Kisah Kerajaan Mataram dan Banten Saling Berkirim Hadiah Usai Peperangan Sengit
loading...
A
A
A
KERAJAAN Mataram dan Banten akhirnya memulai perundingan damai usai peperangan. Perundingan damai ini diawali dengan pengiriman hadiah dari Sultan Amangkurat I yang berkuasa di Kerajaan Mataram kepada Kerajaan Banten.
Konon hadiah itu dikirim bukan dinamakan dari Sultan Amangkurat I sendiri. Melainkan atas nama sang putra mahkota. Langkah itu untuk menjadi rukun kembali dengan Kesultanan Banten.
Tetapi Sultan Amangkurat I sekali lagi memiliki taktik agar tidak direndahkan dan ia tak mau gegabah menjual, harga dirinya.
HJ De Graaf dalam "Disintegrasi Mataram : Dibawah Mangkurat I" menyebut bagaimana hadiah itu sengaja dikirim bukan atas nama Sultan Amangkurat I.
Tetapi hadiah dikirim atas nama putranya. Sehingga kalau ditolak tidak akan merupakan penghinaan besar. Lagi pula, tindakan itu tidak hanya dilakukan terhadap orang Banten, tetapi juga terhadap kompeni.
Justru kompeni Belanda yang pertama-tama menerima hadiah dari Mataram.
Dua ekor kuda disertai sepucuk surat kepada Pemerintah Belanda konon dihadiahkan atas nama putra mahkota. Pemberian hadiah itu dibalas dengan perbuatan yang sama untuk menyenangkan hati ayahnya.
Dua bulan kemudian di Banten tiba dengan tiga perahu sebuah utusan dari Mataram yang diberitakan dikirim oleh putra mahkota. Di informasi itu pula dikatakan hadiah itu dikirim oleh ayah putra mahkota, sebagaimana catatan utusan Belanda bernama Daghregister, pada 12 Oktober 1659.
Tujuh ekor kuda disertai sepucuk surat yang disampaikan ketika itu. Surat itu memuat sebuah gugatan ke Banten, beberapa perahu Mataram selama perang disita orang-orang Kiai Aria, awaknya ditangkap dan dijual. Residen Belanda pun menerima seekor kuda.
Gugatan Mataram dibalas dengan gugatan pula pada waktu yang bersamaan orang Demak telah menyita beberapa perahu Kiai Aria. Demikianlah mereka berhadap-hadapan tanpa mau mundur selangkah pun.
Konon untuk membalas hadiah dari Mataram itu, Sultan Banten mengirimkan beberapa "gom" (gong) ke Mataram, tetapi keberangkatannya ke Pontang untuk dikirimkan ke Mataram tidak diiringi sikap yang ramah. Hal itulah yang membuat sementara waktu utusan-utusan Mataram harus menunggu jawaban.
Baru pada pertengahan bulan November tahun 1659 para utusan boleh berpamitan dengan sehelai surat jalan untuk pulang kembali melalui Batavia ke Mataram. Disetujui bahwa Kiai Aria akan membayar 500 rial, dan orang-orang yang bersangkutan lainnya juga akan membayar jumlah yang sama.
Setelah itu tidak banyak lagi kelihatan timbulnya pertikaian besar antara Banten dan Mataram. Sebaliknya, De Graaf menemukan usaha sampai dua kali percobaan dari putra mahkota Mataram untuk lebih mendekati negara tetangga.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
Konon hadiah itu dikirim bukan dinamakan dari Sultan Amangkurat I sendiri. Melainkan atas nama sang putra mahkota. Langkah itu untuk menjadi rukun kembali dengan Kesultanan Banten.
Tetapi Sultan Amangkurat I sekali lagi memiliki taktik agar tidak direndahkan dan ia tak mau gegabah menjual, harga dirinya.
HJ De Graaf dalam "Disintegrasi Mataram : Dibawah Mangkurat I" menyebut bagaimana hadiah itu sengaja dikirim bukan atas nama Sultan Amangkurat I.
Tetapi hadiah dikirim atas nama putranya. Sehingga kalau ditolak tidak akan merupakan penghinaan besar. Lagi pula, tindakan itu tidak hanya dilakukan terhadap orang Banten, tetapi juga terhadap kompeni.
Justru kompeni Belanda yang pertama-tama menerima hadiah dari Mataram.
Dua ekor kuda disertai sepucuk surat kepada Pemerintah Belanda konon dihadiahkan atas nama putra mahkota. Pemberian hadiah itu dibalas dengan perbuatan yang sama untuk menyenangkan hati ayahnya.
Dua bulan kemudian di Banten tiba dengan tiga perahu sebuah utusan dari Mataram yang diberitakan dikirim oleh putra mahkota. Di informasi itu pula dikatakan hadiah itu dikirim oleh ayah putra mahkota, sebagaimana catatan utusan Belanda bernama Daghregister, pada 12 Oktober 1659.
Tujuh ekor kuda disertai sepucuk surat yang disampaikan ketika itu. Surat itu memuat sebuah gugatan ke Banten, beberapa perahu Mataram selama perang disita orang-orang Kiai Aria, awaknya ditangkap dan dijual. Residen Belanda pun menerima seekor kuda.
Gugatan Mataram dibalas dengan gugatan pula pada waktu yang bersamaan orang Demak telah menyita beberapa perahu Kiai Aria. Demikianlah mereka berhadap-hadapan tanpa mau mundur selangkah pun.
Konon untuk membalas hadiah dari Mataram itu, Sultan Banten mengirimkan beberapa "gom" (gong) ke Mataram, tetapi keberangkatannya ke Pontang untuk dikirimkan ke Mataram tidak diiringi sikap yang ramah. Hal itulah yang membuat sementara waktu utusan-utusan Mataram harus menunggu jawaban.
Baru pada pertengahan bulan November tahun 1659 para utusan boleh berpamitan dengan sehelai surat jalan untuk pulang kembali melalui Batavia ke Mataram. Disetujui bahwa Kiai Aria akan membayar 500 rial, dan orang-orang yang bersangkutan lainnya juga akan membayar jumlah yang sama.
Setelah itu tidak banyak lagi kelihatan timbulnya pertikaian besar antara Banten dan Mataram. Sebaliknya, De Graaf menemukan usaha sampai dua kali percobaan dari putra mahkota Mataram untuk lebih mendekati negara tetangga.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
(shf)