Soe Hok Gie dan Pembantaian Massal PKI 1965-1966
A
A
A
SOE HOK GIE merupakan sosok yang penuh kontradiksi. Dia gencar mengkritik Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi menjadi orang pertama yang memprotes keras terjadinya pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI tahun 1965-1966.
Tidak hanya itu, Soe Hok Gie juga turun ke lapangan dan mengumpulkan data-data mengenai hal tersebut yang kemudian ditulis menjadi dua serial artikel dengan nama samaran Dewa. Tulisannya sangat tajam, dan kaya akan detail di lapangan.
Artikel Gie tentang pembantaian massal itu pertama kali diturunkan oleh Mahasiswa Indonesia Jawa Barat, pada Minggu II Desember dan Minggu III Desember 1967, dengan judul "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali."
Dalam laporannya, Gie menyatakan, tulisannya itu bukan untuk membela PKI atau membenarkan cara-cara yang PKI lakukan saat menghancurkan lawan-lawan politiknya. Pembelaan Gie ditujukan kepada penegakan hukum, keadilan, dan kemanusiaan.
Menurut pengamatan Soe Hok Gie, Bali sebelum 1965-1966, bukan daerah yang strategis. Kepulauan ini tidak punya kepentingan politik, ekonomi, dan militer yang menentukan perebutan kekuasaan. Tetapi tidak demikian menurut Presiden Soekarno.
Bagi Soekarno, Bali merupakan ibu kota Republik Indonesia (RI) kedua setelah Jakarta. Di Bali, Soekarno suka menghabiskan banyak waktu di Tampak Siring. Selain itu, Bali juga memiliki makna sentimentil, karena ibunda Soekarno orang Bali.
Pendukung Soekarno di Bali cukup besar. Gubernur Bali Suteja yang merangkap jabatan Kepala Pepelrada adalah anak didik Soekarno. Di kalangan militer, Soekarno juga memiliki banyak pengikut dan orang-orang setia, serta loyal kepadanya.
Proses Nasakomisasi di Bali berjalan cukup lancar. Hampir setiap badan dan perwakilan pemerintah berhasil di Nasakom-kan. Hingga sebelum kudeta militer 1 Oktober 1965, situasi di Bali berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki Soekarno.
Situasi itu tidak berubah sebulan setelah kudeta. Keadaan mulai memanas setelah kabar mengenai adanya pembantaian massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur sampai ke Bali. Pembantaian dimulai dengan provokasi anggoat PNI Dewa Made Wedagama.
Dalam propagandanya, dia mengatakan, Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan hukum tidak akan menindak mereka yang melakukannya. Warga juga dihasut untuk melakukan penjarahan-penjarahan terhadap semua harta benda milik PKI.
Dengan propaganda tersebut, orang-orang PNI yang awalnya mendukung Nasakom mulai berbalik arah mengecam PKI. Saat itu, Soekarno masih menjadi Presiden. Namun, dia sudah tidak punya kekuatan. Semua telah dikendalikan Jenderal Soeharto.
Dengan melakukan serangkaian pembantaian massal, kelompok Nasakom (dari unsur Nasionalis) di Bali ingin menunjukkan kepada dunia luar, terutama mereka yang berada di Jakarta, bahwa mereka yang di Bali benar-benar anti-PKI dan pro-Pancasila.
Sejak itu, pasukan-pasukan pertikelir yang terkenal dengan seragam hitamnya, dengan persenjataan pedang, pisau, pentungan, dan senjata api, mulai melakukan pembakaran-pembakaran rumah PKI sebagai warming up untuk tujuan yang lebih bengis.
Selama tiga bulan, Bali yang indah menjadi neraka penyembelihan-penyembelihan. Menurut perkiraan yang paling konservatif, pembunuhan-pembunuhan itu telah menelan korban jiwa 80 ribu, terdiri dari orang tua, muda, laki, dan perempuan.
Rumah-rumah yang dibakar dan harta benda yang dijarah masih belum dihitung jumlahnya. Begitupun dengan kasus pemerkosaan-pemerkosaan terhadap mereka yang dituduh Gerwani. Ironisnya, perbuatan terkutuk itu dicontohi pemuka partai setempat.
Contoh paling monumental adalah yang dilakukan tokoh PNI di Negara Widagda. Pria ini adalah adik dari Wedastra Suyasa, seorang tokoh PNI Bali yang menjadi anggoat DPR GR pusat. Belasan wanita yang dituduh Gerwani telah dijinahinya.
