Soal Sosialisasi RKUHP, Ini Kata Pengamat Hukum dari Universitas Jember
Selasa, 30 Agustus 2022 - 00:04 WIB
JEMBER - Pengamat hukum dari Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda menyampaikan bahwa ada 14 isu krusial dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sering kali ditolak oleh publik. Meski masyarakat sudah tidak banyak lagi bertanya terkait isu itu usai mendapat penjelasan pemerintah, namun menurutnya, ke depan masih perlu disosialisasikan.
“Setelah ada penjelasan dalam berbagai sosialisasi, masyarakat umum saya lihat tidak begitu banyak yang bertanya-tanya lagi terhadap isu krusial itu. Intinya dari sosialisasi yang sudah dilakukan dan ke depan yang akan dilakukan lagi, kita akan mencoba refresh isu-su itu,” ujar Gede Widhiana dalam diskusi FMB9 yang bertajuk RUU KUHP Wujud Keadilan Hukum Indonesia, Senin (29/8/2022).
Dia berharap tim perumus bisa mengantisipasi agar pasal-pasal dalam RUU KUHP tersebut tidak multitafsir sehingga disalahgunakan oleh aparat penegak hukum. Menurutnya, untuk mengantisipasi itu, maka langkah yang diambil adalah dengan merumuskan norma penjelasan setiap pasalnya. Bagian penjelasan menjadi filter yang penting dan utama supaya produk tersebut tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.
“Yang tidak kita harapkan jangan sampai aparat ketika menggunakan RUU ini mencoba bermain-main. Ini menjadi pekerjaan rumah tentu bukan di ranah formulasi tapi di ranah kebijakan implementasi melalui kontrol dari institusi masing-masing mulai dari polisi, jaksa dan hakim," ujarnya.
Presiden pun, menurutnya, punya kewajiban untuk mengawasi kontrol institusi masing-masing bagaimana aparat jalankan KUHP ini. Jika dalam hal-hal tertentu, lanjut Gede, ada masyarakat yang paham bahwa suatu pasal merugikan diriya, ada mekanisme lain yang bisa ditempuh.
"Yakni mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Meski tidak diinginkan olen tim perumus, ruang untuk itu tetap disediakan oleh Negara," imbuhnya.
Gede yakin, jika tim perumus sudah menyusun norma penjelasan yang benar-benar tepat, maka kecil kemungkinan bagi aparat untuk menyalahgunakan undang-undang ini.
“Sudah clear di rumusan. Misalkan soal penghinaan terhadap presiden, tentu tim bisa membedakan mana kritik dan mana penghinaan. Kalau pun terjadi kasus itu dan presiden mengadukan, sederhana saja, datangkan saksi hal untuk mengecek apakah itu kritik atau penghinaan,” ungkapnya.
Gede menyampaikan bahwa proses penyusunan KUHP yang baru sudah berjalan sangat lama, yaitu sejak 1963. Hal itu dilakukan karena Indonesia ingin memiliki undang-undang yang mencerminkan norma yang ada di negeri ini.
“Setelah ada penjelasan dalam berbagai sosialisasi, masyarakat umum saya lihat tidak begitu banyak yang bertanya-tanya lagi terhadap isu krusial itu. Intinya dari sosialisasi yang sudah dilakukan dan ke depan yang akan dilakukan lagi, kita akan mencoba refresh isu-su itu,” ujar Gede Widhiana dalam diskusi FMB9 yang bertajuk RUU KUHP Wujud Keadilan Hukum Indonesia, Senin (29/8/2022).
Dia berharap tim perumus bisa mengantisipasi agar pasal-pasal dalam RUU KUHP tersebut tidak multitafsir sehingga disalahgunakan oleh aparat penegak hukum. Menurutnya, untuk mengantisipasi itu, maka langkah yang diambil adalah dengan merumuskan norma penjelasan setiap pasalnya. Bagian penjelasan menjadi filter yang penting dan utama supaya produk tersebut tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.
“Yang tidak kita harapkan jangan sampai aparat ketika menggunakan RUU ini mencoba bermain-main. Ini menjadi pekerjaan rumah tentu bukan di ranah formulasi tapi di ranah kebijakan implementasi melalui kontrol dari institusi masing-masing mulai dari polisi, jaksa dan hakim," ujarnya.
Presiden pun, menurutnya, punya kewajiban untuk mengawasi kontrol institusi masing-masing bagaimana aparat jalankan KUHP ini. Jika dalam hal-hal tertentu, lanjut Gede, ada masyarakat yang paham bahwa suatu pasal merugikan diriya, ada mekanisme lain yang bisa ditempuh.
"Yakni mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Meski tidak diinginkan olen tim perumus, ruang untuk itu tetap disediakan oleh Negara," imbuhnya.
Gede yakin, jika tim perumus sudah menyusun norma penjelasan yang benar-benar tepat, maka kecil kemungkinan bagi aparat untuk menyalahgunakan undang-undang ini.
“Sudah clear di rumusan. Misalkan soal penghinaan terhadap presiden, tentu tim bisa membedakan mana kritik dan mana penghinaan. Kalau pun terjadi kasus itu dan presiden mengadukan, sederhana saja, datangkan saksi hal untuk mengecek apakah itu kritik atau penghinaan,” ungkapnya.
Gede menyampaikan bahwa proses penyusunan KUHP yang baru sudah berjalan sangat lama, yaitu sejak 1963. Hal itu dilakukan karena Indonesia ingin memiliki undang-undang yang mencerminkan norma yang ada di negeri ini.
tulis komentar anda