Kisah Bon Ali Santri Berpangkat Ipda, Bangun 14 Masjid dan Tampung Anak Mantan Teroris
loading...
A
A
A
YOGYAKARTA - Ipda Ali Nur Suwandi, kini dikenal sebagai sosok polisi yang sangat dermawan. Meskipun tidak memiliki gaji yang besar namun dia memiliki panti asuhan dengan puluhan anak asuh. Bukan itu saja, berbagai kegiatan sosial terus dia gelorakan.
Massa pendidikan kepolisian rampung diselesaikan dengan baik. Tahun 1999 Mulai Dinas di Polda DIY, dia kemudian ditugaskan di Polda DIY dengan polisi berpangkat tamtama. Dia-pun mulai berkeliling ke pelosok desa untuk mencari anak yatim piatu, fakir miskin dan lansia.
Misi pertama yang ia lakukan hanyalah sekedar memberi bantuan seadanya. Kala itu, dia tidak berani untuk menampung anak-anak yatim tersebut. Saat itu dia sekedar mendata di mana ada anak yatim dan lansia.
Saat masuk polisi, dia sempat menghadap kepada sang guru mengajinya, KH Jamaludin Ahmad untuk meminta restu karena hendak mendaftar polisi. Selain restu, Sang Guru juga berpesan jika dia menjadi polisi maka jadilah polisi yang hubbul wathon minal iman.
"Cintailah bangsa ini karena mencintai bangsa sebagain dari iman," katanya.
Salah satu pesan Kyai Djamal yang terus diingat Bon Ali yakni jadilah polisi yang dalam langkahnya selalu ada manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Pokoknya tugas dengan guru adalah sendiko dhawuh apa yang diperintahkan oleh guru untuk menjadi polisi bermanfaat.
Karena itu, pada tahun 2008 dia lantas mulai mendirikan bangunan seadanya yang kini dijadikan sebuah yayasan. Awalnya ada lima anak yang sekarang sudah ada 110 anak yang tinggal di yayasan tersebut, bahkan yang dari luar juga ada.
Hingga kini, Bon Ali mengelola tujuh gedung yayasan. Dua di antaranya adalah milik sendiri sementara lima sisanya masih mengontrak. Dan dalam waktu dekat ini pihaknya sedang membangun satu gedung asrama lagi.
"Sekarang masih proses, mudah-mudahan dua bulan selesai," kata Bon Ali.
Saat ini, pembangunan gedung yayasan ini terkendala karena kekurangan biaya operasional. Bon Ali kini tinggal di Yayasan Rumah Singgah Bumi Damai, di Gang Janoko, Purbayan, Kemantren Kotagede, Kota Yogyakarta. Yayasan Rumah Singgah Bumi Damai adalah yayasan khusus menampung anak yatim, fakir miskin yang kurang beruntung hidupnya.
"Di sini ada 15 santri anak mantan teroris,"ujar dia.
Setelah mengasuh ratusan anak yatim, aksi sosial Bon Ali terus berlanjut dengan mendirikan 14 masjid dan 13 sumber air. Khusus 13 sumber air ia bangun di daerah rawan kekeringan saat kemarau di pelosok desa Kabupaten Gunungkidul.
Dia bercita-cita membangun masjid di pelosok desa karena kasihan dengan para lansia yang terlalu jauh ketika harus menunaikan salat di masjid. Kini sudah ada 14 masjid dibangun, ada yang di Sleman, Kulon Progo, Gunungkidul, dan satu lagi di Jawa Timur. "Saya membangun sejak 2013," tuturnya.
Sementara 13 sumber air yang dibangun berada di kawasan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Dia sendiri menyadari jika Kabupaten Gunungkidul sejak dulu menjadi daerah langganan kekeringan ketika musim kemarau datang.