Tiga orang korban pemerkosaan Widagda kemudian melaporkan apa yang dialaminya ke meja hijau. Widagda lalu diseret ke muka sidang, dan dijatuhi vonis penjara tiga tahun oleh Pengadilan Negeri di Negara. Hukuman yang sangat tidak setimpal.
Pembantaian massal di Bali jelas meninggalkan luka mendalam dan kesedihan. Berapa banyak janda yang ditinggal mati para suami mereka dan anak-anak yang jadi yatim, maupun yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya dalam jagal-jagal itu.
Dalam keseimpulannya, Soe Hok Gie menyatakan, pemerintah dan pejabat terkait telah membiarkan pembantaian-pembantaian di Bali terjadi berlarut-larut hingga menimbulkan korban jiwa yang sangat banyak dari kalangan rakyat tidak berdosa.
Para pejabat-pejabat setempat tidak melakukan apa-apa dalam peristiwa itu. Bahkan dalam banyak kasus, justru merekalah yang memulai dan memberi contoh kepada rakyat untuk melakukan penyembelihan-penyembelihan sangat keji tersebut.
Selain di Bali, Soe Hok Gie juga menyorot kasus pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi, Jawa Tengah. Dia bahkan terjun langsung ke lapangan dan melihat sendiri bagaimana amuk massa berlangsung sangat mengerikan saat itu.
Untuk mencegah lebih banyak korban, Soe Hok Gie banyak melakukan tindakan advokasi untuk penghentian tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan tersebut. Dia juga banyak melakukan kontak dengan para pejabat militer di daerah dan pusat.
Simpati Soe Hok Gie tidak hanya kepada para korban pembantaian massal, tetapi juga terhadap para tahanan 1965 dan stigma yang dilekatkan kepada mereka. Berbagai peristiwa ini rupanya membuat Soe Hok Gie merasa sangat dihantui.
"Tentang nasib tahanan 65, saya juga sedang dihantui oleh problem lain. Yaitu sejumlah akibat dari pembunuhan massal di Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta Bali terdahulu. Jumlah yang dibunuh atas nama Pancasila kira-kira 300 ribu," katanya.
Sedangkan mereka yang menjadi korban dari peristiwa itu, menurut perkiraannya mencapai angka satu juta orang. Jumlah itu termasuk anak-anak yang tidak tahu apa-apa, tetapi dimusuhi oleh masyarakat, dan akan menjadi pembenci masyarakat.
Terlebih setelah Gie membaca surat pembaca Kompas pada 24 April 1969 tentang perlunya surat G30S atau Surat Tanda Bukti Tidak Terlibat Gestapu untuk anak-anak SD Kelas V dan VI. Perlu diketahui, untuk membuat surat itu tidak gratis.
Menurut Gie, para siswa SD itu tidak tahu apa-apa tentang G30S dan komunisme. Bahkan dari 22 juta PKI yang klaim sebagai anggota, hanya beberapa ribu saja yang mengerti Marxisme-Leninisme. Sedangkan sisanya banyak yang ikut-ikutan saja.
Dengan tegas Soe Hok Gie mengatakan, mereka yang benar-benar terlibat G30S harus ditindak tegas. Tetapi kepada mereka yang hanya ikut-ikutan PKI harus dikembalikan kepada masyarakat, tanpa memakai surat bebas G30S yang memberi stigma buruk.
Selain memperlihatkan keprihatinannya yang besar terhadap anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban penangkapan, penyiksaan, dan pembantaian massal, Soe Hok Gie juga banyak mengkritisi pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto.
Sikap kritis Gie terhadap pemerintah Orde Baru yang ikut dibidaninya juga bagian dari bentuk kontradiksi pria kelahiran 17 Desember 1942 ini. Menurutnya, Orde Baru telah bertindak di luar batas dengan berusaha mengontrol pemikiran masyarakat.
Sejak 1 Oktober 1965 hingga 6 Desember 1965, semua dokumentasi buku telah musnah dibakar. Termasuk 5.000 judul buku dan beberapa ton koleksi surat kabar Pramoedya Ananta Toer yang dia kumpulkan atas jerih payah sendiri selama 15 tahun.
Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang Soe Hok Gie dan Pembantaian Massal 1965-1966 diakhiri, semoga memberikan manfaat.
Sumber Tulisan:
* Robert Cribb, The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Mata Bangsa, Cetakan Kedua, Oktober 2003.
* Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, Cetakan Kedelapan, Juni 2005.
