Datu Banua Lima, Panglima Dayak Paling Disegani Majapahit
loading...
A
A
A
Pada Tahun 1387 atau 29 tahun setelah terjadinya peperangan antara Majapahit dan Tanjungpuri, berdiri sebuah Kerajaan Hindu di Borneo yang bernama Nagaradipa. Kepala pemerintahannya bernama Empu Jatmika, seorang pelarian dari Kerajaan Kediri .
Karena tingkah lakunya yang baik dan santun, dia disukai oleh Raja Tanjungpuri yang bernama Sri Baginda Kartapala (anak Sri Baginda Darmapala).
Oleh Sri Baginda Kartapala, Empu Jatmika ditawari agar anaknya Lambung Mangkurat untuk mengawini anaknya yang bernama Putri Junjung Buih. Tapi karena merasa terlalu tua, Lambung Mangkurat menyuruh anaknya Raden Putera untuk mengawini Putri Junjung Buih.
Raden Putera adalah anak Lambung Mangkurat dari perkawinan dengan Urang Biaju (Dayak Ngaju). Singkat cerita akhirnya Raden Putra menikah dengan Putri Junjung Buih.
Sejak saat itu Sri Baginda Kartapala menyerahkan seluruh kekuasaan dan wilayah Tanjungpuri kepada Kerajaan Nagaradipa. Dengan bantuan Majapahit akhirnya Negaradipa menjadi kerajaan yang kuat di Borneo.
Namun demikian sebagai timbal baliknya Negaradipa menjadi Negara bagian Majapahit atau dikenal dengan istilah “sakai” Kerajaan Nagaradipa sendiri mengangkat Raden Putera sebagai raja yang bergelar Pangeran Suryanata.
Namun ada sesuatu hal yang bergejolak di dalam pemerintahan Nagaradipa, yaitu saling berebut pengaruh antara pendatang dari Majapahit yang sengaja disusupkan jadi pejabat di Nagaradipa dengan orang-orang Tanjungpuri yang ikut mengabdi jadi pejabat di kerajaan.
Apalagi setelah para pejabat Majapahit mampu mempengaruhi Patih Lambung Mangkurat yang akhirnya memutuskan melarang adat istiadat Melayu dan Dayak di Kerajaan Nagaradipa. Pakaian adat harus mengikuti gaya pakaian orang Majapahit.
Mendengar hal tersebut, lima Panglima Tanjungpuri yang sudah tua-tua menjadi berang. Kelima Panglima ini sangat kecewa sekali sebab mereka sudah bersumpah tidak akan tunduk dengan Majapahit.
Tapi karena masih menghormati Putri Junjung Buih sebagai cucu Sri Baginda Darmapala, kelima Panglima tersebut mampu menahan diri. Setelah itu kelima panglima masing-masing memutuskan untuk mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus.
Para keluarga Kerajaan Tanjungpuri pun terpecah dua, ada yang mandukung Nagaradipa dan ada juga yang tidak. Yang tidak mendukung akhirnya ikut mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus di bawah pimpinan Pangeran Kuripan ke-10 mengikuti para Datu Banua Lima.
Tempat berkumpulnya para keluarga Kerajaan Tanjungpuri di Pegunungan Maratus yang di pimpin Pangeran ke 10 adalah Manggajaya. Melihat hal tersabut Patih Lambung Mangkurat merasa terancam, lalu atas bantuan Majapahit dia mengirim pasukan di bawah pimpinan Hulu Balang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa ke daerah Banua Lima yaitu Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Batang Tapin supaya tunduk terhadap kekuasaan Nagaradipa.
Dibantu pasukan Majapahit pimpinan Hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa, ke lima daerah itu akhirnya bisa ditaklukkan. Sementara Pangeran Kuripan ke-10 berhasil diselamatkan oleh Datu Banua Lima dan disembunyikan di daerah Manggajaya (Wilayah Kecamatan Batang Alai Timur sekarang) di Pegunungan Meratus.
Kelima wilayah Banua Lima tersebut memang bisa ditaklukan, tapi daerah Manggajaya tak ada berani yang menyerang ke sana walaupun dibantu prajurit Majapahit.
Mereka gentar karena mendengar cerita lima orang panglima sakti yang bergelar Datu Banua Lima bermukim disitu untuk mengasingkan diri.
Baca: Sejarah Kesunanan Giri, Sebuah Kerajaan yang Berawal dari Pesantren.
Selain itu juga topografi daerahnya yang dikelilingi banyak pegunungan sehingga sangat bagus untuk sebuah tempat pertahanan.
