Kisah Pilu 2 Istri Ronggolawe, Pilih Mati dengan Keris di Depan Jasad Suami yang Dicap sebagai Pemberontak Majapahit

Jum'at, 12 Mei 2023 - 08:03 WIB
loading...
Kisah Pilu 2 Istri Ronggolawe, Pilih Mati dengan Keris di Depan Jasad Suami yang Dicap sebagai Pemberontak Majapahit
Sosok Ronggolawe karya pelukis kelahiran Kabupaten Tuban, Prapto Dwi Utomo atau akrab disapa Jo. Foto/Ist.
A A A
Tangis Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga tak terbendung lagi. Keduanya meratap pilu, menyaksikan tubuh suaminya, Ronggolawe sudah terbujur kaku tak bernyawa. Cinta yang begitu besar, membuat kedua istri Ronggolawe tak kuasa menahan pilu suaminya tewas sebagai pemberontak Majapahit.



Jenazah Ronggolawe disemayamkan di tengah balairung yang luas di Istana Majapahit. Selembar kain hijau menutupi jenazahnya. Raja Majapahit, Raden Wijaya mempersilahkan kedua istri Ronggolawe melihat jenazah suaminya.



Dengan hati remuk redam Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga menciumi jasad Ronggolawe. Sebentar terdengar sedu sedan serta ratapan pilu. Begitu selesai berbela sungkawa dengan suara tersendat-sendat, kedua istri Ronggolawe tiba-tiba menghunus keris.



Dengan gerak cepat, Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menusukkan keris ke dada masing-masing. Seketika itu tubuh keduanya ambruk dan tak bernyawa lagi. Jasad kedua perempuan setia itu tergeletak di bawah kaki jasad Ronggolawe. Melalui sebuah upacara, Kerajaan Majapahit menyucikan jenazah Ronggolawe beserta kedua istrinya.

Dua orang istri Adipati Tuban, Ronggolawe bersikukuh menempuh jalan Sati begitu tahu suaminya gugur dalam pertempuran di Sungai Tambak Beras. Sati adalah tradisi bela pati untuk orang terkasih. Ritual kematian dengan cara membakar diri atau menusukkan keris pada tubuh sendiri.

Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga yang dirundung duka teramat sangat, menginginkan Sati. Bagi keduanya, bela pati sebagai bukti cinta sekaligus kesetiaan istri kepada suami yang telah dengan keji dituduh sebagai pemberontak Majapahit.

Dalam Serat Ranggalawe karya R. Ranggawirawangsa, keinginan bela pati disampaikan kedua istri Ronggolawe di saat seluruh isi Kadipaten Tuban menangis. "Kedua putri itu segera memastikan diri untuk ikut bela pati seiring dengan ajalnya sang suami," tulis R. Ranggawirawangsa.

Kabar kematian Ronggolawe dalam pertempuran melawan pasukan Majapahit di aliran Sungai Tambak Beras, membuat semua berduka. Di Kabupaten Tuban. Arya Wiraraja atau Arya Adikara atau Banyak Wide, ayah Ronggalawe sontak terdiam sekaligus tertunduk lesu.



Yang ia ingat, Ronggolawe adalah satu-satunya putra yang di pundaknya ia menaruh harapan tinggi. Cita-cita dan kebesaran. Adipati Ronggalawe layak menerima pengharapan itu. Sosok, kepandaian, keberanian sekaligus jiwa kesatria Raden Soreng (nama kecil Ronggolawe) disegani lawan maupun kawan.

Teringat jasa besar Ronggolawe yang ikut mendirikan Kerajaan Majapahit. Bersama Lembu Sora, dan Nambi, serta para loyalis Raden Wijaya lainnya, Lawe bertempur habis-habisan mengusir ratusan ribu prajurit Khubilai Khan. Ronggolawe bersama Raden Wijaya juga berperang melawan pasukan Kediri.

Di saat Raden Wijaya masih dikejar-kejar pengikut Jayakatwang, Banyak Wide yang kala itu masih menjabat sebagai Adipati Sumenep, menjadi pelindung Raden Wijaya. Di Kadipaten Sumenep Madura, Raden Wijaya yang merupakan menantu Raja Kertanegara itu bersembunyi.

Atas saran Banyak Wide juga, Raden Wijaya memperoleh hutan Tarik yang kelak berdiri Kerajaan Majapahit. Banyak Wide hanya bisa tertegun dan merenung. Ronggolawe, putranya telah gugur secara tragis. Mati dengan cap sebagai pemberontak karena melawan Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang ia pernah ikut mendirikannya.

Pada hari kelima peperangan antara prajurit Tuban, dengan Majapahit, Ronggolawe bertemu Mantri Jaladi Kebo Anabrang. Duel tak terelakkan. Di aliran Sungai Tambak Beras, Jombang. Ronggolawe yang berani melawan Majapahit karena menolak pengangkatan Nambi sebagai mahapatih tidak berkutik.



Pitingan tubuh Kebo Anabrang yang sekaligus membenamkan kepala Ronggolawe ke dalam air, membuat nyawa Adipati Tuban itu melayang. Lembu Sora yang merupakan paman Ronggolawe, tidak tega menyaksikan proses kematian keponakannya.

Lembu Sora sontak meradang, begitu melihat Kebo Anabrang masih juga mencaci Ronggolawe yang sudah menjadi mayat. Dengan sebilah keris, Patih Kediri itu menikam Kebo Anabrang hingga tewas.

Sementara usai menyatakan tekad berbela pati menyusul suaminya, Ronggolawe, Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga, langsung meminta restu ayahnya, Ki Ageng Palandhongan. Kaki Ki Ageng Palandhongan dan istri, dicium sekaligus memohon pamit.

Melihat suasana duka yang berlarut-larut itu, Arya Adikara atau Banyak Wide, mencoba mencairkan suasana. "Marilah kita sabar dan tawakal, menerima apa adanya. Rupanya semua ini sudah takdir belaka. Tentu baginda raja tak akan melupakan jasa-jasa dan darmabakti si Lawe," kata Banyak Wide seperti dikisahkan Serat Ranggalawe.

Keesokan harinya. Diiringi upacara, rombongan dari Kadipaten Tuban berangkat menuju Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Palandhongan dan Arya Adikara mengiringi kedua istri Ronggolawe yang ingin bertemu jenazah suaminya yang berada di Istana Majapahit.



Kuda Anyampiani, putra Ronggolawe yang masih berusia anak-anak, turut serta. Setiba di Majapahit, rombongan disambut langsung Raden Wijaya. Di depan Banyak Wide, dengan wajah muram, Raja Wijaya menyatakan rasa duka yang mendalam.

Meski akhirnya harus berperang, baginya Ronggolawe sudah seperti saudara. "Agaknya sudah menjadi nasibku pula, memiliki saudara terkasih harus putus dan kehilangan sampai di sini," kata Raden Wijaya kepada Banyak Wide.

"Semua telah menjalani takdirnya masing-masing. Rasanya dinda Ronggolawe tidaklah mati. Dia hanya pergi tanpa pamit padaku lebih dulu," kata Raden Wijaya seperti dikisahkan dalam Serat Ranggalawe.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2024 seconds (0.1#10.140)