* Rudy Badil, Luki Suitrisno Bekti, Nessy Luntungan R, Soe Hok Gie Sekali Lagi, Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, KPG, Cetakan Kedua, Januari 2010.
Tidak hanya itu, Soe Hok Gie juga turun ke lapangan dan mengumpulkan data-data mengenai hal tersebut yang kemudian ditulis menjadi dua serial artikel dengan nama samaran Dewa. Tulisannya sangat tajam, dan kaya akan detail di lapangan.
Artikel Gie tentang pembantaian massal itu pertama kali diturunkan oleh Mahasiswa Indonesia Jawa Barat, pada Minggu II Desember dan Minggu III Desember 1967, dengan judul "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali."
Dalam laporannya, Gie menyatakan, tulisannya itu bukan untuk membela PKI atau membenarkan cara-cara yang PKI lakukan saat menghancurkan lawan-lawan politiknya. Pembelaan Gie ditujukan kepada penegakan hukum, keadilan, dan kemanusiaan.
Menurut pengamatan Soe Hok Gie, Bali sebelum 1965-1966, bukan daerah yang strategis. Kepulauan ini tidak punya kepentingan politik, ekonomi, dan militer yang menentukan perebutan kekuasaan. Tetapi tidak demikian menurut Presiden Soekarno.
Bagi Soekarno, Bali merupakan ibu kota Republik Indonesia (RI) kedua setelah Jakarta. Di Bali, Soekarno suka menghabiskan banyak waktu di Tampak Siring. Selain itu, Bali juga memiliki makna sentimentil, karena ibunda Soekarno orang Bali.
Pendukung Soekarno di Bali cukup besar. Gubernur Bali Suteja yang merangkap jabatan Kepala Pepelrada adalah anak didik Soekarno. Di kalangan militer, Soekarno juga memiliki banyak pengikut dan orang-orang setia, serta loyal kepadanya.
Proses Nasakomisasi di Bali berjalan cukup lancar. Hampir setiap badan dan perwakilan pemerintah berhasil di Nasakom-kan. Hingga sebelum kudeta militer 1 Oktober 1965, situasi di Bali berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki Soekarno.
Situasi itu tidak berubah sebulan setelah kudeta. Keadaan mulai memanas setelah kabar mengenai adanya pembantaian massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur sampai ke Bali. Pembantaian dimulai dengan provokasi anggoat PNI Dewa Made Wedagama.
Dalam propagandanya, dia mengatakan, Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan hukum tidak akan menindak mereka yang melakukannya. Warga juga dihasut untuk melakukan penjarahan-penjarahan terhadap semua harta benda milik PKI.
Dengan propaganda tersebut, orang-orang PNI yang awalnya mendukung Nasakom mulai berbalik arah mengecam PKI. Saat itu, Soekarno masih menjadi Presiden. Namun, dia sudah tidak punya kekuatan. Semua telah dikendalikan Jenderal Soeharto.
Dengan melakukan serangkaian pembantaian massal, kelompok Nasakom (dari unsur Nasionalis) di Bali ingin menunjukkan kepada dunia luar, terutama mereka yang berada di Jakarta, bahwa mereka yang di Bali benar-benar anti-PKI dan pro-Pancasila.
Sejak itu, pasukan-pasukan pertikelir yang terkenal dengan seragam hitamnya, dengan persenjataan pedang, pisau, pentungan, dan senjata api, mulai melakukan pembakaran-pembakaran rumah PKI sebagai warming up untuk tujuan yang lebih bengis.
Selama tiga bulan, Bali yang indah menjadi neraka penyembelihan-penyembelihan. Menurut perkiraan yang paling konservatif, pembunuhan-pembunuhan itu telah menelan korban jiwa 80 ribu, terdiri dari orang tua, muda, laki, dan perempuan.
Rumah-rumah yang dibakar dan harta benda yang dijarah masih belum dihitung jumlahnya. Begitupun dengan kasus pemerkosaan-pemerkosaan terhadap mereka yang dituduh Gerwani. Ironisnya, perbuatan terkutuk itu dicontohi pemuka partai setempat.
Contoh paling monumental adalah yang dilakukan tokoh PNI di Negara Widagda. Pria ini adalah adik dari Wedastra Suyasa, seorang tokoh PNI Bali yang menjadi anggoat DPR GR pusat. Belasan wanita yang dituduh Gerwani telah dijinahinya.
Tiga orang korban pemerkosaan Widagda kemudian melaporkan apa yang dialaminya ke meja hijau. Widagda lalu diseret ke muka sidang, dan dijatuhi vonis penjara tiga tahun oleh Pengadilan Negeri di Negara. Hukuman yang sangat tidak setimpal.
