Cerita Korban Selamat dari Erupsi Semeru, Bertaruh Nyawa di Bawah Naungan Atap Musala

Minggu, 12 Desember 2021 - 06:51 WIB
loading...
Cerita Korban Selamat dari Erupsi Semeru, Bertaruh Nyawa di Bawah Naungan Atap Musala
Para perempuan dari enam kepala keluarga yang selamat dari erupsi Gunung Semeru lantaran berlindung di musala. /Tritus Julan
A A A
LUMAJANG - Erupsi Gunung Semeru menyisakan berjuta kisah duka dari para korban. Cerita pilu mereka yang harus kehilangan anggota keluarga, teman dekat, hingga kerabat. Cerita ribuan orang yang harus kehilangan rumah dan entah bagaimana kelangsungan hidup mereka setelahnya.

Namun, tak sedikit pula dari mereka yang justru mengucap syukur kendati rumah dan harta bendanya lenyap. Ya, mereka yang selamat dari muntahan erupsi gunung tertinggi di pulau Jawa itu. Terlebih, mereka yang tak kehilangan satupun anggota keluarga yang disayangi.

Baca juga: Dramatis! Janda Tua Ini Dorong Anaknya yang Cacat Pakai Kepala Demi Selamatkan dari Awan Panas Semeru

Adalah Misni, perempuan yang berhasil lolos dari maut yang menimpa kampungnya, Dusun Curahkobokan, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Ia berserta suami dan anaknya masih bisa bernapas lega setelah lolos dari maut. Sementara banyak orang di kampungnya yang harus kehilangan nyawa akibat erupsi Gunung Semeru Sabtu (04/12/2021) lalu.

"Alhamdulillah, saya sekeluarga selamat. Padahal waktu itu kami berpikir akan mati," begitu ucap Misni yang tak henti-hentinya bersyukur. Ia terus bertutur bagaimana keluarganya bisa melalui masa sulit saat Gunung Semeru memuntahkan lahar panas. Peristiwa yang meluluh-lantakkan kampungnya hingga menjadi kampung mati saat ini.

Masih lekat dalam ingatan perempuan berumur 51 tahun ini tatkala ia dan anggota keluarganya panik mencari tempat berlindung. Awan yang gelap membuatnya semakin kalut. Dalam situasi yang serba ketakutan itu, ia diseret sang suami untuk berlindung di salah satu bangunan musala yang tak jauh dari rumahnya.

Ia sempat kehilangan harapan lantaran di dalam musala itu sudah ada puluhan kepala keluarga yang sudah lebih awal berlindung. Praktis, ia harus sedikit memaksa untuk masuk dan berharap kondisinya lebih aman dibanding berada di dalam rumahnya sendiri. "Saya yakin akan lebih aman di musala," tutur Misni.

Baca juga: Ratu Sanjaya, Sang Penguasa Mataram Kuno Cikal Bakal Mpu Sindok hingga Airlangga

Pilihan untuk berlindung di dalam musala, juga bukan datang serta-merta. Beberapa saudaranya juga sempat mengajak dirinya untuk berlindung di tempat yang rutin ia sambangi saat beribadah itu. Lantaran itulah ia merasa lebih aman. "Paling kalau mati, ya ada saudara-saudara juga di situ (musala)," begitu Misni menceritakan sedikit kepasrahannya saat itu.

Beberapa jam, Misni dan sekitar 50 orang di dalam musala itu menunggu nasib. Sementara di luar musala, mereka melihat dengan jelas bagaimana lahar panas yang bercampur air hujan datang seperti air bah. Suara gemuruh membuat mereka bertambah takut. "Kami terus berdoa, baca al fatihah dan yang laki-laki mendengungkan adzan," ucapnya.

Semakin lama, lahar yang bercampur air hujan itu menelan sebagian bangunan rumah warga. Yang ia takutkan, muntahan lava di udara juga mulai berjatuhan ke atap musala. Tentu saja, Misni dan orang-orang yang ada di dalam musala semakin ketakutan. "Takut atapnya ambruk. Saya juga menyaksikan banyak rumah warga yang atapnya sudah ambruk," kenangnya.

Perasaan yang sama juga dituturkan Susanti, yang juga masih kerabat dengan Misni. Saat itu, ia dan suaminya juga memilih berlindung di dalam musala tempat Misni dan keluarganya berlindung.

Sedikitnya, enam kepala keluarga yang masih kerabat, ikut berlindung di dalam bangunan seluas 7X7 meter itu. "Semua menjerit ketakutan dan menyebut nama Allah," kata Susanti.

Perempuan berumur 24 tahun ini juga sempat mengalami keputusaan lantaran melihat kondisi di luar musala yang sudah porak-poranda. Namun di balik itu, ia masih memiliki keyakinan akan selamat. "Karena menurut saya, musala adalah tempat yang paling aman," ucap Susanti.

Dan benar saja, hingga situasi membaik, bangunan musala ini masih utuh. Lahar panas tak menembus lantai musala. Begitu juga dengan bagian atap yang masih utuh. Padahal ratusan rumah di kampung ini rusak parah. Tak sedikit pula warga yang tak selamat kendati berlindung di dalam rumah.

Kisah bertaruh nasib di dalam musala itu masih menjadi nostalgia bagi Misni, Susanti dan empat kepala keluarga lainnya yang masih sekerabat. Karena itulah, mereka yang berjumlah 18 orang orang itu memilih mengungsi di tempat yang sama di rumah salah satu warga di Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro.

Mereka selamat bersama dan ingin mengungsi bersama. Meski hingga saat ini, mereka tak punya rencana untuk tinggal di mana pasca masa pengungsian berakhir. "Ya, satu rumah ini kami bersama enam kepala keluarga. Tidak tahu kami nanti tinggal di mana. Kami tak punya uang lagi kalau pindah rumah," ungkap Sumarmi, korban selamat di dalam musala lainnya.

Enam kepala keluarga senasib ini juga tak memiliki keberanian untuk kembali ke kampung halaman yang kini menjadi kampung mati. Mereka beralasan tak ingin mengulangi peristiwa paling menakutkan sepanjang hidupnya. "Kita tunggu saja bagaimana nasib selanjutnya. Tapi kalau kembali tinggal di rumah, kami tak berani," kata Sumarmi.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3099 seconds (0.1#10.140)