Kisah Pangeran Diponegoro Sebelum Ditangkap, Sempat Guyon Santai dengan Jenderal De Kock

Selasa, 05 Juli 2022 - 07:05 WIB
Lukisan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya petang hari 8 Maret 1830, yang dibuat sebelum perundingan damai di Magelang. Foto: repro/ist
Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) yang dimulai bulan Juli 1825 dan berlangsung sengit itu, pada akhirnya menempatkan pihak Kompeni Belanda pada posisi di atas angin.

Strategi membangun benteng-benteng darurat, ditambah melipatgandakan pasukan gerak cepat berhasil membuat posisi Pangeran Diponegoro semakin terjepit. Pada September 1829, Diponegoro terkurung di lembah sempit di antara Kali Progo dan Kali Bogowonto.

Bayangan datangnya kekalahan semakin dekat di depan mata. Di bulan yang sama itu, satu persatu orang-orang kepercayaan Diponegoro terbunuh yang membuat sang pangeran sangat berduka sekaligus menjadikannya merasa hidup sebatang kara.



“Pada tanggal 21 September pamannya Pangeran Ngabehi, dan dua putranya tewas secara mengenaskan di pegunungan Kelir,” tulis Peter Carey dalam buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).



Pada bulan berikutnya di tahun yang sama (1829), situasi semakin memburuk. Sentot Ali Basah Prawirodirjo yang menjadi salah satu senopati andalan Pangeran Dipongeoro, membuka perundingan dengan Belanda. Sentot menyerah. Di akhir bulan, Raden Ayu Mangkorowati, ibunya dan Raden Ayu Gusti, putrinya telah ditawan Belanda.

Namun situasi yang sudah tidak menguntungkan itu tidak juga mengubah sikap Diponegoro untuk tetap mengobarkan peperangan. Kendati demikian posisinya tak lebih dari seorang pelarian yang diburu ke sana – sini. Apalagi kompeni Belanda juga membuka sayembara 20.000 golden untuk siapa saja yang bisa menyerahkan kepalanya.

Mulai November 1829 hingga dua bulan berikutnya, Diponegoro nyaris berjuang seorang diri. Kondisinya mengenaskan. Ia bersembunyi di hutan wilayah Begelen Barat, Purworejo dengan hanya ditemani dua pengawal setia, dan mengalami sakit malaria tropika.

“Mayoritas komandan tentaranya telah menyerah karena frustasi dan kelelahan,” kata Saleh Djamhari seperti dikutip dalam Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).

Basah Hasan Munadi, seorang keturunan Arab-Jawa, pemimpin resimen kawal pribadi Barjumungah Diponegoro, menyarankan Pangeran Diponegoro pergi ke kawasan pegunungan Remo, yakni antara Begelen dan Banyumas. Di sana, masih ada Basah Ngabdulmahmud Gondokusumo, komandan prajurit yang masih memegang kendali.

Basah Hasan Munadi sempat bertanya, “apakah Pangeran lebih suka menyerah atau diberi tahta Yogya sebagai hadiah hiburan?”. Jawab Pangeran Diponegoro: Tidak. Ia tidak akan membiarkan dirinya menyerah karena hal itu memalukan. Begitu juga dengan hadiah hiburan sebagai sultan Yogya. Diponegoro menegaskan, semua pengorbanan yang sudah dilakukan akan sia-sia.



Sejak 11 November 1829 sosok Pangeran Diponegoro tak lagi terlihat di medan pertempuran. Sosoknya seolah ditelan bumi. Belanda pun memutar akal untuk menemukan keberadaannya. Basah Kerto Pangalasan, salah satu komandan prajurit laskar Diponegoro yang menyerah, didatangi.

Basah Kerto Pangalasan berjanji membukakan negosiasi damai dengan cara berkorespondensi. Ditulisnya sepucuk surat kepada Raden Adipati Abdullah Danurejo yang bersembunyi di Begelen Barat, dan menerima balasan pada 2 Desember 1829.

Isinya meminta gencatan senjata selama 14 hari. Namun permintaan itu langsung ditolak Jenderal De Kock. De Kock menegaskan akan mengambil sikap setelah dirinya mendapat jawaban surat langsung dari Pangeran Diponegoro yang intinya rela berunding.

Basah Kerto Pangalasan yang sebelumnya pernah berdiskusi dengan Pangeran Diponegoro dan memahami jalan pikiran pangeran Jawa itu, lantas diam-diam membuat surat lagi yang seolah-olah jawaban dari Diponegoro. Pangalasan menawarkan Belanda empat opsi yang itu seolah datang langsung dari Pangeran Diponegoro.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More