Dibangun di Tengah Kecamuk Perang Diponegoro, Masjid Damarjati Salatiga Jadi Persinggahan Musafir
loading...
A
A
A
SALATIGA - Para musyafir dengan khusyuk menjalankan salat dzuhur di Masjid Damarjati. Mereka juga memanfaatkan halaman masjid tua tersebut untuk beristirahat sejenak, melepas penat setelah menempuh perjalanan jauh.
Masjid yang berada di Dukuh Krajan RT 2 RW 5, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah tersebut, dibangun pada tahun 1826. Tepatnya, saat perang Diponegoro tengah berkecamuk di Pulau Jawa.
Pada bulan puasa Ramadan seperti saat ini, ada warga dari berbagai daerah yang sengaja singgah di masjid tertua di Salatiga tersebut. Mereka menunggu waktu berbuka puasa, dan salat maghrib.
Kemudian menjelang buka puasa, sejumlah warga datang mengirim takjil yang terdiri dari bermacam-macam makanan ringan dan minuman. Berbagai makanan dan minuman itu, disediakan untuk berbuka puasa orang-orang yang berada di masjid.
Berbuaka puasa di masjid tua tersebut, ternyata sudah menjadi tradisi turun-temurun yang sudah berlangsung sejak lama. Sekarang tradisi tersebut tetap dilestarikan, dan menjadi bagian dari kegiatan Masjid Damarjati.
Adapun takjil yang disajikan, merupakan sedekah dari warga yang dilakukan secara bergiliran. "Tradisi ini sudan turun-temurun. Mungkin sejak masjid ini didirikan tradisi ini sudah ada," kata Basuki, warga sekitar Masjid Damarjati.
Berdasarkan cacatan sejarah, Masjid Damarjati didirikan oleh Kiai Ronosetiko, dan Kiai Sirojudin yang diyakini merupakan orang dari Kejaraan Mataram. Masjid Damarjati dibangun di tengah kecamuk perang Jawa, saat Pangeran Diponegoro harus menghadapi pemerintah kolonial Belanda.
Dari kisah yang berkembang di masyarakat, pembangunan masjid ini merupakan bagian dari strategi Kiai Ronosetiko, dan Kiai Sirojudin, untuk mengalahkan Belanda sekaligus melakukan syiar Islam di Salatiga.
"Berdasarkan cerita yang dikisahkan sejumlah orang tua dulu, Kiai Ronosetiko, dan Kiai Sirojudin adalah panglima perang Laskar Diponegoro. Namun beliau memilih melakukan perlawanan dengan cara gerilya," kata Yahya, warga Krajan.
Supaya tak dicurigai Belanda, kedua tokoh tersebut membuka perkampungan baru bersama laskarnya. Kiai Sirojudin membuka perkampungan di Dukuh Krajan, sementara Kiai Ronosentiko babat alas di daerah Bancaan, sekitar tiga kilometer jauhnya dari Krajan.
Belakangan, Kiai Sirojudin mengganti namanya menjadi Damarjati. Hal itu terpaksa dilakukan, karena dia berserta Kiai Ronosentiko merupakan sosok yang diburu Belanda. Di Salatiga, kedua ulama tersebut ditugasi untuk memata-matai Belanda. Salatiga sejak dulu memang dikenal sebagai basis militer Belanda, di Jawa Tengah.
Mengingat dirinya juga sebagai ulama, Kiai Sirojudin dengan dibantu laskarnya membangun sebuah langgar di perkampungan yang dibukanya. Langgar yang kelak menjadi masjid tersebut, oleh Kiai Sirojudin dijadikan sebagai pusat segala aktivitas.
Tidak hanya sebagai tempat untuk menyusun strategi melawan Belanda, masjid ini juga digunakan untuk melakukan syiar Islam kepada masyarakat. Dituturkan Yahya, saat itu bangunan langgar masih sangat sederhana, dan luasnya hanya 6x6 meter persegi. Dindingnya terbuat dari papan kayu dan anyaman bambu, sementara atapnya terbuat dari sirap.
"Mulai saat itu, syiar Islam di Salatiga tersebar luas dan terus berkembang. Dan saat wafat jenazahnya dimakamkan di seberang masjid. Untuk mengenang jasa-jasanya, warga setempat menamai masjid tersebut dengan nama Masjid Damarjati," ucapnya.
Sejak berdiri hingga sekarang, masjid ini sudah dua kali mengalami pemugaran. Renovasi kali pertama dilakukan pada tahun 1987. Kemudian renovasi kedua dilaksanakan pada 2007.
