Kisah Pasukan Tameng dan Klewang, Penumpas Antek-antek PKI di Bali
Sabtu, 02 Oktober 2021 - 05:00 WIB
Di sinilah posisi sulit dialami Ketut Darta. Di daftar itu tertera jelas nama kakaknya, Wayan Warda, yang jelas-jelas menjadi moncol, tokoh PKI di desa yang harus dibunuh.
Dari November 1965 hingga Februari 1966 adalah hari-hari mencekam di desa. Setiap hari hampir pasti ada rumah yang terbakar, orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya.
Ramai-ramai orang berkumpul di bale banjar, balai desa, dan hilir mudik truk pengangkut manusia yang berteriak, merintih, pasrah dan ketakutan yang amat sangat. Ratusan orang di desa, menurut cerita Kak Pegeg, mengungsi mencari perlindungan.
Rumah-rumah mereka terbakar dan telah rata menjadi tanah. Kakek, suami, saudara mereka entah hilang ke mana.
Kak Pegeg menjadi salah satu anggota dari barisan massa tameng PNI yang menyaksikan kejadian itu. Saat itu, barisan massa akan melakukan pengganyangan terhadap sebuah desa tetangga, yang hampir seluruh kramanya masuk PKI.
Ratusan massa berteriak, mengacungkan klewang dan membakar seluruh rumah di desa tersebut. Sebelumnya para perempuan dan anak-anak diamankan di bale banjar, sementara barang-barang yang masih bisa diselematkan dikumpulkan.
Massa Tameng beringas dan menculik para laki-laki di desa tersebut. Ada yang dibunuh langsung di desa tersebut dan diangkut truk untuk dibunuh di tempat lain. Setelah massa Tameng mengamuk, desa tersebut telah rata menjadi tanah.
Tanpa diduga, massa tameng bergerak ke arah desa Kak Pegeg dan Ketut Darta. Massa yang beringas memaksa untuk melakukan pembakaran dan penculikan terhadap orang-orang yang telah didaftar terkait dengan PKI. “Nyen jelma barak dini? Matiang!!!“ (Siapa orang merah (PKI) di sini? Bunuh!!!), teriak massa seperti ditirukan Kak Pegeg.
Ketut Darta dan Kak Pegeg yang ikut dalam rombongan itu pasang badan. Mereka melarang massa untuk membakar rumah dan menculik orang. Ketut Darta sebagai ketua PNI dan massa Tameng di desa itu memastikan ia sendiri dan anggotanya yang akan melakukan pembersihan terhadap komunis.
Massa menuruti pernyataan Ketut Darta dan kemudian bisa tenang karena kepercayaan padanya sebagai tokoh PNI di desa tersebut. Massa berlalu melewati desa Ketut Darta dengan tenang.
Dari November 1965 hingga Februari 1966 adalah hari-hari mencekam di desa. Setiap hari hampir pasti ada rumah yang terbakar, orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya.
Ramai-ramai orang berkumpul di bale banjar, balai desa, dan hilir mudik truk pengangkut manusia yang berteriak, merintih, pasrah dan ketakutan yang amat sangat. Ratusan orang di desa, menurut cerita Kak Pegeg, mengungsi mencari perlindungan.
Rumah-rumah mereka terbakar dan telah rata menjadi tanah. Kakek, suami, saudara mereka entah hilang ke mana.
Kak Pegeg menjadi salah satu anggota dari barisan massa tameng PNI yang menyaksikan kejadian itu. Saat itu, barisan massa akan melakukan pengganyangan terhadap sebuah desa tetangga, yang hampir seluruh kramanya masuk PKI.
Ratusan massa berteriak, mengacungkan klewang dan membakar seluruh rumah di desa tersebut. Sebelumnya para perempuan dan anak-anak diamankan di bale banjar, sementara barang-barang yang masih bisa diselematkan dikumpulkan.
Massa Tameng beringas dan menculik para laki-laki di desa tersebut. Ada yang dibunuh langsung di desa tersebut dan diangkut truk untuk dibunuh di tempat lain. Setelah massa Tameng mengamuk, desa tersebut telah rata menjadi tanah.
Tanpa diduga, massa tameng bergerak ke arah desa Kak Pegeg dan Ketut Darta. Massa yang beringas memaksa untuk melakukan pembakaran dan penculikan terhadap orang-orang yang telah didaftar terkait dengan PKI. “Nyen jelma barak dini? Matiang!!!“ (Siapa orang merah (PKI) di sini? Bunuh!!!), teriak massa seperti ditirukan Kak Pegeg.
Ketut Darta dan Kak Pegeg yang ikut dalam rombongan itu pasang badan. Mereka melarang massa untuk membakar rumah dan menculik orang. Ketut Darta sebagai ketua PNI dan massa Tameng di desa itu memastikan ia sendiri dan anggotanya yang akan melakukan pembersihan terhadap komunis.
Massa menuruti pernyataan Ketut Darta dan kemudian bisa tenang karena kepercayaan padanya sebagai tokoh PNI di desa tersebut. Massa berlalu melewati desa Ketut Darta dengan tenang.
tulis komentar anda