Pembantaian massal di Bali jelas meninggalkan luka mendalam dan kesedihan. Berapa banyak janda yang ditinggal mati para suami mereka dan anak-anak yang jadi yatim, maupun yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya dalam jagal-jagal itu.
Dalam keseimpulannya, Soe Hok Gie menyatakan, pemerintah dan pejabat terkait telah membiarkan pembantaian-pembantaian di Bali terjadi berlarut-larut hingga menimbulkan korban jiwa yang sangat banyak dari kalangan rakyat tidak berdosa.
Para pejabat-pejabat setempat tidak melakukan apa-apa dalam peristiwa itu. Bahkan dalam banyak kasus, justru merekalah yang memulai dan memberi contoh kepada rakyat untuk melakukan penyembelihan-penyembelihan sangat keji tersebut.
Selain di Bali, Soe Hok Gie juga menyorot kasus pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi, Jawa Tengah. Dia bahkan terjun langsung ke lapangan dan melihat sendiri bagaimana amuk massa berlangsung sangat mengerikan saat itu.
Untuk mencegah lebih banyak korban, Soe Hok Gie banyak melakukan tindakan advokasi untuk penghentian tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan tersebut. Dia juga banyak melakukan kontak dengan para pejabat militer di daerah dan pusat.
Simpati Soe Hok Gie tidak hanya kepada para korban pembantaian massal, tetapi juga terhadap para tahanan 1965 dan stigma yang dilekatkan kepada mereka. Berbagai peristiwa ini rupanya membuat Soe Hok Gie merasa sangat dihantui.
"Tentang nasib tahanan 65, saya juga sedang dihantui oleh problem lain. Yaitu sejumlah akibat dari pembunuhan massal di Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta Bali terdahulu. Jumlah yang dibunuh atas nama Pancasila kira-kira 300 ribu," katanya.
Sedangkan mereka yang menjadi korban dari peristiwa itu, menurut perkiraannya mencapai angka satu juta orang. Jumlah itu termasuk anak-anak yang tidak tahu apa-apa, tetapi dimusuhi oleh masyarakat, dan akan menjadi pembenci masyarakat.
Terlebih setelah Gie membaca surat pembaca Kompas pada 24 April 1969 tentang perlunya surat G30S atau Surat Tanda Bukti Tidak Terlibat Gestapu untuk anak-anak SD Kelas V dan VI. Perlu diketahui, untuk membuat surat itu tidak gratis.
Menurut Gie, para siswa SD itu tidak tahu apa-apa tentang G30S dan komunisme. Bahkan dari 22 juta PKI yang klaim sebagai anggota, hanya beberapa ribu saja yang mengerti Marxisme-Leninisme. Sedangkan sisanya banyak yang ikut-ikutan saja.
Dengan tegas Soe Hok Gie mengatakan, mereka yang benar-benar terlibat G30S harus ditindak tegas. Tetapi kepada mereka yang hanya ikut-ikutan PKI harus dikembalikan kepada masyarakat, tanpa memakai surat bebas G30S yang memberi stigma buruk.
Selain memperlihatkan keprihatinannya yang besar terhadap anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban penangkapan, penyiksaan, dan pembantaian massal, Soe Hok Gie juga banyak mengkritisi pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto.
Sikap kritis Gie terhadap pemerintah Orde Baru yang ikut dibidaninya juga bagian dari bentuk kontradiksi pria kelahiran 17 Desember 1942 ini. Menurutnya, Orde Baru telah bertindak di luar batas dengan berusaha mengontrol pemikiran masyarakat.
Sejak 1 Oktober 1965 hingga 6 Desember 1965, semua dokumentasi buku telah musnah dibakar. Termasuk 5.000 judul buku dan beberapa ton koleksi surat kabar Pramoedya Ananta Toer yang dia kumpulkan atas jerih payah sendiri selama 15 tahun.
Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang Soe Hok Gie dan Pembantaian Massal 1965-1966 diakhiri, semoga memberikan manfaat.
Sumber Tulisan:
* Robert Cribb, The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Mata Bangsa, Cetakan Kedua, Oktober 2003.
* Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, Cetakan Kedelapan, Juni 2005.
* Rudy Badil, Luki Suitrisno Bekti, Nessy Luntungan R, Soe Hok Gie Sekali Lagi, Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, KPG, Cetakan Kedua, Januari 2010.
(san)