjungi dan mengambil tempat tinggal di Tegalrejo, tempat lingkungan Diponegoro tinggal.
Di antara mereka adalah penghulu Kiai Muhammad Bahwi, yang kemudian dikenal dalam Perang Jawa sebagai Muhammad Ngusman Ali Basah, yang sebelumnya mengabdi sebagai ketua forum ulama Masjid Suranatan, masjid pribadi sultan.
Tokoh lainnya yakni Haji Badarudin, komandan Korps Suranatan yang sudah dua kali naik haji ke Mekkah atas biaya Keraton Yogyakarta, dan memiliki pengetahuan tentang sistem pemerintahan Ottoman di kota-kota suci.
Pada masa mudanya, Diponegoro juga memiliki hubungan dengan para petinggi agama keraton, dia hampir dapat dipastikan juga memiliki hubungan dengan banyak guru independen ternama di wilayah Yogyakarta.
Bahkan konon tanah pertanian keluarga Diponegoro, berdekatan dengan empat pusat ahli hukum Islam, yang dikenal sebagai pathok negari pilar negeri, yakni Kasongan, antara Selarong dan Tegalrejo, Dongkelan, yang berada persis di selatan Yogyakarta, arah ke Bantul. Selanjutnya, Papringan, antara Yogyakarta dan Prambanan, dan Melangi, yang berada persis di sebelah barat laut Tegalrejo.