Kisah Para Dewa Bermusyawarah di Gunung Bromo, Putuskan Jawa Dipimpin Ken Arok

Senin, 27 Maret 2023 - 06:07 WIB
loading...
Kisah Para Dewa Bermusyawarah di Gunung Bromo, Putuskan Jawa Dipimpin Ken Arok
Gunung Bromo. Foto/Dok.SINDOnews/Yuswantoro
A A A
Berdiri gagah dalam balutan kabut, Gunung Bromo menyajikan pemadangan alam yang luar biasa indah. Lautan pasir dan padang savana, bak permadani yang menjadi alas singgasana Gunung Bromo.

Baca Juga: Eksotika Bromo Bukti Suku Tengger Hidup Damai dengan Alam

Cerita mistis, legenda, dan kesucian Gunung Bromo, selalu menghiasi cerita rakyat Suku Tengger yang menghidupi lereng-lerengnya. Gunung Bromo, dipercaya menjadi salah satu gunung suci yang dijadikan tempat musyawarah para dewa.



Dalam Kitab Pararaton, gunung api yang secara geografis berada di wilayah Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang tersebut, disebut dengan nama Gunung Lejar.



Gunung Bromo juga dikaitkan dengan kisah Ken Arok. Sebelum jadi penguasa Kerajaan Singasari, Ken Arok yang dikenal sebagai penjahat beberapa kali melarikan diri hingga akhirnya bertemu dengan nenek dari Panitikan, yang bertugas untuk membersihkan tempat bermusyawarah para dewa di puncak Gunung Lejar.

Sebagaimana dikisahkan pada Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit", musyawarah para dewa itu dilaksanakan setiap hari Rabu Hitam wuku Warigadyan.

Suatu ketika, Ken Arok bermaksud untuk pergi ke Gunung Lejar. Nenek dari Panitikan sanggup untuk membantunya dan menyembunyikannya jika para dewa datang untuk bermusyawarah.

Kisah Para Dewa Bermusyawarah di Gunung Bromo, Putuskan Jawa Dipimpin Ken Arok


Maka pergilah Ken Arok ke Gunung Lejar bersama nenek dari Panitikan, pada hari Rabu Hitam wuku Warigadyan. Ia disembunyikan di tengah sawah, ditimbuni dengan rumput oleh nenek dari Panitikan, untuk mendengar keputusan musyawarah.

Pararaton karangan Mpu Prapanca menyebutkan, "Berbunyilah guntur disertai gempa, topan serta hujan lebat, pelangi di sebelah timur menampakkan diri terus-menerus. Pada waktu itu terdengar suara gemuruh. Para dewa mengadakan musyawarah,"

"Siapa yang akan memperkuat Pulau Jawa? Dialah yang akan menguasai daerah ini! 'Demikian tanya para dewa saling berebut dulu. Siapakah yang sebaiknya memerintah Pulau Jawa?".



"Itulah pertanyaan pokok yang diajukan para dewa. Menjawablah Hyang Guru: Ketahuilah para dewa semua. Itu adalah anakku, seorang manusia keturunan orang Pangkur. Dialah yang akan memperkuat Pulau Jawa!".

Sejarawan menafsirkan Gunung Lejar adalah Gunung Brama atau Gunung Bromo di sebelah timur Singasari. Gunung ini sampai sekarang dianggap sebagai tempat suci, tempat kediaman para dewa.

Pada kakinya terdapat berbagai desa seperti Ngadisari, Ngadireja, Wanakerta, Ngadas, Jetak Wanatara dan Sapikerep; semuanya dihuni oleh orang-orang Tengger. Nama Gunung Lejar itu sendiri dikenal pada prasasti Katiden, yang dikeluarkan oleh Hyang Wisesa alias Wikramawardhana pada tahun 1395.

Kisah Para Dewa Bermusyawarah di Gunung Bromo, Putuskan Jawa Dipimpin Ken Arok


Gunung Lejar adalah tempat bersemayam para dewa, dikenal sebagai kahyangan. Orang-orang yang ditugaskan untuk menjaga Gunung Lejar, dibebaskan dari segala macam pajak dan mendapat perlakuan istimewa. Peresmian Gunung Lejar sebagai kahyangan baru dilakukan pada zaman Majapahit.

Satu hal lagi yang menarik perhatian ialah nama desa Panitikan, tempat kediaman nenek tua yang mendapat tugas sebagai tukang sapu untuk membersihkan tempat musyawarah para dewa di Gunung Lejar.

