Heboh! Gunung Api Baru Muncul di Pacitan, Dosen ITB: Teridentifikasi sejak 2006
loading...
A
A
A
“Sebenarnya tonjolan-tonjolan ini sudah teridentifikasi sejak 2006 silam,” ujar Kaprodi Magister Doktor Teknik Geologi ITB tersebut.
Mirzam menyimpulkan, kemunculan gunung api di selatan Pacitan ini merupakan efek kompleksitas zona subduksi di selatan seperti komponen yang tidak homogen, perbedaan umur lempeng, dan roo rise yang mengganjal hingga timbulnya gangguan.
Jika dianalisis lebih dekat, maka roo rise yang masuk ke dalam palung akan terkerat sebagian. Sebagian slab yang bertemu lempeng di pulau Jawa akan menimbulkan buoyant roo rise fragment yang akan menimbulkan tonjolan dan sebagian slab masuk ke dalam. Sebagian slab yang masuk akan menentukan bahaya atau tidaknya gunung tersebut.
Ia menuturkan bahwa slab yang masuk masih cukup dangkal (10-15 km) sehingga menyebabkan potensi gunung api ini tidak seperti potensi gunung api yang aktif di Pulau Jawa pada umumnya.
“Slab yang masuk baru mulai meleleh itu bukan pada kedalaman 10-15 km. Ini bukan tempat yang ideal. Kedalaman ideal lempeng samudera meleleh pada kedalam 120-180 km seperti gunung di Pulau Jawa lainnya,” tambahnya.
Ciri-ciri yang menunjukkan gunung api seperti adanya panas merupakan akibat dari tumbukan dua buah lempeng di zona akresi.
“Jadi secara teoritis, harusnya itu posisinya bukan gunung api yang definitif kita pelajari, tapi ini morfologinya seperti kerucut gunung api, karena tadi adanya gangguan, panasnya dari collision tumbukan yang menghasilkan panas,” imbuhnya
Meskipun peluang gunung tersebut untuk meletus kecil, tapi bencana nonvulkanik tetap harus diwaspadai.
Gundukan tinggi ini bisa menjadi sesuatu yang tidak stabil dan mengakibatkan longsor di bawah laut. Jika volumenya besar maka akan mengganggu kesetimbangan kolom air laut.
“Ketidakstabilan lereng bisa sangat terjadi jika terjadi seismik gap, hal ini juga di-state di paper tersebut,” ujarnya.
Mirzam menyimpulkan, kemunculan gunung api di selatan Pacitan ini merupakan efek kompleksitas zona subduksi di selatan seperti komponen yang tidak homogen, perbedaan umur lempeng, dan roo rise yang mengganjal hingga timbulnya gangguan.
Jika dianalisis lebih dekat, maka roo rise yang masuk ke dalam palung akan terkerat sebagian. Sebagian slab yang bertemu lempeng di pulau Jawa akan menimbulkan buoyant roo rise fragment yang akan menimbulkan tonjolan dan sebagian slab masuk ke dalam. Sebagian slab yang masuk akan menentukan bahaya atau tidaknya gunung tersebut.
Ia menuturkan bahwa slab yang masuk masih cukup dangkal (10-15 km) sehingga menyebabkan potensi gunung api ini tidak seperti potensi gunung api yang aktif di Pulau Jawa pada umumnya.
“Slab yang masuk baru mulai meleleh itu bukan pada kedalaman 10-15 km. Ini bukan tempat yang ideal. Kedalaman ideal lempeng samudera meleleh pada kedalam 120-180 km seperti gunung di Pulau Jawa lainnya,” tambahnya.
Ciri-ciri yang menunjukkan gunung api seperti adanya panas merupakan akibat dari tumbukan dua buah lempeng di zona akresi.
“Jadi secara teoritis, harusnya itu posisinya bukan gunung api yang definitif kita pelajari, tapi ini morfologinya seperti kerucut gunung api, karena tadi adanya gangguan, panasnya dari collision tumbukan yang menghasilkan panas,” imbuhnya
Meskipun peluang gunung tersebut untuk meletus kecil, tapi bencana nonvulkanik tetap harus diwaspadai.
Gundukan tinggi ini bisa menjadi sesuatu yang tidak stabil dan mengakibatkan longsor di bawah laut. Jika volumenya besar maka akan mengganggu kesetimbangan kolom air laut.
“Ketidakstabilan lereng bisa sangat terjadi jika terjadi seismik gap, hal ini juga di-state di paper tersebut,” ujarnya.