Penanganan Kekerasan KKB di Papua, Pengamat: Gunakan Pendekatan Kontraterorisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penculikan pilot pesawat Susi Air di Kabupaten Nduga, Papua yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) hingga kini masih berlangsung. Pemerintah terus berupaya membebaskan pilot Kapten Philips Mark Marthens dari tangan KKB.
Direktur Eksekutif Institute For Peace and Security Studies (IPSS), Prof. Sri Yunanto mengatakan bahwa serangan teror yang dilakukan KKB itu sifatnya asimetris. Bentuknya bisa berupa sabotase, pengeboman, penyanderaan, ataupun penculikan.
“Penanganan aksi teror menggunakan pendekatan kontraterorisme. Pada kontraterorisme terdapat prevention, mitigation dan operation. Jadi pendekatan yang dilakukan tentu harus sejalan dengan law enforcement atau penegakan hukum,” ujar Yunanto di Jakarta, Selasa (21/3/2022).
Terkait penyanderaan pilot Susi Air yang dilakukan oleh KKB, di mengatakan bahwa cara penanganan terhadap sandera itu tidak tunggal dan tidak bisa dibahas secara terbuka. Dalam menangani kasus penyanderaan, terdapat dua prioritas yakni keselamatan sandera dan pelakunya bisa ditangani sesuai dengan hukum yang berlaku.
Yunanto menilai, tindakan penyanderaan itu bukan tindak kriminal biasa. Dalam kasus KKB, dilakukan oleh kelompok yang bersenjata, sehingga perlu ditangani secara khusus.
“Aksi teror yang dilakukan KKB bahkan sudah berkembang dari terorisme kepada insurgency (pemberontakan),” jelas mantan Staf Kemenko Polhukam pada 2016-2019 ini.
Di sisi lain, Yunanto menyatakan, Papua merupakan salah satu dari sedikit wilayah di Indonesia yang diberikan otonomi khusus dalam mengelola pemerintahannya. Hal ini ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi putra-putri daerah Papua untuk bisa berkontribusi langsung dalam memajukan Papua.
Diterapkannya Undang-Undang Otonomi Khusus ditujukan untuk memberikan keistimewaan terhadap Provinsi Papua. Otonomi khusus juga diharapkan dapat mengatasi trauma masa lalu sebagai pemicu munculnya aksi kekerasan atau terorisme. Bahkan ada pendekatan politik dengan diberikannya kebebasan bagi rakyat Papua untuk bisa mendirikan partai lokal.
Dia juga menyoroti tentang perlunya pengawasan yang baik terhadap otonomi khusus yang telah diberikan kepada Papua. Pengawasan yang dilakukan sebaiknya juga mengatur bagaimana mencegah dana yang telah diberikan agar tidak disalahgunakan oleh pimpinan atau kepala daerah di Papua.
“Kalau kemudian ada indikasi bahwa dana itu disalahgunakan, harus segera dilakukan penanganan yang berupa tindakan hukum, sehingga dana itu tidak bisa lari kemanapun. Ini dilakukan juga agar terdapat detterence effect atau efek cegah agar pihak lain yang mau mencoba menyelewengkan dana ya berpikir seribu kali,” ungkap Prof. Yunanto.
Ia berpendapat bahwa pemerintah perlu bertindak cepat dalam menangani kelompok teror manapun sesuai dengan hukum yang berlaku agar tidak terkesan powerless. Aliran dana bagi wilayah otonomi juga diharapkan bisa diawasi secara sistematis supaya tidak hanya dimanfaatkan sebagian kelompok saja.
“Sistemnya itu harus bisa mengawasi semua wilayah, termasuk Papua, karena tujuan dana dalam kerangka otonomi itu untuk menyejahterakan rakyat. Apakah dana itu sampai ke rakyat? Dana harus benar-benar sampai kepada rakyat yang memerlukan, yang membutuhkan, dan program atau proyek yang memang direncanakan," tegasnya.
"Jangan sampai dana tersebut terlalu lama mengendap di pimpinan yang berpotensi disalahgunakan untuk tujuan kekerasan ataupun tujuan politik,” tandas Yunanto.
Dia mengatakan, pemerintah Indonesia konsisten dengan kesepakatan yang ada dalam UU Otonomi Khusus yang sudah direvisi tahun 2021. Namun, jika ada kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu harus direspons dengan strategi yang integratif, mulai dari pendekatan persuasif, humanis, hingga operasi keamanan yang terbatas, atau yang hanya dilakukan di wilayah tertentu.
Sehingga jika kemudian ada pendekatan keamanan yang khusus, maka itu harus dipahami karena memang ancaman keamanannya masih nyata. Buktinya masih ada penyanderaan dan beberapa insiden keamanan lain. Tetapi secara umum, pemerintah itu sudah melakukan pendekatan ekonomi, pendekatan sosial, bahkan kultural.