Nama itu memang perlu dihubungkan dengan apa yang dilakukan oleh Ken Arok, yakni mengintip musyawarah para dewa. Nama itu diturunkan dari kata nitik artinya mengenal. Zaman sekarang Desa Panitikan itu tidak lagi dikenal di daerah Tengger. Mungkin sekali nama itu adalah ciptaan penggubah Pararaton untuk disesuaikan dengan jalan cerita.



Ken Arok dianggap sebagai putra Bathara Guru atau putra Bathara Siwa. Bathara Siwa biasa juga disebut Girindra atau Girinatha. Jadi Ken Arok dikenal sebagai Girindraputra atau Girinathaputra, atau gelar yang artinya seperti itu dalam masyarakat Tumapel dan Majapahit.

Prapanca dalam Nagarakretagama, untuk menyebut pendiri Kerajaan Tumapel juga menggunakan gelar Girindra-atmaja. Girindra-atmasunu, Girinathaputra. Dengan kata lain Ken Arok telah ditakdirkan untuk menjadi raja di Pulau Jawa, berdasarkan keputusan musyawarah besar para dewa yang dipimpin oleh Bathara Siwa.

Berbagai upacara adat, hingga kini masih digelar masyarakat Suku Tengger di Gunung Bromo. Salah satunya Yadnya Kasada, yang digelar bertepatan dengan bulan purnama. Berbagai persembahan akan dilarung oleh masyarakat Suku Tengger, ke dalam kawah Gunung Bromo.

Kisah Para Dewa Bermusyawarah di Gunung Bromo, Putuskan Jawa Dipimpin Ken Arok


Rapal doa juga dibacakan para dukun Suku Tengger, dengan suara merdu dan penuh kekhusyukan, untuk mengiringi larung hasil bumi di kawah gunung suci tersebut. Masyarakat yang memiliki darah Suku Tengger, akan menyempatkan pulang untuk melakukan larung sesaji.

Cerita tentang Tengger, dan Gunung Bromo, selalu menarik untuk disimak. Masyarakat gunung, yang hingga kini tetap teguh mempertahankan keyakinan dan adat istiadatnya itu, tidak lepas dari mitologi cerita bersatunya Roro Anteng, dan Joko Seger. Dua anak manusia, yang disatukan oleh cinta kasih.

Catatan sejarah tentang keberadaan Suku Tengger, ternyata bukan sekedar hasil mitologi saja. Sejarah itu, juga terpahat di sebuah batu pualam setinggi 142,5 cm; dengan panjangnya 102 cm; dan lebarnya 22 cm.



Batu pualam besar itu, dikenal sebagai Prasasti Muncang. Ditemukan di Dusun Blandit, Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di permukaan batu tersebut, terpahat tulisan dengan huruf Jawa, yang sangat halus.

Pada permukaan batu itu, terpahat cerita tentang keberadaan Suku Tengger yang saat ini menghuni lereng-lereng pegunungan Tengger, dan Gunung Bromo. Eksotisme dan keagungan Bromo, tercipta melalui proses perjalanan sejarah panjang yang tidak mengenal batasan waktu.

Sejarahwan Dwi Cahyono mengungkapkan, keberadaan Prasasti Muncang, mematahkan asumsi keberadaan Suku Tengger, yang baru ada di wilayah Pegunungan Tengger, dan Gunung Bromo, pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Kisah Para Dewa Bermusyawarah di Gunung Bromo, Putuskan Jawa Dipimpin Ken Arok


Dalam catatan sejarah yang ada di Prasasti Muncang, masyarakat Suku Tengger, sudah ada jauh sebelum hadirnya Kerajaan Singasari, dan Majapahit di tanah Jawa Dwipa. Dwi berani memperkirakan, sejarah Bromo sebagai tanah suci bagi masyarakat Suku Tengger, sudah ada sejak tahun 929 masehi.

Menurutnya, cerita tentang keberadaan masyarakat Suku Tengger, dan kesucian serta keagungan Gunung Bromo, sudah tercatat sejak perpindahan kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno, dari wilayah Jawa Tengah, ke wilayah Jawa Timur. "Saat itu, di bawah kepemimpinan Mpu Sindok," terangnya.

Catatan sejarah ini, tentunya akan menjadi pembanding mitologi, dan anggapan orang tentang munculnya masyarakat Suku Tengger, setelah habisnya era Kerajaan Majapahit, di antara tahun 1.400-1.500 masehi.



