Cerita Korban Selamat dari Erupsi Semeru, Bertaruh Nyawa di Bawah Naungan Atap Musala
Minggu, 12 Desember 2021 - 06:51 WIB
Beberapa jam, Misni dan sekitar 50 orang di dalam musala itu menunggu nasib. Sementara di luar musala, mereka melihat dengan jelas bagaimana lahar panas yang bercampur air hujan datang seperti air bah. Suara gemuruh membuat mereka bertambah takut. "Kami terus berdoa, baca al fatihah dan yang laki-laki mendengungkan adzan," ucapnya.
Semakin lama, lahar yang bercampur air hujan itu menelan sebagian bangunan rumah warga. Yang ia takutkan, muntahan lava di udara juga mulai berjatuhan ke atap musala. Tentu saja, Misni dan orang-orang yang ada di dalam musala semakin ketakutan. "Takut atapnya ambruk. Saya juga menyaksikan banyak rumah warga yang atapnya sudah ambruk," kenangnya.
Perasaan yang sama juga dituturkan Susanti, yang juga masih kerabat dengan Misni. Saat itu, ia dan suaminya juga memilih berlindung di dalam musala tempat Misni dan keluarganya berlindung.
Sedikitnya, enam kepala keluarga yang masih kerabat, ikut berlindung di dalam bangunan seluas 7X7 meter itu. "Semua menjerit ketakutan dan menyebut nama Allah," kata Susanti.
Perempuan berumur 24 tahun ini juga sempat mengalami keputusaan lantaran melihat kondisi di luar musala yang sudah porak-poranda. Namun di balik itu, ia masih memiliki keyakinan akan selamat. "Karena menurut saya, musala adalah tempat yang paling aman," ucap Susanti.
Dan benar saja, hingga situasi membaik, bangunan musala ini masih utuh. Lahar panas tak menembus lantai musala. Begitu juga dengan bagian atap yang masih utuh. Padahal ratusan rumah di kampung ini rusak parah. Tak sedikit pula warga yang tak selamat kendati berlindung di dalam rumah.
Kisah bertaruh nasib di dalam musala itu masih menjadi nostalgia bagi Misni, Susanti dan empat kepala keluarga lainnya yang masih sekerabat. Karena itulah, mereka yang berjumlah 18 orang orang itu memilih mengungsi di tempat yang sama di rumah salah satu warga di Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro.
Mereka selamat bersama dan ingin mengungsi bersama. Meski hingga saat ini, mereka tak punya rencana untuk tinggal di mana pasca masa pengungsian berakhir. "Ya, satu rumah ini kami bersama enam kepala keluarga. Tidak tahu kami nanti tinggal di mana. Kami tak punya uang lagi kalau pindah rumah," ungkap Sumarmi, korban selamat di dalam musala lainnya.
Enam kepala keluarga senasib ini juga tak memiliki keberanian untuk kembali ke kampung halaman yang kini menjadi kampung mati. Mereka beralasan tak ingin mengulangi peristiwa paling menakutkan sepanjang hidupnya. "Kita tunggu saja bagaimana nasib selanjutnya. Tapi kalau kembali tinggal di rumah, kami tak berani," kata Sumarmi.
Semakin lama, lahar yang bercampur air hujan itu menelan sebagian bangunan rumah warga. Yang ia takutkan, muntahan lava di udara juga mulai berjatuhan ke atap musala. Tentu saja, Misni dan orang-orang yang ada di dalam musala semakin ketakutan. "Takut atapnya ambruk. Saya juga menyaksikan banyak rumah warga yang atapnya sudah ambruk," kenangnya.
Perasaan yang sama juga dituturkan Susanti, yang juga masih kerabat dengan Misni. Saat itu, ia dan suaminya juga memilih berlindung di dalam musala tempat Misni dan keluarganya berlindung.
Sedikitnya, enam kepala keluarga yang masih kerabat, ikut berlindung di dalam bangunan seluas 7X7 meter itu. "Semua menjerit ketakutan dan menyebut nama Allah," kata Susanti.
Perempuan berumur 24 tahun ini juga sempat mengalami keputusaan lantaran melihat kondisi di luar musala yang sudah porak-poranda. Namun di balik itu, ia masih memiliki keyakinan akan selamat. "Karena menurut saya, musala adalah tempat yang paling aman," ucap Susanti.
Dan benar saja, hingga situasi membaik, bangunan musala ini masih utuh. Lahar panas tak menembus lantai musala. Begitu juga dengan bagian atap yang masih utuh. Padahal ratusan rumah di kampung ini rusak parah. Tak sedikit pula warga yang tak selamat kendati berlindung di dalam rumah.
Kisah bertaruh nasib di dalam musala itu masih menjadi nostalgia bagi Misni, Susanti dan empat kepala keluarga lainnya yang masih sekerabat. Karena itulah, mereka yang berjumlah 18 orang orang itu memilih mengungsi di tempat yang sama di rumah salah satu warga di Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro.
Mereka selamat bersama dan ingin mengungsi bersama. Meski hingga saat ini, mereka tak punya rencana untuk tinggal di mana pasca masa pengungsian berakhir. "Ya, satu rumah ini kami bersama enam kepala keluarga. Tidak tahu kami nanti tinggal di mana. Kami tak punya uang lagi kalau pindah rumah," ungkap Sumarmi, korban selamat di dalam musala lainnya.
Enam kepala keluarga senasib ini juga tak memiliki keberanian untuk kembali ke kampung halaman yang kini menjadi kampung mati. Mereka beralasan tak ingin mengulangi peristiwa paling menakutkan sepanjang hidupnya. "Kita tunggu saja bagaimana nasib selanjutnya. Tapi kalau kembali tinggal di rumah, kami tak berani," kata Sumarmi.
(msd)
tulis komentar anda