Lihat Juga: Cerita Masjid Bungkuk Malang Tempat Penggemblengan Pejuang 10 November hingga Kebal Senjata
Masjid yang berada di Dukuh Krajan RT 2 RW 5, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah tersebut, dibangun pada tahun 1826. Tepatnya, saat perang Diponegoro tengah berkecamuk di Pulau Jawa.
Pada bulan puasa Ramadan seperti saat ini, ada warga dari berbagai daerah yang sengaja singgah di masjid tertua di Salatiga tersebut. Mereka menunggu waktu berbuka puasa, dan salat maghrib.
Kemudian menjelang buka puasa, sejumlah warga datang mengirim takjil yang terdiri dari bermacam-macam makanan ringan dan minuman. Berbagai makanan dan minuman itu, disediakan untuk berbuka puasa orang-orang yang berada di masjid.
Berbuaka puasa di masjid tua tersebut, ternyata sudah menjadi tradisi turun-temurun yang sudah berlangsung sejak lama. Sekarang tradisi tersebut tetap dilestarikan, dan menjadi bagian dari kegiatan Masjid Damarjati.
Adapun takjil yang disajikan, merupakan sedekah dari warga yang dilakukan secara bergiliran. "Tradisi ini sudan turun-temurun. Mungkin sejak masjid ini didirikan tradisi ini sudah ada," kata Basuki, warga sekitar Masjid Damarjati.
Berdasarkan cacatan sejarah, Masjid Damarjati didirikan oleh Kiai Ronosetiko, dan Kiai Sirojudin yang diyakini merupakan orang dari Kejaraan Mataram. Masjid Damarjati dibangun di tengah kecamuk perang Jawa, saat Pangeran Diponegoro harus menghadapi pemerintah kolonial Belanda.
Dari kisah yang berkembang di masyarakat, pembangunan masjid ini merupakan bagian dari strategi Kiai Ronosetiko, dan Kiai Sirojudin, untuk mengalahkan Belanda sekaligus melakukan syiar Islam di Salatiga.
"Berdasarkan cerita yang dikisahkan sejumlah orang tua dulu, Kiai Ronosetiko, dan Kiai Sirojudin adalah panglima perang Laskar Diponegoro. Namun beliau memilih melakukan perlawanan dengan cara gerilya," kata Yahya, warga Krajan.
Supaya tak dicurigai Belanda, kedua tokoh tersebut membuka perkampungan baru bersama laskarnya. Kiai Sirojudin membuka perkampungan di Dukuh Krajan, sementara Kiai Ronosentiko babat alas di daerah Bancaan, sekitar tiga kilometer jauhnya dari Krajan.
Belakangan, Kiai Sirojudin mengganti namanya menjadi Damarjati. Hal itu terpaksa dilakukan, karena dia berserta Kiai Ronosentiko merupakan sosok yang diburu Belanda. Di Salatiga, kedua ulama tersebut ditugasi untuk memata-matai Belanda. Salatiga sejak dulu memang dikenal sebagai basis militer Belanda, di Jawa Tengah.
Mengingat dirinya juga sebagai ulama, Kiai Sirojudin dengan dibantu laskarnya membangun sebuah langgar di perkampungan yang dibukanya. Langgar yang kelak menjadi masjid tersebut, oleh Kiai Sirojudin dijadikan sebagai pusat segala aktivitas.
Tidak hanya sebagai tempat untuk menyusun strategi melawan Belanda, masjid ini juga digunakan untuk melakukan syiar Islam kepada masyarakat. Dituturkan Yahya, saat itu bangunan langgar masih sangat sederhana, dan luasnya hanya 6x6 meter persegi. Dindingnya terbuat dari papan kayu dan anyaman bambu, sementara atapnya terbuat dari sirap.
"Mulai saat itu, syiar Islam di Salatiga tersebar luas dan terus berkembang. Dan saat wafat jenazahnya dimakamkan di seberang masjid. Untuk mengenang jasa-jasanya, warga setempat menamai masjid tersebut dengan nama Masjid Damarjati," ucapnya.
Sejak berdiri hingga sekarang, masjid ini sudah dua kali mengalami pemugaran. Renovasi kali pertama dilakukan pada tahun 1987. Kemudian renovasi kedua dilaksanakan pada 2007.
Lihat Juga: Cerita Masjid Bungkuk Malang Tempat Penggemblengan Pejuang 10 November hingga Kebal Senjata
(eyt)