Cerita mitologi berkembang, saat anak bangsawan dari Kerajaan Majapahit, yakni Joko Seger, dan Roro Anteng, melarikan diri ke wilayah Gunung Bromo. Mereka sangat berharap memiliki keturunan, dengan sumpah akan mengorbankan anak bungsunya sebagai persembahan untuk dewa apabila permintaannya dikabulkan.

Permohonan itu dikabulkan, dan pasangan ini dikaruniai sebanyak 25 anak. Di kemudian hari, keduanya lupa akan sumpahnya. Anak bungsunya yang bernama, Dewata Kusuma tidak juga dijadikan persembahan kepada dewa.

Akhirnya, kuasa dewa sendiri yang merebut Dewata Kusuma dan menghempaskannya ke kawah Gunung Bromo. Mitologi yang berkembang secara turun-temurun ini, sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Suku Tengger, yang dikenal teguh memegang budayanya, sehingga dikenal adanya upacaya Yadnya Kasada.

Kisah Para Dewa Bermusyawarah di Gunung Bromo, Putuskan Jawa Dipimpin Ken Arok


Terlepas dari mitologi tersebut, kata Dwi berdasarkan catatan pada prasasti yang ada, ternyata upacara Yadnya Kasada, sudah dilakukan masyarakat Suku Tengger, sejak ratusan tahun sebelum munculnya mitologi tersebut.

Dia menyebutkan, sejumlah prasasti dengan jelas menggambarkan keberadaan orang-orang Tengger, berserta upacara Yadnya Kasada. Salah satunya, tercatat dalam Prasasti Pananjakan yang ditemukan tahun 1880, di daerah Penanjakan, Kabupaten Pasuruan.

Dalam prasasti berangka tahun 1405 itu, disebutkan adanya larangan untuk menarik pajak pada bulan titi leman atau akhir bulan di bulan Asada. Larangan itu berlaku untuk lima desa yaitu Desa Walandit, Mamanggis, Lili, Jebing, dan Kacaba.



"Pajak dilarang ditarik pada saat itu, karena warga desa tengah memuja gunung keramat nan mulia yaitu Gunung Brama (dewa gunung api)," ujar Dwi. Desa Walandit sendiri, saat ini lebih dikenal sebagai Dusun Blandit, di Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Sedangkan Desa Mamanggis, kata dia sekarang diperkirakan bernama daerah Kemanggisan yang terletak di sekitar Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa Jebing, diperkirakan sekarang berubah menjadi daerah Jabung, yang juga terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Nama Gunung Brama yang disebut dalam prasasti tersebut, diduga saat ini berkembang namanya menjadi Gunung Bromo. Sementara masyarakat yang memuja gunung tersebut, dinamakan orang-orang ka-kahyangan.

Kisah Para Dewa Bermusyawarah di Gunung Bromo, Putuskan Jawa Dipimpin Ken Arok


Dwi memperkirakan, mereka yang disebut orang-orang ka-kahyangan adalah cikal bakal masyarakat Suku Tengger. Prasasti Pananjakan, sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Selain Prasasti Pananjakan, Dwi menyebutkan, jauh sebelumnya terdapat serentetan prasasti pada masa kepemimpinan Mpu Sindok yang bertutur tentang Bromo, dan upacara Kasada.

Prasasti itu, salah satunya adalah Prasasti Muncang, yang tercatat dibuat pada tahun 944 masehi. Prasasti itu, tersimpan di Museum Mpu Purwa, Kota Malang, Jawa Timur. Prasasti Muncang, salah satunya berisi penetapan sebidang tanah di selatan pasar Desa Muncang, sebagai tanah perdikan.

"Hasil bumi tanah perdikan ini, digunakan untuk membangun Prasada Kabhaktyan Siddhayoga. Yaitu bangunan suci untuk peribadatan harian bagi Bathara Sang Hyang Swayambhwa yang bersemayam di Walandit," terangnya.



Sebelum Prasasti Muncang, tercatat juga ada Prasasti Lingga Sutan, yang dibuat tahun 929 masehi. Prasasti ini berisi tentang, penetapan Desa Lingga Sutan, sebagai wilayah Rakriyan Hujung, dan hasil pertanian di sana, setiap setahun sekali juga dipersembahkan untuk Bhathara I-Walandit.

Dwi menyebutkan, dari tiga prasasti ini jelas terlihat adanya keterkaitan. Yaitu, adanya upacara pemujaan pada Bathara I-Walandit, atau Bhathara Sang Hyang Swayambhwa. Sementara pada Prasasti Penanjakan, semakin diperjelas bahwa dewa-dewa yang dipuja adalah dewa gunung api Brama.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3807 seconds (0.1#10.140)