Sehingga kebutuhan air bersih warga di sana sangat sulit dijangkau. Di mana ketika kemarau untuk mencari air hanya satu liter saja susah. Sementara untuk mobil tanki air tidak bisa menjangkau hingga ke pelosok desa karena aksesnya yang sulit.
" Ya, sudah saya bikin sumber air bekerjasama dengan warga sekitar. Alhamdulillah bisa," ujarnya.
Dia sendiri masih memiliki mimpi untuk membangun rumah sakit di daerah terpencil Gunungkidul. Alasannya simple, karena warga di pelosok Gunungkidul kalau hendak ke rumah sakit harus menempuh perjalanan cukup jauh. Tak sedikit warga yang meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Kisah Bon Ali dimulai sekira 40 tahun silam, di mana kala itu dia ikut menjadi santri di salah satu pelosok desa daerah Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Perjalanannya menjadi santri pun tanpa sengaja karena awalnya Bon Ali hanyalah seorang pedagang tempe keliling
"Tempe...tempe...tempe mangga dilarisi (silakan diborong),"kata dia mengenang masa lalu.
Kala itu, ia mengabdi di Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang sebagai seorang santri. Di usia belia itu Bon Ali sudah harus bangun pagi buta untuk menjual tempe yang diproduksi oleh kyainya sendiri yakni KH Jamaluddin Ahmad.
Bon nama depan sapaan Ali merupakan warisan para santri lantaran Ipda Ali sering kas bon atau berhutang di warung. Dan kala itu, pondok pesantren tempatnya menimba ilmu diasuh oleh KH Djamaluddin Ahmad merupakan penerus pondok pesantren Tambak Beras yang didirikan ulama besar NU Kyai Wahab Hasbullah.
"Selama nyantri saya itu salah satu santri yang tak pandai mengaji,"tuturnya.
Hanya saja semboyan ala santri gondelan sarunga e pak yai rupanya tak menjadikan Bon Ali kekurangan akal dan sampai sekarang masih ia pegang. Diapun agar tetap disayang sang guru maka dia mengabdi kepada kyainya itu dengan menjualkan tempe yang dibuat oleh kyainya sendiri.
Dia mengaku sejak umur 5 tahun sampai dengan masuk sebagai tamtama di kepolisian, Bon Ali hanya jualan tempe produksi Pak Kyai.
"Yang paling ndak bisa tak lupakan itu ketika rintik hujan. Saya kan tetap jualan tempe muter desa lewat jembatan dari bambu. Kalau hujan kan licin, nah saya jatuh sepedanya roboh terus tempenya jatuh ke sungai," kenangnya.
Beruntungnya tempe yang bercampur air sungai itu ada yang memborong sebab masyarakat merasa iba kepadanya. Kala itu, sang pembeli merasa iba dengan anak kecil yang jualan tempe.
"Mesakne (kasihan) anak yatim masih kecil jualan tempe keliling. Mungkin itu dalam benak beliau," ujarnya.
Impian seorang santri pada umumnya tentu menjadi seorang kyai hingga ulama besar. Tetapi kala itu Bon Ali justru memutuskan untuk menjadi seorang polisi namun tetap berjiwa santri.
Bukan tanpa sebab, karena tahun 1998 seorang Kapolda Jawa Timur bersama pejabat tinggi TNI berkunjung ke Pesantren Tambak Beras. Dalam sambutan di sebuah pengajian di pondok pesantren itu, Kapolda menyebutkan, barangsiapa santri Tambak Beras yang berminat menjadi anggota kepolisian dipersilakan mendaftar.
"Silahkan mendaftar dengan ketentuan sehat jasmani rohani dan berkelakuan baik,"tutur dia
Pidato seorang Kapolda malam itu benar-benar menggetarkan hatinya untuk segera meminta izin dan doa restu kepada kyai. Semalaman penuh Bon Ali memikirkan matang-matang langkahnya untuk ikut mendaftar sebagai calon anggota Polisi.
