Kejari Wajo Selesaikan Kasus Penganiayaan Melalui Restorative Justice
Rabu, 09 Maret 2022 - 20:22 WIB
MAKASSAR - Kejaksaan Negeri (Kejari) Wajo memberhentikan penuntutan kasus penganiayaan yang melibatkan Adriani (34) sebagai tersangka dan Santi (28) sebagai korban, melalui restorative justice , Rabu (9/3/2022). Salah satu pertimbangan jaksa dalam menerapkan restorative justice dalam perkara penganiayaan tersebut, berkat adanya kesepakatan perdamaian tanpa syarat antara korban dan pelaku yang dilakukan pada 25 Februari 2022
Selain itu, ekspose perkara melalui via video conference yang dilakukan Kejari Wajo bersama Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel dan Jaksa Agung Muda (JAM) Pidum RI pada 9 Maret 2022 bertempat di Aula Kejaksaan Negeri Wajo mendapat respons positif dalam penerapan restorative justice .
"Penghentian pelaksanaan tuntutan perkara dilakukan dengan pendekatan restorative . Dan kedua belah pihak sepakat untuk berdamai," ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Andi Haeruddin Malik
Kepala Kejaksaan Negeri Wajo , Ramdhoni, mengatakan keadilan restoratif atau restorative justice menjadi angin segar bagi pencari keadilan dalam kasus tindak pidana di Indonesia. Melalui langkah ini, penanganan kasusnya tidak perlu lagi masuk ke pengadilan, namun cukup melalui mekanisme kekeluargaan antara pelaku dengan korban.
"Tujuan restorative justice adalah pemulihan dalam keadaan semula, sehingga seseorang tidak menyandang status terpidana, terlebih lagi apabila korban dan terdakwa mau berdamai. Dan berdasarkan hati nurani jaksa kasus yang telah berdamai tidak lagi disidangkan namun dipulihkan dalam keadaan semula," ungkap dia.
Adapun beberapa alasan penerapan restorative justice yang dilakukan Kejari Wajo yaitu, terdakwa baru pertama kali melakukan perbuatan pidana atau belum pernah dihukum. Selanjutnya, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun. Dan yang paling penting telah dilaksanakannya proses perdamaian dimana terdakwa telah meminta maaf dan korban menerima permohonan maaf
"Sebelum perdamaian terjadi, JPU mengenakan tersangka dengan pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan. Tetapi setelah korban dan pelaku sepakat berdamai, maka jaksa menganggap perkara itu tidak perlu lagi masuk ke pengadilan," pungkasnya.
Selain itu, ekspose perkara melalui via video conference yang dilakukan Kejari Wajo bersama Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel dan Jaksa Agung Muda (JAM) Pidum RI pada 9 Maret 2022 bertempat di Aula Kejaksaan Negeri Wajo mendapat respons positif dalam penerapan restorative justice .
"Penghentian pelaksanaan tuntutan perkara dilakukan dengan pendekatan restorative . Dan kedua belah pihak sepakat untuk berdamai," ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Andi Haeruddin Malik
Kepala Kejaksaan Negeri Wajo , Ramdhoni, mengatakan keadilan restoratif atau restorative justice menjadi angin segar bagi pencari keadilan dalam kasus tindak pidana di Indonesia. Melalui langkah ini, penanganan kasusnya tidak perlu lagi masuk ke pengadilan, namun cukup melalui mekanisme kekeluargaan antara pelaku dengan korban.
"Tujuan restorative justice adalah pemulihan dalam keadaan semula, sehingga seseorang tidak menyandang status terpidana, terlebih lagi apabila korban dan terdakwa mau berdamai. Dan berdasarkan hati nurani jaksa kasus yang telah berdamai tidak lagi disidangkan namun dipulihkan dalam keadaan semula," ungkap dia.
Adapun beberapa alasan penerapan restorative justice yang dilakukan Kejari Wajo yaitu, terdakwa baru pertama kali melakukan perbuatan pidana atau belum pernah dihukum. Selanjutnya, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun. Dan yang paling penting telah dilaksanakannya proses perdamaian dimana terdakwa telah meminta maaf dan korban menerima permohonan maaf
"Sebelum perdamaian terjadi, JPU mengenakan tersangka dengan pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan. Tetapi setelah korban dan pelaku sepakat berdamai, maka jaksa menganggap perkara itu tidak perlu lagi masuk ke pengadilan," pungkasnya.
(tri)
tulis komentar anda