"Kalau situasi keamanan itu sudah baik, tentu secara bertahap pendekatan keamanan juga akan dikurangi, dan lebih diutamakan pendekatan sosial, politik, ekonomi dan budaya,” pungkas Yunanto.
Direktur Eksekutif Institute For Peace and Security Studies (IPSS), Prof. Sri Yunanto mengatakan bahwa serangan teror yang dilakukan KKB itu sifatnya asimetris. Bentuknya bisa berupa sabotase, pengeboman, penyanderaan, ataupun penculikan.
“Penanganan aksi teror menggunakan pendekatan kontraterorisme. Pada kontraterorisme terdapat prevention, mitigation dan operation. Jadi pendekatan yang dilakukan tentu harus sejalan dengan law enforcement atau penegakan hukum,” ujar Yunanto di Jakarta, Selasa (21/3/2022).
Terkait penyanderaan pilot Susi Air yang dilakukan oleh KKB, di mengatakan bahwa cara penanganan terhadap sandera itu tidak tunggal dan tidak bisa dibahas secara terbuka. Dalam menangani kasus penyanderaan, terdapat dua prioritas yakni keselamatan sandera dan pelakunya bisa ditangani sesuai dengan hukum yang berlaku.
Yunanto menilai, tindakan penyanderaan itu bukan tindak kriminal biasa. Dalam kasus KKB, dilakukan oleh kelompok yang bersenjata, sehingga perlu ditangani secara khusus.
“Aksi teror yang dilakukan KKB bahkan sudah berkembang dari terorisme kepada insurgency (pemberontakan),” jelas mantan Staf Kemenko Polhukam pada 2016-2019 ini.
Di sisi lain, Yunanto menyatakan, Papua merupakan salah satu dari sedikit wilayah di Indonesia yang diberikan otonomi khusus dalam mengelola pemerintahannya. Hal ini ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi putra-putri daerah Papua untuk bisa berkontribusi langsung dalam memajukan Papua.
Diterapkannya Undang-Undang Otonomi Khusus ditujukan untuk memberikan keistimewaan terhadap Provinsi Papua. Otonomi khusus juga diharapkan dapat mengatasi trauma masa lalu sebagai pemicu munculnya aksi kekerasan atau terorisme. Bahkan ada pendekatan politik dengan diberikannya kebebasan bagi rakyat Papua untuk bisa mendirikan partai lokal.
Dia juga menyoroti tentang perlunya pengawasan yang baik terhadap otonomi khusus yang telah diberikan kepada Papua. Pengawasan yang dilakukan sebaiknya juga mengatur bagaimana mencegah dana yang telah diberikan agar tidak disalahgunakan oleh pimpinan atau kepala daerah di Papua.
“Kalau kemudian ada indikasi bahwa dana itu disalahgunakan, harus segera dilakukan penanganan yang berupa tindakan hukum, sehingga dana itu tidak bisa lari kemanapun. Ini dilakukan juga agar terdapat detterence effect atau efek cegah agar pihak lain yang mau mencoba menyelewengkan dana ya berpikir seribu kali,” ungkap Prof. Yunanto.
Ia berpendapat bahwa pemerintah perlu bertindak cepat dalam menangani kelompok teror manapun sesuai dengan hukum yang berlaku agar tidak terkesan powerless. Aliran dana bagi wilayah otonomi juga diharapkan bisa diawasi secara sistematis supaya tidak hanya dimanfaatkan sebagian kelompok saja.
“Sistemnya itu harus bisa mengawasi semua wilayah, termasuk Papua, karena tujuan dana dalam kerangka otonomi itu untuk menyejahterakan rakyat. Apakah dana itu sampai ke rakyat? Dana harus benar-benar sampai kepada rakyat yang memerlukan, yang membutuhkan, dan program atau proyek yang memang direncanakan," tegasnya.
"Jangan sampai dana tersebut terlalu lama mengendap di pimpinan yang berpotensi disalahgunakan untuk tujuan kekerasan ataupun tujuan politik,” tandas Yunanto.
Dia mengatakan, pemerintah Indonesia konsisten dengan kesepakatan yang ada dalam UU Otonomi Khusus yang sudah direvisi tahun 2021. Namun, jika ada kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu harus direspons dengan strategi yang integratif, mulai dari pendekatan persuasif, humanis, hingga operasi keamanan yang terbatas, atau yang hanya dilakukan di wilayah tertentu.
Sehingga jika kemudian ada pendekatan keamanan yang khusus, maka itu harus dipahami karena memang ancaman keamanannya masih nyata. Buktinya masih ada penyanderaan dan beberapa insiden keamanan lain. Tetapi secara umum, pemerintah itu sudah melakukan pendekatan ekonomi, pendekatan sosial, bahkan kultural.
"Kalau situasi keamanan itu sudah baik, tentu secara bertahap pendekatan keamanan juga akan dikurangi, dan lebih diutamakan pendekatan sosial, politik, ekonomi dan budaya,” pungkas Yunanto.
(shf)