"Terus besok paginya saya sowan ke kyai," jelas pria berumur 45 tahun ini.
Berkat cita-cita luhur dengan penuh ketulusan itu, Bon Ali mendapat apresiasi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 2022 berupa sekolah perwira.
Massa pendidikan kepolisian rampung diselesaikan dengan baik. Tahun 1999 Mulai Dinas di Polda DIY, dia kemudian ditugaskan di Polda DIY dengan polisi berpangkat tamtama. Dia-pun mulai berkeliling ke pelosok desa untuk mencari anak yatim piatu, fakir miskin dan lansia.
Misi pertama yang ia lakukan hanyalah sekedar memberi bantuan seadanya. Kala itu, dia tidak berani untuk menampung anak-anak yatim tersebut. Saat itu dia sekedar mendata di mana ada anak yatim dan lansia.
Saat masuk polisi, dia sempat menghadap kepada sang guru mengajinya, KH Jamaludin Ahmad untuk meminta restu karena hendak mendaftar polisi. Selain restu, Sang Guru juga berpesan jika dia menjadi polisi maka jadilah polisi yang hubbul wathon minal iman.
"Cintailah bangsa ini karena mencintai bangsa sebagain dari iman," katanya.
Salah satu pesan Kyai Djamal yang terus diingat Bon Ali yakni jadilah polisi yang dalam langkahnya selalu ada manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Pokoknya tugas dengan guru adalah sendiko dhawuh apa yang diperintahkan oleh guru untuk menjadi polisi bermanfaat.
Karena itu, pada tahun 2008 dia lantas mulai mendirikan bangunan seadanya yang kini dijadikan sebuah yayasan. Awalnya ada lima anak yang sekarang sudah ada 110 anak yang tinggal di yayasan tersebut, bahkan yang dari luar juga ada.
Hingga kini, Bon Ali mengelola tujuh gedung yayasan. Dua di antaranya adalah milik sendiri sementara lima sisanya masih mengontrak. Dan dalam waktu dekat ini pihaknya sedang membangun satu gedung asrama lagi.
"Sekarang masih proses, mudah-mudahan dua bulan selesai," kata Bon Ali.
Baca Juga
Saat ini, pembangunan gedung yayasan ini terkendala karena kekurangan biaya operasional. Bon Ali kini tinggal di Yayasan Rumah Singgah Bumi Damai, di Gang Janoko, Purbayan, Kemantren Kotagede, Kota Yogyakarta. Yayasan Rumah Singgah Bumi Damai adalah yayasan khusus menampung anak yatim, fakir miskin yang kurang beruntung hidupnya.
"Di sini ada 15 santri anak mantan teroris,"ujar dia.
Setelah mengasuh ratusan anak yatim, aksi sosial Bon Ali terus berlanjut dengan mendirikan 14 masjid dan 13 sumber air. Khusus 13 sumber air ia bangun di daerah rawan kekeringan saat kemarau di pelosok desa Kabupaten Gunungkidul.
Dia bercita-cita membangun masjid di pelosok desa karena kasihan dengan para lansia yang terlalu jauh ketika harus menunaikan salat di masjid. Kini sudah ada 14 masjid dibangun, ada yang di Sleman, Kulon Progo, Gunungkidul, dan satu lagi di Jawa Timur. "Saya membangun sejak 2013," tuturnya.
Sementara 13 sumber air yang dibangun berada di kawasan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Dia sendiri menyadari jika Kabupaten Gunungkidul sejak dulu menjadi daerah langganan kekeringan ketika musim kemarau datang.
Sehingga kebutuhan air bersih warga di sana sangat sulit dijangkau. Di mana ketika kemarau untuk mencari air hanya satu liter saja susah. Sementara untuk mobil tanki air tidak bisa menjangkau hingga ke pelosok desa karena aksesnya yang sulit.
" Ya, sudah saya bikin sumber air bekerjasama dengan warga sekitar. Alhamdulillah bisa," ujarnya.
