Pendiri Hipmi Prihatin Rendahnya Jumlah Wirausahawan di Indonesia
Minggu, 24 Oktober 2021 - 10:31 WIB
SURABAYA - Pendiri Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Abdul Latief menegaskan, keberadaan Hipmi sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, kesejahteraan sebuah negara salah satunya ditentukan dari jumlah entrepreneur atau wirausahawan dalam negara tersebut.
Hal itu disampaikan Abdul Latief dalam acara Diklatda III BPD Hipmi Jatim. Dia mengungkapkan, ada beberapa faktor yang menjadikan sebuah negara disebut sebagai negara maju. Di antaranya, pendapatan penduduk perkapita diatas USD55.000 per tahun. Sementara pendapatan perkapita masyarakat Indonesia hanya bisa mencapai USD3.000 - 4.000 per tahun.
Baca juga: Urai Masalah Over Kapasitas, Rutan Medaeng Diperluas dengan Anggaran Rp39 Miliar
“Dari sisi manusianya, tanda negara maju di antaranya adalah sekitar 12-14 persen dari jumlah penduduknya adalah enterpreneur. Sementara Indonesia masih dibawah 3 persen," katanya, Sabtu (23/10/2021).
Waktu mendirikan HIPMI tahun 1972, dia berharap 50 tahun ke depan jumlah pengusaha Indonesia harus mencapai 8 persen. Tetapi sampai sekarang baru 3 persen, artinya cuma 8 juta. Itupun itupun 65-70 persen adalah UMKM. Praktis level pendidikan dibawah SD.
"Maka itu kita harus bekerja sungguh-sungguh. Ini harus dipikirkan dan inilah tujuan saya mendirikan Hipmi, untuk mencetak entrepreneur muda,” ujar mantan Menteri Tenaga Kerja era Soeharto tersebut.
Untuk itu, dia bersama dengan beberapa tokoh Hipmi saat ini menyusun roadmap Hipmi 50 tahun ke depan. Salah satunya harus mampu menciptakan enterpreneur baru. Dalam roadmap tersebut ditegaskan bahwa 50 tahun ke depan jumlah enterpreneur di Indonesia harus mencapai sekitar 12 hingga 14 persen. “Tujuan Hipmi didirikan adalah untuk melahirkan entrepreneur nasionalis," katanya.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Adik Dwi Putranto menyatakan, visi misi Hipmi sebenarnya sama dengan Kadin, yaitu membantu mendorong percepatan pemulihan ekonomi di Jatim maupun di Indonesia.
“Wirausahawan baru ini diharapkan akan bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau ada wirausaha baru, maka ada penyerapan tenaga kerja, tenaga kerja bisa menabung, bisa investasi, dan seterusnya. Bahkan, akan muncul pasar dan permintaan baru selanjutnya akan muncul lagi wirausaha baru. Siklusnya seperti itu,” jelas Adik.
Namun ada beberapa kendala yang dihadapi untuk menciptakan enterpreneur tersebut, salah satunya adalah kurangnya dukungan sistem pendidikan di Indonesia. Banyak pengusaha juga mengeluhkan rendahnya kualitas SDM lulusan SMK dan Perguruan Tinggi. Padahal harusnya mereka diciptakan untuk menjadi enterpreneur atau tenaga kerja yang siap kerja.
“Lulusan SMK dan perguruan tinggi, menurut kami belum begitu sesuai dengan kebutuhan industri dan wirausaha," terangnya
Hal itu disampaikan Abdul Latief dalam acara Diklatda III BPD Hipmi Jatim. Dia mengungkapkan, ada beberapa faktor yang menjadikan sebuah negara disebut sebagai negara maju. Di antaranya, pendapatan penduduk perkapita diatas USD55.000 per tahun. Sementara pendapatan perkapita masyarakat Indonesia hanya bisa mencapai USD3.000 - 4.000 per tahun.
Baca juga: Urai Masalah Over Kapasitas, Rutan Medaeng Diperluas dengan Anggaran Rp39 Miliar
“Dari sisi manusianya, tanda negara maju di antaranya adalah sekitar 12-14 persen dari jumlah penduduknya adalah enterpreneur. Sementara Indonesia masih dibawah 3 persen," katanya, Sabtu (23/10/2021).
Waktu mendirikan HIPMI tahun 1972, dia berharap 50 tahun ke depan jumlah pengusaha Indonesia harus mencapai 8 persen. Tetapi sampai sekarang baru 3 persen, artinya cuma 8 juta. Itupun itupun 65-70 persen adalah UMKM. Praktis level pendidikan dibawah SD.
"Maka itu kita harus bekerja sungguh-sungguh. Ini harus dipikirkan dan inilah tujuan saya mendirikan Hipmi, untuk mencetak entrepreneur muda,” ujar mantan Menteri Tenaga Kerja era Soeharto tersebut.
Untuk itu, dia bersama dengan beberapa tokoh Hipmi saat ini menyusun roadmap Hipmi 50 tahun ke depan. Salah satunya harus mampu menciptakan enterpreneur baru. Dalam roadmap tersebut ditegaskan bahwa 50 tahun ke depan jumlah enterpreneur di Indonesia harus mencapai sekitar 12 hingga 14 persen. “Tujuan Hipmi didirikan adalah untuk melahirkan entrepreneur nasionalis," katanya.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Adik Dwi Putranto menyatakan, visi misi Hipmi sebenarnya sama dengan Kadin, yaitu membantu mendorong percepatan pemulihan ekonomi di Jatim maupun di Indonesia.
“Wirausahawan baru ini diharapkan akan bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau ada wirausaha baru, maka ada penyerapan tenaga kerja, tenaga kerja bisa menabung, bisa investasi, dan seterusnya. Bahkan, akan muncul pasar dan permintaan baru selanjutnya akan muncul lagi wirausaha baru. Siklusnya seperti itu,” jelas Adik.
Namun ada beberapa kendala yang dihadapi untuk menciptakan enterpreneur tersebut, salah satunya adalah kurangnya dukungan sistem pendidikan di Indonesia. Banyak pengusaha juga mengeluhkan rendahnya kualitas SDM lulusan SMK dan Perguruan Tinggi. Padahal harusnya mereka diciptakan untuk menjadi enterpreneur atau tenaga kerja yang siap kerja.
“Lulusan SMK dan perguruan tinggi, menurut kami belum begitu sesuai dengan kebutuhan industri dan wirausaha," terangnya
(msd)
tulis komentar anda