Konon keturunan Datu Banua LIma di wilayah Manggajaya juga dikenal sebagai sosok pemberani dan turut berjuang dalam melawan penjajah Belanda dan selama perang kemerdekaan Indonesia.
Sumber:
banuahujungtanah
hikayat datua banua lima
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
Karena tingkah lakunya yang baik dan santun, dia disukai oleh Raja Tanjungpuri yang bernama Sri Baginda Kartapala (anak Sri Baginda Darmapala).
Oleh Sri Baginda Kartapala, Empu Jatmika ditawari agar anaknya Lambung Mangkurat untuk mengawini anaknya yang bernama Putri Junjung Buih. Tapi karena merasa terlalu tua, Lambung Mangkurat menyuruh anaknya Raden Putera untuk mengawini Putri Junjung Buih.
Raden Putera adalah anak Lambung Mangkurat dari perkawinan dengan Urang Biaju (Dayak Ngaju). Singkat cerita akhirnya Raden Putra menikah dengan Putri Junjung Buih.
Sejak saat itu Sri Baginda Kartapala menyerahkan seluruh kekuasaan dan wilayah Tanjungpuri kepada Kerajaan Nagaradipa. Dengan bantuan Majapahit akhirnya Negaradipa menjadi kerajaan yang kuat di Borneo.
Namun demikian sebagai timbal baliknya Negaradipa menjadi Negara bagian Majapahit atau dikenal dengan istilah “sakai” Kerajaan Nagaradipa sendiri mengangkat Raden Putera sebagai raja yang bergelar Pangeran Suryanata.
Namun ada sesuatu hal yang bergejolak di dalam pemerintahan Nagaradipa, yaitu saling berebut pengaruh antara pendatang dari Majapahit yang sengaja disusupkan jadi pejabat di Nagaradipa dengan orang-orang Tanjungpuri yang ikut mengabdi jadi pejabat di kerajaan.
Apalagi setelah para pejabat Majapahit mampu mempengaruhi Patih Lambung Mangkurat yang akhirnya memutuskan melarang adat istiadat Melayu dan Dayak di Kerajaan Nagaradipa. Pakaian adat harus mengikuti gaya pakaian orang Majapahit.
Mendengar hal tersebut, lima Panglima Tanjungpuri yang sudah tua-tua menjadi berang. Kelima Panglima ini sangat kecewa sekali sebab mereka sudah bersumpah tidak akan tunduk dengan Majapahit.
Tapi karena masih menghormati Putri Junjung Buih sebagai cucu Sri Baginda Darmapala, kelima Panglima tersebut mampu menahan diri. Setelah itu kelima panglima masing-masing memutuskan untuk mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus.
Para keluarga Kerajaan Tanjungpuri pun terpecah dua, ada yang mandukung Nagaradipa dan ada juga yang tidak. Yang tidak mendukung akhirnya ikut mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus di bawah pimpinan Pangeran Kuripan ke-10 mengikuti para Datu Banua Lima.
Tempat berkumpulnya para keluarga Kerajaan Tanjungpuri di Pegunungan Maratus yang di pimpin Pangeran ke 10 adalah Manggajaya. Melihat hal tersabut Patih Lambung Mangkurat merasa terancam, lalu atas bantuan Majapahit dia mengirim pasukan di bawah pimpinan Hulu Balang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa ke daerah Banua Lima yaitu Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Batang Tapin supaya tunduk terhadap kekuasaan Nagaradipa.
Dibantu pasukan Majapahit pimpinan Hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa, ke lima daerah itu akhirnya bisa ditaklukkan. Sementara Pangeran Kuripan ke-10 berhasil diselamatkan oleh Datu Banua Lima dan disembunyikan di daerah Manggajaya (Wilayah Kecamatan Batang Alai Timur sekarang) di Pegunungan Meratus.
Kelima wilayah Banua Lima tersebut memang bisa ditaklukan, tapi daerah Manggajaya tak ada berani yang menyerang ke sana walaupun dibantu prajurit Majapahit.
Mereka gentar karena mendengar cerita lima orang panglima sakti yang bergelar Datu Banua Lima bermukim disitu untuk mengasingkan diri.
Baca: Sejarah Kesunanan Giri, Sebuah Kerajaan yang Berawal dari Pesantren.
Selain itu juga topografi daerahnya yang dikelilingi banyak pegunungan sehingga sangat bagus untuk sebuah tempat pertahanan.
Konon keturunan Datu Banua LIma di wilayah Manggajaya juga dikenal sebagai sosok pemberani dan turut berjuang dalam melawan penjajah Belanda dan selama perang kemerdekaan Indonesia.
Sumber:
banuahujungtanah
hikayat datua banua lima
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
(nag)