Baca Juga
Dia sendiri masih memiliki mimpi untuk membangun rumah sakit di daerah terpencil Gunungkidul. Alasannya simple, karena warga di pelosok Gunungkidul kalau hendak ke rumah sakit harus menempuh perjalanan cukup jauh. Tak sedikit warga yang meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Kisah Bon Ali dimulai sekira 40 tahun silam, di mana kala itu dia ikut menjadi santri di salah satu pelosok desa daerah Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Perjalanannya menjadi santri pun tanpa sengaja karena awalnya Bon Ali hanyalah seorang pedagang tempe keliling
"Tempe...tempe...tempe mangga dilarisi (silakan diborong),"kata dia mengenang masa lalu.
Kala itu, ia mengabdi di Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang sebagai seorang santri. Di usia belia itu Bon Ali sudah harus bangun pagi buta untuk menjual tempe yang diproduksi oleh kyainya sendiri yakni KH Jamaluddin Ahmad.
Bon nama depan sapaan Ali merupakan warisan para santri lantaran Ipda Ali sering kas bon atau berhutang di warung. Dan kala itu, pondok pesantren tempatnya menimba ilmu diasuh oleh KH Djamaluddin Ahmad merupakan penerus pondok pesantren Tambak Beras yang didirikan ulama besar NU Kyai Wahab Hasbullah.
"Selama nyantri saya itu salah satu santri yang tak pandai mengaji,"tuturnya.
Hanya saja semboyan ala santri gondelan sarunga e pak yai rupanya tak menjadikan Bon Ali kekurangan akal dan sampai sekarang masih ia pegang. Diapun agar tetap disayang sang guru maka dia mengabdi kepada kyainya itu dengan menjualkan tempe yang dibuat oleh kyainya sendiri.
Baca Juga
Dia mengaku sejak umur 5 tahun sampai dengan masuk sebagai tamtama di kepolisian, Bon Ali hanya jualan tempe produksi Pak Kyai.
"Yang paling ndak bisa tak lupakan itu ketika rintik hujan. Saya kan tetap jualan tempe muter desa lewat jembatan dari bambu. Kalau hujan kan licin, nah saya jatuh sepedanya roboh terus tempenya jatuh ke sungai," kenangnya.
Beruntungnya tempe yang bercampur air sungai itu ada yang memborong sebab masyarakat merasa iba kepadanya. Kala itu, sang pembeli merasa iba dengan anak kecil yang jualan tempe.
"Mesakne (kasihan) anak yatim masih kecil jualan tempe keliling. Mungkin itu dalam benak beliau," ujarnya.
Impian seorang santri pada umumnya tentu menjadi seorang kyai hingga ulama besar. Tetapi kala itu Bon Ali justru memutuskan untuk menjadi seorang polisi namun tetap berjiwa santri.
Bukan tanpa sebab, karena tahun 1998 seorang Kapolda Jawa Timur bersama pejabat tinggi TNI berkunjung ke Pesantren Tambak Beras. Dalam sambutan di sebuah pengajian di pondok pesantren itu, Kapolda menyebutkan, barangsiapa santri Tambak Beras yang berminat menjadi anggota kepolisian dipersilakan mendaftar.
"Silahkan mendaftar dengan ketentuan sehat jasmani rohani dan berkelakuan baik,"tutur dia
Pidato seorang Kapolda malam itu benar-benar menggetarkan hatinya untuk segera meminta izin dan doa restu kepada kyai. Semalaman penuh Bon Ali memikirkan matang-matang langkahnya untuk ikut mendaftar sebagai calon anggota Polisi.
"Terus besok paginya saya sowan ke kyai," jelas pria berumur 45 tahun ini.
Berkat cita-cita luhur dengan penuh ketulusan itu, Bon Ali mendapat apresiasi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 2022 berupa sekolah perwira.
(nic)